“Kamu kenapa? Kok wajahnya ditekuk begitu?” tanya Dhika saat menemui Nadia yang sedang duduk di gazebo bambu tamannya.
“Lagi sebel!” jawab Nadia singkat.
“Pasti gara-gara Pian lagi kan?” tebak Dhika.
“Ya iya lah, siapa lagi kalau bukan dia.” Nadia mulai sinis.
“Ya sudahlah, nggak usah dipikirin. Kan ada aku yang selalu menghibur mu!” Dhika pun menepuk bahu kanan Nadia, “kamu belum menyiram tanaman kan? Kita siram aja yuk! Kasian tuh bunganya kehausan minta minum.” Dhika mencoba menghibur, Nadia tersenyum.
“Bisa aja kamu Dhik, ya sudah yuk kita nyiram! Menghabiskan waktu saja mikirin Pian. Cowok gak penting gitu.” Nadia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju gulungan selang yang sudah tersambung dengan kran air yang ada di pinggir kolam air mancur. Nadhi mengikutinya di belakang.
Nadia memulai aktifitasnya yang biasa dilakukan tiap sore itu. Baru lima menit Nadia menyiram tanaman-tanamannya, tiba-tiba terdengar suara deringan ponsel Nadia berbunyi. Lagunya ST 12 yang Saat Terakhir pun mengalun merdu terdengar. Nadia melepaskan selang dan mematikan kran, Nadia berjalan ke gazebo untuk mengambil ponselnya, ada satu panggilan tertera di sana. Panggilan dari seorang cowok bernama Beni. Nadia tidak langsung mengangkatnya,
“Kak Beni, ada apa ya tumben nelpon sore-sore gini?” gumam Nadia berpikir sebentar lalu mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum,” sapa suara cowok dari seberang.
“Wa'alaikum salam,” jawab Nadia tanpa berbicara apa-apa lagi. Dia hanya diam menunggu cowok itu berbicara kembali.
“Nad, kamu ada di taman ya?”
“Iya,”
“Singkat sekali jawabannya?”
“Emangnya Nadia mau bilang apa lagi. Jawaban dari pertanyaannya kakak kan cuma dua, iya dan nggak. Karena Nadia lagi di taman jadinya Nadia jawab iya.”
“Ya sudah, Nad bisa nggak kamu keluar sebentar, kakak pengen ketemu! Kakak tau kamu nggak suka ada orang lain yang masuk ke taman, makanya kakak tunggu kamu di luar!”
“Maaf sebelumnya kak, Nadia gak bisa. Nadia lagi sibuk, kalau mau ketemu Nadia lain kali aja, sekali lagi maaf banget. Assalamualaikum.” Nadia mengakhiri pembicaraannya.
Telpon pun diputus Nadia, Nadia meletakkan ponselnya kembali di atas gazebo, dan dia pun kembali melanjutkan kegiatannya.
*****
“Nad, kakak mau ngomong!” Agil mencegah langkah Nadia yang baru aja menaiki anak tangga pertama.
Nadia menghentikan langkahnya, dan berbalik arah.
“Kalau kakak mau ngomong masalah aku yang tadi cuekin kak Beni, Nadia gak mau dengar. Males Nadia ngebahas itu. Nadia masih banyak urusan yang lebih penting yang harus Nadia kerjain. Lagian, lagi sebentar azan Magrib kan? Lebih baik kakak ambil air wudhu dan siap-siap untuk sholat! Masalah kak Beni lain kali aja dibahasnya.” Nadia pun berbalik arah kembali dan meninggalkan kakaknya itu, tanpa peduli dengan kakaknya yang terus menatap sosoknya.
Sang kakak hanya menggelengkan kepala melihat sikap adiknya itu.
Dering ponsel Nadia terdengar lagi, dengan malas Nadia meraih ponsel di atas meja samping tempat tidurnya. Tapi saat dia melihat nama penelpon yang muncul di layar, dengan cepat dia langsung mengangkatnya.
“Asslamualiakum, kak Fahri?” sapanya girang, wajahnya langsung berseri.
“Waalaikumsalam, girang amat suaranya. Lagi bahagia ya?” tanya suara dari seberang sana
Ya iya lah Nadia bahagia secara cakapa-nya nelpon. Cakapa alias calon kakak ipar.
“Gak, biasa aja. Siapa juga yang lagi bahagia." bohongnya, "Tumben nih kakak nelpon Nadia. Ada apaan kak?” tanya Nadia penuh selidik
“Gak ada apa-apa, kakak kangen saja sama kamu, yah pengen ngobrol-ngobrol aja, gimana kabarmu? Keluarga di sana juga gimana kabarnya?”
“Oh begono toh, alhamdulillah semuanya baik-baik aja kak, kakak dan keluarga di sana gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik juga, gimana nih sekolah kamu?”
“Lancar, lancar aja kak, oh ya Nadia sekalian mau cerita nih, Nadia kan udah lama gak cerita sama kakak, habisnya kak Fahri sibuk terus sih, jadinya gak pernah bisa ngobrol-ngobrol deh.”
“Syukur deh kalau gitu, mau cerita tentang apa? Nah kakak tau, cerita tentang cowok barunya ya?” goda Fahri
“Idih kakak ini, cowok baru apaan, ya gak lah kak, mana ada cowok baru, orang Dhika aja masih ada, nanti mau Nadia kemanakan Dhika. Lagian gak akan ada yang bisa gantiin Dhika di hatinya Nadia!” bantah Nadia cepat, Fahri pun terdiam.
“kok diem sih kak, ada yang salah ya?” lanjut Nadia lagi.
“Ah eh gak ada yang salah kok. Pacar kamu kan cuma Dhika. Oya, bagaimana kabarnya Dhika di sana?” kata Fahri tergagap.
“Gimana sih kakak ini, kok kabar adiknya sendiri nggak tau. Dia baik-baik aja kok.”
“Bukannya gitu, kakak kan sibuk jadi nggak sempet hubungin dia!” ucap Fahri seakan tak percaya akan ucapannya sendiri.
“Ya sudah kak, Nadia mau cerita nih tentang cowok yang super duper nyebelin di kelasnya Nadia,” tanpa basa-basi lagi Nadia memulai ceritanya.
“Wih, segitu nyebelin kah cowok itu Nad? Emangnya siapa sih itu cowok? Dari nada bicaramu kayaknya kamu benci banget deh sama dia.”
“Ya emang, Nadia benci, benci, benci banget ama dia. Dia nyebelin banget kak, dan tau kak? Nama itu cowok sama kayak namanya kakak, sampai huruf-hurufnya juga sama. Gak ada beda satu huruf pun.”
“Haaaah namanya sama kayak namanya kakak. Fahri Sopian?” tanya Fahri tak percaya.
“Yup, your right. Fahri Sopian itulah nama cowok yang selalu ngebuat Nadia kesel. Pengen Nadia tonjok mukanya itu anak.”
“Eh gak usah sampe segitunya! Nanti kamu malah suka lagi ama dia. Bahaya kan kalau sampai makan omongan sendiri, jilat ludah sendiri. Malu-maluin tau!” Fahri mengingatkan.
“Apa sih kakak ini, ya doain sih supaya Nadia nggak kayak gitu. Pian itu ya kak, selalu cari gara-gara sama Nadia. Dia seneng banget buat Nadia kesel, sebel Nadia jadinya.”
“Tunggu dulu Nad, jangan-jangan cerita kakak ama kamu sama lagi. Dulu juga kakak sering dibuat kesel ama temen cewek kakak di kelas waktu SMA. Huuuuh itu cewek usil banget, mana suaranya udah kayak guntur, nyebelin, suka nyari gara-gara, udah gitu sok imut lagi, sok kecantikan, ih pokoknya nyebelin, nyebelin, nyebelin.”
“Banyak amat nyebelinnya. Ow, ternyata kakak juga pernah ngalamin hal yang sama kayak Nadia ya. Kok kakak dulu nggak pernah cerita sih, ternyata kakak sama adek itu nggak jauh beda ya kehidupannya. Keren-keren, hehehe. Berarti kakak tau donk cara ngatasin sikapnya orang-orang yang usil kayak mereka? Terus waktu itu sikap kakak gimana pas nanggepin cewek itu?”
“Kakak cuekin aja itu cewek, mana pernah kakak pedulikan dia ngomong apa tentang kakak. Lanjutin sudah dulu cerita kamu tentang si Pian itu, awal mulanya dari mana kok bisa jadi seperti itu kejadiannya?”
“Kayak apa aja bahasanya kakak tuh? Udah kayak para wartawan aja. Hehehe. Gini ceritanya kak, dulu itu aku temenan akrab sama Pian di kelas satu, kita sekelas. Nah pas semester duanya, nggak tau kenapa temen-temennya Nadia tiba-tiba salamin Nadia ke Pian, ya sudah dari situ gosip-gosip aneh pun menyebar, dan Nadia juga jadi sering berantem ama Pian. Hubungan pertemanan kita juga jadi kacau, huuuuh pokoknya heboh sudah itu kelas tiap hari gara-gara kita. Pas naik kelas dua, Nadia udah berharap sekali nggak sekelas lagi sama dia. Eh taunya, Nadia sekelas lagi sama dia. Udah gitu gosipnya jadi tambah parah lagi, gegara teman-teman Nadia dulu waktu di kelas satu itu sekelas lagi sama Nadia.” tutur Nadia panjang lebar namun singkat. Fahri hanya mendengarkan dengan khusyuk.
“Tuh kan Nad, benar-benar sama cerita kita. Tapi bedanya sama cerita kakak, cerita kakak itu kebalikan dari cerita kamu. Kalau dulu, kakak yang disalamin ke cewek itu sama temennya kakak, kita kan iseng-iseng main salam-salaman. Waktu itu kakak salamin temennya kakak ke temen duduknya cewek itu, eh taunya kenapa coba kakak yang di salamin ke cewek itu. Yeah otomatis kakak jadi malu, tau lah kakak kayak gimana Nad, dan akhirnya kakak cuekin itu cewek. Hubungan pertemanan kita yang semula baik jadinya putus deh, terus pas kelas dua kakak sekelas lagi ama dia. Dan gosip aneh pun juga mulai menyebar. Coba aja dulu temennya kakak itu nggak salamin kakak ke cewek itu, nggak bakalan kayak gini kan jadinya.” Fahri juga ikut bercerita tentang masa lalunya.
“Wiiiisss, hebat banget ceritanya bisa sama. Oya kak, ngomong-ngomong siapa nama itu cewek?”
“Ayu namanya.”
“HAAAAAH, AYU. JANGAN-JANGAN?” pekik Nadia kaget.
“Woi, jangan teriak dong, sakit tau telinganya kakak!” sentak Fahri.
“Maaf kak, maaf, Nadia kaget aja pas kakak sebutin namanya Ayu.”
“Memangnya kenapa Nad. Tadi ngapain juga kamu bilang jangan-jangan?”
“Gak kok, nggak ada apa-apa. Ini cuma pikiran negatif Nadia aja. Kakak coba sebutin nama panjangnya cewek itu, Nadia mau memastikan apa dugaan Nadia bener atau nggak?” pinta Nadia.
“Berarti ada apa-apanya sih kalau kayak gitu, gak enak nih perasaanya kakak.”
“Sudah, nggak usah pake acara nggak enak segala. Sudah cepat sebutin saja nama panjangnya itu cewek.”
“Iya, iya, nama panjangnya Ayuniarti.”
“APPPAAA, AYUNIARTI.” pekik Nadia histeris.
“WOOIIII,GAK USAH TERIAK-TERIAK DONG.” Fahri balas berteriak lebih kencang dari Nadia.
“Kakak ini, sakit telinganya Nadia!” ucap Nadia lirih.
“Siapa suruh teriak-teriak duluan, telinganya kakak juga sakit tau. Kamu sudah dua kali teriak di telinganya kakak!” protes Fahri.
“Iya, iya maaf. Tapi kak serius nih nama itu cewek AYUNIARTI?” tanya Nadia lagi seakan tak percaya.
“Ya iyalah, ngapain juga kakak ngarang-ngarang namanya!” kata Fahri lagi.
“Berarti kalau gitu cowok yang selama ini diceritakan sama kak Ayu itu kak Fahri dong. Astaga, tapi masa sih cowok itu kak Fahri?, Tapi emang bener sih kayaknya itu cowok yang dimaksud kak Fahri, secara kan kakak dulu juga alumni SMANTI.”
“Nadia, jangan bilang kalau kamu kenal sama Ayu?” tanya Fahri tak percaya.
“Memang Nadia kenal sama kak Ayu, kenal banget malah. Malahan kita sering bertukar cerita, dan kak Ayu juga sering banget ceritakan tentang masa-masa SMAnya dulu. Termasuk cerita tentang seorang cowok yang sering disebut dengan panggilan Bintang, ternyata Bintang itu kakak toh,”
“Apa? Nad, kamu nggak lagi becanda, kan?” tanya Fahri seakan tak percaya ucapan Nadia.
“Ngapain juga Nadia becanda, Nadia itu serius kak. Nadia kenal kak Ayu itu dari sahabatnya Nadia. Waktu itu kakaknya sahabat Nadia ulang tahun, terus Nadia diundang ke ulang tahun kakaknya itu, nah di sana Nadia dikenalin deh sama kak Ayu. Ya udah deh dari sana kita mulai akrab. Dan ternyata sahabatnya Nadia kenalin kak Ayu karena cerita yang kita alami itu sama!” jelas Nadia, “Nadia juga sempet kesel sama si Bintang ini. Segitu sekali sih dia sama kak Ayu, kalau suka bilang aja suka, kalau nggak suka bilang nggak suka. Ngapain harus mainin kak Ayu?” lanjut Nadia lagi.
“Heeehhh, siapa juga yang mainin dia, itu ceweknya aja yang cepet ke GR-an. Kalau kamu kesel sama Bintang, berarti kamu kesel sama kakak dong?” Fahri membela diri.
“Ya iyalah, kakak kan si Bintang itu. Menurut Nadia, kakak itu emang mainin kak Ayu. Kakak itu juga ke GR-an tau. Kak Fahri itu salah, mainin perasaannya cewek seenaknya aja. Dasar playboy. Beda banget sama adiknya.” Nadia semakin memojokkan Fahri.
“Lho kok kakak sih yang disalahin? Gak adil nih, kakak aja yang dipojokkan, Ayu terus yang dibela.” protes Fahri.
“Siapa juga yang ngebelain kak Ayu? Nadia gak ngebelain siapa-siapa tau. Tapi kakak itu emang salah. Kalian berdua itu pada egois, gak ada yang mau ngalah untuk jujur!” bantah Nadia.
“Ye siapa juga yang egois. Dia itu duluan yang playgirl. Cowoknya banyak banget, hampir tiap hari ada aja cowok yang dia certain ke sahabatnya, gak Putra, nggak Ari, nggak Adi, nggak Nino, Tito, Ichal, siapa udah lagi itu namanya, banyak sekali kan? Belum lagi si Teges itu!” Fahri membela diri.
“Nah, kakak cemburu kan? Siapa suruh kakak juga deketin banyak cewek, nggak Enoq lah, Metri lah, Linda lah, Nova lah, Desi lah, siapa juga itu lagi. Dan khusus buat Teges, kakak kira Teges itu kakak kan?” cecar Nadia.
“Sudahlah, ngapain bahas cewek gila itu. Udah stop bicarakan dia! Sekarang kamu lanjutin aja cerita tentang cowok yang namanya Pian itu!” pinta Fahri menghentikan pembicaraan tentang masa lalunya itu.
“Iya, iya, Nadia lanjutin ceritanya Nadia?” Nadia melanjutkan ceritanya tadi.
“Oya Nad, BTW gimana keadaan rumah?” tanya Fahri setela pembicaraan tentang cowok yang bernama Pian itu selesai.
"Semuanya baik-baik aja kak, nggak ada yang berubah sedikitpun. Semuanya masih seperti dulu. Oh ya, kapan nih kakak pulangnya?”
“Oh, syukur sudah kalau begitu. Jadi kangen, pengen cepet-cepet pulang.”
“Makanya cepetan ke sini kak, ntar kita jalan-jalan bareng kayak dulu, kita becanda bareng, seneng-seneng bareng, sedih bareng, semuanya sudah, hehehe!” ucap Nadia bersemangat.
“Ya elah, semangat amat bu? Tunggu saja, kakak pasti pulang kok ntar kakak usahakan supaya bisa pulang cepet, kakak kan juga kangen sama Dhika, sama semuanya sudah. Terus itu Prince SMANSA gimana?”
“Sip sudah, Nadia tunggu. Em, mereka juga baik-baik aja. Sekarang mereka lagi pada sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian kelulusannya. Tapi ada yang Nadia nggak suka dari mereka, mereka nyebelin banget tau kak. Bayangkan aja, mereka itu sibuk buat comblangin Nadia sama teman-teman mereka. Tiap hari itu ada saja cowok-cowok yang dikenalin ke Nadia. Bosen tau kak, orang nggak mau, tetap saja dipaksa. Ya udah, Nadia cuekin aja. Bodo amat udah ama mereka!” gerutu Nadia kesal.
“Kok gitu sih, ntar malah nggak ada yang mau deketin kamu lagi lho,”
“Biarkan saja, siapa juga yang butuh cowok baru. Nadia kan udah punya Dhika. Sekarang aja ke tiga Prince SMANSA itu lagi pada nungguin Nadia, mereka mau bicarakan masalah Nadia yang cuekin temen-temen mereka itu. Tapi Nadia nggak mau, males banget Nadia dengerin ocehan mereka. Kak tolong apa bilangin ama mereka, suruh mereka gak usah kenalin Nadia ama teman-temannya itu!” pinta Nadia.
“Ya sudah, nanti kakak yang ngomong sama ketiga kakak-kakak kamu itu. Ya wajar sih kamu nggak mau dikenalin sama teman-teman kakakmu, orang udah ada Pian. Hehehe,” goda Fahri.
“Apaan sih kakak ini juga, Pian, Pian, Pian dari Hongkong. Nadia itu kan sudah punya Dhika, itu baru benar!” ucap Nadia tegas.
“Yo wes, Nadia kan pacarnya Dhika, dan nggak akan ada yang bisa merebut Nadia dari Dhika, begitu juga sebaliknya.” Fahri membenarkan walaupun sebenernya dia sendiri juga nggak percaya dengan ucapannya.
“Sip, sip, nah gitu dong kak.”
“Sudah dulu ya Nad, kakak mau sholat Isya’ dulu nih.”
“Ya sudah, met sholat aja kak, kalau Nadia mah udah salat Isya’ dari tadi.”
“Ya sudahlah, salam sama keluarga di sana!”
“Gih ntar Nadia sampaikan salamnya kakak. Salam sama Papa dan Mama di sana juga Kak.”
“Sip Bos, ya sudah. Assalamualaikum”
“Wa'alaikum salam”
Tut, tut, tut.
Telpon pun terputus.