Setelah selesai dengan drama Rania, Miftah segera bergegas ke kelas sebelas IPA satu, kedatangan Miftah sebenarnya sudah di nanti-nanti murid IPA satu. Para murid—terkhusus siswi merasa iri karena Abdan nampak sangat menanti kehadiran Miftah, tanpa mereka tahu sebenarnya di balik senyum lebar cowok berdarah campuran itu, tersimpan banyak rencana jahat untuk membalas Miftah dan ini merupakan langkah pertama yang berhasil Abdan lakukan.
“Jadi benar, dia gak cantik! Tapi kenapa bisa masuk ke kelas kita? “
Desak-desuk para murid begitu Miftah melangkah masuk dan berdiri di depan kelas. Sejak Miftah menginjakkan kakinya di depan pintu kelas sebelas IPA satu, Miftah sudah bisa merasa ada hawa yang tidak baik dari kelas ini, bukan soal hawa mistis dari makhluk gaib, tapi hawa kebencian dari para siswi dan siswa yang seperti sudah menjadikan Miftah masuk ke dalam list musuh mereka.
“Reputasi kelas kita bisa hancur kalo kayak gini! “
“Gelar kelas dengan siswa visual rupawan bisa hilang karena tuh cewek.”
“Tahu ih, gue yakin tuh cewek pasti ngemis-ngemis buat di mutasi ke kelas kita.”
Miftah tidak peduli pada omong kosong semacam itu. Gadis dengan pipi tembam yang over tetap terus menyebar senyum ke seluruh penjuru kelas. Termasuk pada Abdan, Vidi dan David yang menatap sinis dirinya.
“Assalamualaikum semua.” Miftah menyapa semuanya setelah dipersilakan oleh guru muda yang tengah mengajar.
“Lo nyogok berapa biar bisa masuk ke kelas ini? “ Bukannya menjawab salam, sala seorang siswa malah melempar lelucon yang langsung di sambut gelak tawa semua murid serempak.
Bukannya tersinggung, Miftah malah ikut tertawa bersama mereka. Membuat mereka merasa tawanya tidak seadil itu dan mendadak berhenti serempak.
“Ternyata benar ya, kelas ini gak terlalu baik di bidang akademik. Buktinya aja lupa sama pelajaran agama Islam tentang wajibnya menjawab salam,” ujar Miftah dengan nada ringan diselangi tawa. Namun sekali lagi mampu membukam mulut julid para siswa-siswi yang nampak keki dengan sindiran Miftah barusan.
“Bu, apa boleh saya ulang lagi salamnya? “ tanya Miftah pada guru muda yang sebenarnya tidak terlaku peduli dengan apa yang terjadi. Guru itu mengangguk memperbolehkan.
“Baiklah saya ulang lagi aja ya. Barang kali tadi kalian semua gak dengar suara saya,” kata Miftah lagi. “Assalamualaikum semua.”
Kali ini semua murid serempak menjawab salam, tentunya dengan nada setengah terpaksa.
“Saya Miftah Santika. Anak kelas sebelah yang entah kenapa di mutasi ke kelas ini. Mungkin karena saya cantik? Saya sudah mendengar banyak berita tentang kelas ini. Tapi saya berharap bisa betah di kelas semacam ini. Salam kenal semua.”
“Kelas semacam ini? Apa maksud tuh gadis jelek? “julid seorang siswi yang duduk tiga bangku dari bangku Abdan.
Mendengar itu Vidi spontan melirik Abdan, memberi isyarat bahwa target bully mereka kali ini berbeda dari target yang lain. Mereka akan kesulitan menghadapi seorang Miftah yang tingkat kepercayaan dirinya sama besarnya dengan Abdan.
“Baiklah, kamu sekarang bisa duduk. Kita akan mulai pelajaran,” titah guru muda yang belum Miftah ketahui namanya itu.
Miftah mengangguk khidmat, kemudian mengendarkan pandangnya ke seluruh penjuru kelas, mencari bangku kosong yang bisa ia tempati. Abdan tersenyum samar. Hanya ada satu bangku kosong dan bangku itu tepat ada di depan bangkunya. Untuk bisa membalas dendam—perbuatan yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam, Abdan merasa perlu untuk lebih dekat dengan musuhnya.
“Cuma di sini bangku kosong,” ujar Abdan menghentikan pergerakan mata Miftah yang masih berharap menemukan bangku lain selain bangku di hadapan Abdan. Abdan tersenyum miring, mendapati wajah masam gadis itu. Jelas Miftah tidak ingin dekat dengan manusia bernama Abdan itu.
“Ya, kamu duduk di sana saja,” perintah bu guru, akhirnya memusnahkan harapan Miftah. Dengan terpaksa gadis itu melangkahkan kaki besarnya ke bangku kosong di depan Abdan.
“Hai teman baru,” sapa Abdan begitu Miftah menjatuhkan tubuhnya di bangku kosong itu. “ Gue harap Lo betah di kelas orang-orang rupawan, meski Lo gak masuk kategori yang sama.”
Miftah melirik kecil, sebenarnya enggan menoleh dan melihat senyum tengil yang bertengger pada wajah cowok berdarah Eropa itu.
“Hai juga teman baru. Gimana kakinya masih sakit gak? “ Senyum Abdan seketika langsung sirna berganti tangan mengepal di bawah meja. Sekarang giliran Miftah yang tersenyum lebar.
....
“Hwa, bosen ....” Miftah merenggangkan kedua tangannya ke atas setelah satu pelajaran selesai. Satu jam di kelas ini terasa satu abad bagi Miftah. Sejak tadi , Miftah terus saja menguap padahal semalam dia sama sekali tidak begadang.
Berbeda dengan kelasnya dulu, kelas kali ini terasa monoton untuk Miftah yang sudah terbiasa dengan kelas yang selalu aktif bertanya. Semua murid nampak tidak tertarik dengan apa yang diajarkan, mereka sibuk sendiri dan cenderung pasif dalam menerima setiap materi yang di sampaikan. Di kelasnya dulu—sebelas IPA dua, saat guru menjelaskan hampir tidak ada jeda sedikit pun tanpa adanya pertanyaan. Anak-anak pintar di sana selalu haus akan beragam pertanyaan, mulai dari hal yang biasa saja sampai hal yang out the box. Tapi justru hal itu menjadi warna menarik dalam proses belajar.
“Eh, cewek b***k awas dong!” Miftah menoleh ke samping. Seorang gadis berparas manis dengan wajah bak gadis Rusia, berkulit putih pucat serta memiliki mata berwarna hijau toska pemilik suara itu. Gadis itu menatap sinis Miftah. Miftah bahkan belum tahu siapa namanya tapi dia seperti sudah sangat membenci Miftah.
“Itu lengan apa dahan pohon sih besar banget, ngalangi mata gue dari papan tulis! “protesnya.
Salah sendiri kenapa nyuruh gue duduk di depan ini! Batin Miftah. Miftah menarik kembali lengannya, tersenyum samar sebagai pengganti kalimat maaf.
“Lo mau tukaran tempat duduk gak?” tanya Miftah, mencoba mencari peluang untuk pindah dari bangku ini. “Kalo boleh tahu nama Lo siapa?”
“Idih, sok akrab banget sih! “gadis itu menatap judes Miftah. Menyoroti penampilan Miftah dengan sangat cermat membuat Miftah refleks memiringkan kepalanya karena bingung apa yang sedang terjadi.
“Seumur hidup gue gak punya teman jelek, Lo gak usah berharap kita bisa temenan!” ketus gadis itu, yang langsung di sambut gelak tawa Abdan.
Sendari tadi Abdan diam-diam memperhatikan interaksi keduanya. Miftah sebenarnya tidak terkejut dengan respon tiba-tiba Abdan. Miftah sudah curiga sendari tadi pentolan g**g tampan itu terus mengawasinya dan bermain ponsel hanyalah alibi semata dan ternyata kecurigaannya Miftah benar. Miftah curiga kalo perpindahannya juga ada sangkut pautnya dengan cowok bermata biru hazel itu.
Dengan sisa tawanya Abdan berujar pelan. “Ternyata ada manfaatnya juga ya, gadis b***k kayak Lo masuk ke kelas ini. Bagus banget buat jadi bahan ejekan.” Abdan kembali tertawa.
Miftah heran dari sisi mana orang mengatakan cowok di belakangnya ini sangat-sangat tampan. Bagi Miftah seorang Abdan hanya mentok di standar tampan yang jika di liat kedua kali sudah membosankan dan jika tiga kali mulai memuakkan.
“Iya dong, kehadiran gue emang selalu membawa manfaat,” sahut Miftah yang enggan marah. Marah hanya membuat kerutan pada kulit eksotisnya. “Kalo Lo manfaatnya apa? Selain sok ganteng?! Upps gak ada ya? Ya udah jangan sedih ya.”
Seketika tawa Abdan berhenti. Abdan memicingkan matanya, tidak terima akan kalimat terakhir yang gadis itu ucapkan.
“Sok ganteng? “ ulang Abdan berang. Dia memang ganteng!
Miftah langsung membalik tubuhnya, enggan kembali menanggapi Abdan yang menurutnya tidak penting.
Sial! Batin Abdan. Kekesalannya pada cewek berbadan gendut yang suka sekali menggunakan jilbab miring makin menjadi-jadi. Abdan tidak akan membiarkan gadis itu tersenyum selebar itu lagi setelah hari ini.
**