Candralekha
“Lekha?”
Langkahku otomatis terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku dengan nada seperti tidak yakin pada pandangannya sendiri. Aku berbalik dan melihat sosok Bayu dengan kedua sudut bibir sedikit terangkat ke atas. Tidak sampai membentuk bulan sabit, tapi aku bisa menemukan senyum di wajah irit ekspresi itu. Dan aku tidak bisa menampik kenyataan kalau laki-laki bermata sendu itu setingkat lebih tampan dengan sentuhan senyum tipisnya.
“Hei,” jawabku singkat membalas senyum tipis itu dengan senyum sedikit lebih lebar dari senyum yang diberikannya padaku.
Masih dengan senyumnya yang tipis-tipis manis itu, dia menatapku. “Kirain salah orang. Ternyata beneran Lekha,” ujarnya memastikan lalu bertanya apa yang sedang aku lakukan di sini. Aku lalu menjawab apa adanya kalau baru saja bertemu dengan Syfo, adik perempuannya dan suami adiknya yang seorang pengacara, di restoran yang menyajikan menu masakan Eropa sembari menunjuk ke arah restoran yang berjarak sekitar sepuluh meter dari tempatku bertemu dengan Bayu saat ini.
“Oh, ya? Kalian bertiga jalan bareng atau?”
“Seperti kita sekarang ini. Nggak sengaja bertemu.”
“Trus, dari sini kamu mau ke mana?” tanya Bayu lagi, sangat menunjukkan kalau dia sama sekali tidak ingin membahas lebih jauh soal itu lagi.
“Mau pulang. Tapi sekalian muter sekali lagi karena posisi parkir mobil aku lumayan jauh dari lantai ini. Hitung-hitung menerapkan program kesehatan sehari seribu langkah,” jawabku, lalu menyebutkan di lantai berapa mobilku diparkir.
Tatapan Bayu beralih mengitari sekitar pusat perbelanjaan seiring dengan senyum geli di wajahnya. “Jauh kayaknya. Tersesat apa emang lupa waktu?” tanyanya dengan nada bercanda.
“Beda tipis, right?”
Bayu lagi-lagi menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca. Sampai kemudian tatapan sendu itu jatuh di mataku. Perlahan diikuti senyum yang sudah menipis dari senyum geli sebelumnya. Senyum tipisnya itu membuat Bayu terlihat semakin misterius dan menarik untuk dicari tahu tentang sosoknya.
“Kalau saya ajak nonton dulu sebelum pulang gimana?” tanya Bayu tanpa basa basi.
Aku menunjukkan reaksi ‘hah’ lewat tatapan dan raut wajahku.
Sebenarnya ini bukan pertama kali aku diajak nonton oleh makhluk berjenis kelamin laki-laki. Meski akunya trauma dengan laki-laki tidak lantas membuat aku jadi tidak punya daya tarik bagi kaum itu. Beberapa bahkan ada yang terang-terangan menunjukkan ketertarikan lebih jauh dan mencoba mencari celah agar bisa menjalin hubungan istimewa denganku. Dan seperti biasanya nggak ada satupun yang berakhir menjalin hubungan istimewa. Namun laki-laki yang ada di hadapan hamba ini, kenapa berbeda, Tuhan? Cara dia ngajak nonton aja udah nggak biasa. Benar-benar datar. Dia sama sekali nggak menunjukkan sedikitpun basa basi seperti, “Saya ada rencana mau nonton film yang akan tayang setengah jam lagi. Kalau kamu mau, bisa gabung dengan saya.” Atau apa sajalah basa basi sejenis itu.
Meskipun Bayu menunjukkan ekspresi yang datar seperti itu, ajakannya itu cukup membuatku terkejut. Aku juga pernah berhadapan dengan orang yang to the point seperti dia. Beberapa ada yang aku terima tawarannya kalau memang aku merasa nyaman, tapi kalau nggak nyaman ya aku juga nggak akan segan untuk menolak. Namun di antara berbagai jenis laki-laki yang pernah aku temui di usiaku yang menjelang kepala empat ini, nggak ada yang modelannya seperti Bayu. Udahlah nggak sengaja bertemu, tahu-tahu ngajak nonton dengan muka datarnya itu.
Meski aku mengomel-ngomel dalam hati karena merasa speechless juga merasa aneh, tapi entah kenapa aku memberi point khusus atas penilaianku pada sosok Bayu ini. Pada akhirnya aku mungkin lebih aneh dari Bayu. Ngomel-ngomel dalam hati tapi menerima ajakan orang yang membuatku berakhir ngedumel sendiri. Aku sendiri juga nggak tahu apa pilihanku adalah yang paling tepat. Berhubung aku dan Bayu akan terlibat banyak urusan penting menyangkut kesehatan dan pengobatan ibunya selanjutnya, jadi menurutku nggak ada salahnya memulai sesuatu dengan membentuk interaksi yang baik.
Dan di sinilah kami berdua sekarang berada. Membaur bersama orang-orang yang ingin menonton seperti kami. Suasana lantai ini cukup padat hari ini, mengingat hari ini adalah hari libur bagi para pekerja kantoran seperti Bayu dan juga pelajar. Yap, banyak gadis-gadis belia di sekitarku karena memang ada sebuah film yang katanya pemainnya menjadi incaran para Gen Z. Awalnya Bayu menawarkan padaku menonton film itu karena posternya memang berada di paling depan dekat pintu masuk ruang tunggu bioskop.
“Kenapa mesti film itu? Kamu pilih secara random, apa karena posternya yang pertama kali kamu lihat?”
“Oh, nggak random. Beberapa waktu lalu anak saya sempat menanyakan apa dia boleh menonton film itu pada saya? Jadi masih terngiang-ngiang aja judul film dan nama pemain utamanya,” jelas Bayu.
Aku cukup terkejut ketika dia dengan leluasa menceritakan hal yang sifatnya pribadi seperti itu padaku tanpa merasa takut aku akan risih atau meremehkan ceritanya. “Trus kamu jawab apa?” tanyaku menanggapi cerita Bayu lebih jauh.
“Saya nggak ngijinin kalau nonton sendirian karena usianya masih di bawah 13 tahun sementara film itu ada batasan usianya 13 tahun ke atas. Kecuali kalau nontonnya sama Bunda baru boleh,” jelas Bayu dengan santai.
Bunda itu mantan istrinya kali ya? Tanyaku dalam hati, tapi nggak mengungkapkan pertanyaan retoris itu.
“Akhirnya jadi nonton nggak tuh?” tanyaku menepis sendiri pertanya konyol yang terlintas begitu saja di benakku.
“Nggak jadi. Karena lebih tertarik menonton film yang lain. Yang itu,” kata Bayu sambil menunjuk pada sebuah poster film 3D animasi anak-anak. Aku refleks tersenyum geli mendengar penjelasan Bayu.
“Gimana kalau kita nonton film itu aja?”
“Animasi? Yakin?”
“Why? Kenapa kamu kayak nggak yakin gitu pada pilihan saya?” tanyaku dengan nada bicara ceplas ceplos.
“Nggak gitu juga. Maksud saya, itu kan, film anak-anak. Kamu mau nonton film kartun?”
“Ya, kenapa? Nggak ada yang salah dengan film kartun. Memangnya orang yang usianya hampir kepala empat ini nggak boleh nonton film animasi ya?” tanyaku sarkas.
“Ya, nggak salah juga dan boleh-boleh aja,” ujar Bayu ragu. “Cuma, saya kira kamu akan memilih film yang berbau-bau romantis atau semacamnya.”
“Nggak seru. Filmnya paling begitu-begitu aja. Saya lebih suka film yang memanjakan mata dengan teknologi modern dalam dunia perfilman. Animasi salah satunya.”
“Oke kita nonton itu. Kamu nggak mau beli camilan untuk dimakan dan diminum selama nonton?”
“Mau. Kamu pengennya apa?”
“Samain aja. Biar saya saja yang antri,” balas Bayu santai.
“Nggak apa-apa saya aja. Sekalian ngantri tiket.”
Bayu menampilkan raut tidak suka, tapi akhirnya wajah tegangnya sedikit melunak. “Kalau gitu ngantri bareng aja.”
Tanpa banyak cingcong aku mengikuti langkah Bayu menuju antrean. Setelah sampai di depan meja pemesanan Bayu menatap ke arah belakang meja pemesanan sambil membaca menu yang ada di papan. Sementara aku mendadak terpukau menatapnya.
“Ada sesuatu yang salah pada saya sampai harus membuat kamu ngeliatin saya terus?” tanya Bayu yang mungkin menyadari kalau aku terus memerhatikan dirinya sejak beberapa menit yang lalu.
“Masih heran aja sama kelakuan random kamu,” jawabku seadanya. “Baru kali ini ketemu keluarga pasien, ya memang saya kenal sebelumnya, trus tiba-tiba diajak nonton. Tujuan kamu yang sebenarnya apa, sih?”
Tiba-tiba Bayu tertawa singkat. Iya benar-benar singkat dan pelit banget Ya Tuhan. Padahal aku masih ingin menikmati tertawanya yang membuat wajahnya setingkat lebih menarik. Tapi tertawa singkat itu cukup mampu menghipnotis beberapa orang di sekitar kami berdua lalu membuat mereka yang notabene adalah perempuan yang usianya lebih muda dariku itu berbisik-bisik dan saling melempar kode pada temannya yang lain untuk menoleh pada keberadaan Bayu. Ya, tahu sendirilah bagaimana reaksi perempuan normal ketika melihat laki-laki yang masuk kriteria good looking seperti Bayu ini.
“Kamu tahu tujuan saya? Jawaban jujur atau random?”
Aku mengangkat sebelah alisku sambil menatap Bayu. “Saya lebih suka kejujuran sekalipun itu menyakitkan, Bayu.”
Bayu menatapku lurus-lurus. Matanya yang berwarna kelam itu sukses membuatku terpana. Kini dia sedang tersenyum tipis yang menyempurnakan kontur wajahnya yang merupakan perpaduan wajah tegas tetapi menarik.
“Nanti juga kamu tahu sendiri,” jawabnya iseng tak ketinggalan memamerkan senyum tipis manisnya itu.
Oh, orang ini selain misterius juga agak sulit dimengerti ya. Batinku berkomentar.
~~~
^vee^