PRIA BERTOPENG BERAKSI KEMBALI

1354 Kata
Ryan tiba di apartemennya, Ia langsung saja membersihkan badannya di bawah guyuran air shower dengan suhu air hangat. Selesai mandi dikenakannya celana training dan kaos berwarna hitam dengan ukuran yang melekat erat di tubuhnya. Ryan kemudian menuju ke dapur untuk membuat makan malam yang sedikit terlambat bagi dirinya sendiri. Di gorengnya Baccon hingga matang, Ia lalu membawa segelas whiskey untuk menemani makannya. Ryan memakan makanannya hingga tandas. Ryan telah lama meninggalkan kota ini, kota kelahirannya. Datang ke sini, sedikit banyak membuka kembali kenangan pahit yang pernah dialaminya saat masih duduk di Senior High School. Ia termasuk siswa yang beruntung mendapatkan beasiswa di sebuah Universitas Swasta yang ternama. Ryan anak yatim piatu, ia dibesarkan di sebuah panti asuhan yang dikelola oleh pasangan suami istri yang sangat baik. Selama menjadi anak panti Ryan memiliki sifat yang teramat sangat pendiam, Ia tidak berani untuk bergaul dan berteman dengan anak-anak panti yang lainnya, karena ukuran tubuhnya yang kurus dan kecil. Ia lebih suka mengurung dirinya di dalam kamar. Kini, Ryan datang kembali ke kota kelahirannya, dalam situasi yang berbeda, Ia sudah mempunyai beberapa orang teman dekat dan ia juga sekarang berani untuk berbicara dengan orang lain. Ryan dulu dan sekarang juga berbeda, kalau dahulu ia adalah anak panti yang mengharapkan kasih sayang dan kebaikan dari ibu panti, Ryan yang sekarang tidak mengharapkan belas kasih dari orang lain lagi. Ryan sekarang ini sudah memiliki pekerjaan sebagai tukang servis elektronik, di sela-sela kesibukannya sebagai seorang mahasiswa Jurusan Teknik. Ryan beruntung ia memiliki kecerdasan yang membawanya memperoleh beasiswa hingga ia bisa ke luar dari Kota Tua ini dan memberikannya kehidupan yang lebih baik di tempat barunya. Ryan menyalakan pemanas ruangan, udara semakin dingin saja dengan suara petir yang sambar menyambar. Ryan mengambil kembali sebotol whiskey dan langsung menenggaknya hingga tandas. Di lain tempat, detektif Miller dan Monza kembali ke markas kepolisian tempat mereka bertugas. Keduanya sudah berganti dengan pakaian kering dan nyaman. Miller dan Monza kembali membuat beberapa catatan dari hasil temuan mereka kali ini. Mereka mendapatkan saksi mata yang hidup, akan tetapi saksi mereka tidak dapat menjelaskan dengan lebih detil, misalnya warna mata pelaku, warna rambut dan apakah pelakunya memiliki ciri khas. Miller mengeluarkan buku sakunya dan membuka catatan yang didapatkannya setelah melakukan penyelidikan tadi. Ia mendapatkan ukuran sepatu dari pelaku adalah 42,5 dan bisa dipastikan pelaku memiliki ukuran kaki yang panjang. Menurut keterangan Aline, pelaku tidak memiliki badan yang gemuk, melainkan proporsional. Pelaku memiliki gigi yang putih dan bersih dan ia juga seperti yang sudah kita duga adalah seorang yang kidal. Ia memegang pisau di tangan kirinya. “Sayang sekali, saksi kita tidak mau untuk kita minta tinggal di rumah ‘Aman,’ kita tidak tahu apakah pelaku akan kembali lagi ataukah tidak.” Kata Monza. “Kau benar sekali, Ia merasa aman, karena rumahnya memiliki alarm keamanan yang akan berbunyi begitu mendeteksi adanya orang atau benda asing yang mendekat. Kita juga akan berpatroli untuk melihat keadaan rumah itu.” Sahut Miller. Monza kemudian melihat jam tangan nya yang sudah menunjukkan puku 02.00 dini hari dan sudah waktunya mereka untuk melakukan patroli kembali. DI lain tempat, setelah kepergian dua orang detektif yang memeriksa kondisi rumahnya, Aline kembali masuk ke dalam kamarnya. Aline memaksakan matanya untuk terpejam, meski susah, karena bayangan pria bertopeng dengan tangan yang menggenggam pisau dan diacungkan ke arahnya masih saja terbayang. Aline mencoba untuk membayangkan menghitung anak domba, agar membuatnya mengantuk. Benar saja, tak lama kemudian Aline pun tidur dengan nyenyaknya. Sementara itu, pria bertopeng kembali mendatangi ke diaman Aline, setelah hujan badai reda beberapa jam kemudian. Ia merasa senang, karena dengan cepat dapat mengetahui di mana letak kamar gadis remaja yang menjadi targetnya. Mematikan alarm secanggih apa pun bukan masalah baginya, karena ia memiliki kemampuan dalam menyabotase system computer keamanan. Pria bertopeng itu membuka pintu rumah targetnya dengan mudah menggunakan peralatan yang sudah ia persiapkan. Sol sepatu karetnya memudahkan ia masuk ke dalam rumah dan menaiki tangga tanpa terdengar sedikit pun. Pria itu kemudian mengira-ngira di mana letak kamar Aline, sejak saat terakhir ia melihat gadis itu berdiri di depan jendela kamar nya. Pria bertopeng itu kemudian membuka sebuah pintu kamar dan ia menyeringai, ketika melihat sosok tubuh gadis remaja yang menjadi incarannya lah yang ada di atas tempat tidur itu. Dengan langkah kaki pelan, pria bertopeng itu memasuki kamar menuju ke arah gadis remaja itu sedang tidur. Pria bertopeng itu harus menahan nafasnya dan bersembunyi di balik lemari, ketika tiba-tiba saja pintu kamar gadis itu terbuka dan terlihat seorang wanita paruh baya yang melihat ke arah ranjang gadis itu. Wanita itu menyalakan lampu kamar sang gadis, yang terletak di samping pintu kamar. Ia melihat-lihat ke sekeliling kamar dan setelah melihat tidak ada yang menurutnya mencurigakan, ia mematikan lampu kamar dan berjalan ke luar dari kamar gadis tersebut. Pria bertopeng itu tersenyum puas, wanita itu tidak teliti dalam melakukan pengamatannya. Ia mendekati sang gadis yang masih tertidur dengan lelapnya. Saat Ia mengacungkan pisau miliknya, mata gadis itu terbuka lebar dan terlihat ketakutan, dengan cepat dibekapnya mulut gadis itu dengan tangan kanannya, kemudian ia mengarahkan pisau yang dipegangnya ke leher gadis itu. Tes.. tes… tes… darah gadis itu jatuh membasahi lantai. Sama seperti korban sebelumnya, pria bertopeng itu pun mengambil darah sang gadis dan menulis sebait puisi di cermin yang ada di kamar gadis itu. Hanya suara tetesan darah yang terdengar Hanya suara tetesan darah yang terdengar Mulutku telah terbungkam Pesonaku pun memudar Musnah bersama malam Puas dengan hasil yang telah dibuatnya, pria bertopeng itu pun kemudian meninggalkan kediaman sang gadis dengan santai. Ia telah berhasil menuntaskan misinya yang sempat tertunda. Hujan rintik-rintik kecil,, mengiringi langkah kakinya, menuju ke tempat ia menyembunyikan mobilnya dari pandangan mata yang curiga. Begitu masuk ke dalam mobilnya, ia langsung menyalakan penghangat mobil dan dilepasnya topeng yang ia kenakan. Ia juga melepas sarung tangan karet yang dikenakannya yang sudah terkena noda darah dan lembab, karena terkena air hujan. Dipakainya sarung tangan yang baru untuk menghangatkan tangannya. Ditaruhnya sarung tangannya yang telah kotor, berikut topeng dan pisaunya ke dalam jok mobil yang ia duduki. Ia mengambil botol Whiskey yang tersedia di dalam mobilnya dan meneguknya sampai habis. Pria itu kemudian mengemudikan mobilnya ke luar dari persembunyian menuju jalan raya. Mobil yang dikemudikannya berpapasan dengan mobil patroli polisi, Ia menahan debaran jantungnya berharap agar polisi yang berada di dalam mobil itu tidak curiga mengapa ia berada di jalan yang sepi. Pria bertopeng itu menarik nafas lega, ketika mobilnya tidak dihentikan dengan cepat ia melajukan mobilnya menuju ke tempat persembunyiannya. Sementara itu, detektif Monza dan Miller, melakukan patroli rutin mereka. Keduanya sedang menuju kediaman Aline, saat melihat sebuah mobil pick up tua yang terlihat mencurigakan. Mobil itu ke luar dari sebuah jalan yang sudah lama tidak digunakan lagi, sebuah jalan yang hanya orang-orang tertentu saja mengetahuinya, karena jalan itu menuju ke sebuah rawa yang sudah di tutup. Mobil patroli berhenti di depan rumah Aline, Monza dan Miller turun dari mobil, sekilas tidak terlihat hal yang mencurigakan dari rumah tersebut. Senter milik Monza menyorot pintu rumah Aline yang tidak tertutup rapat. Monza menyenggol lengan Miller memberi kode untuk menuju ke rumah Aline. Keduanya pun berjalan mendekat, Miller meraih gagang pintu yang tidak tertutup rapat dan dengan mudahnya pintu itu pun terbuka. Keduanya saling berpandangan, “Sial!” Umpat Miller, “Sepertinya pelaku kembali lagi, semoga saja kita tidak terlambat.” Kata Miller. Keduanya berpencar, Monza naik ke atas menuju di mana kamar Aline terletak, sementara Miller memeriksa kondisi di lantai bawah. Miller memeriksa kondisi ruang tamu yang tetap terlihat rapi, tidak ada barang yang hilang, semua tetap pada tempatnya, seperti terakhir kalinya ia melihat kondisi ruang tamu. Miller kemudian melanjutkan langkah kakinya menuju ke dapur, kembali ia tidak menemukan kekacauan dan sesuatu hal pun yang mencurigakan. Miller berbalik ke luar dan menuju ke tempat di mana Monza berada. Monza berjalan dengan perlahan, ia tidak tahu apakah penyusup yang masuk ke rumah ini masih ada ataukah sudah pergi. Monza membuka pintu kamar Aline dengan perlahan, satu tangannya menggenggam pistolnya dengan erat, sementara satu tangannya memegang senter dan menyorot seisi kamar. Hingga sinar senternya menyorot wajah Aline dengan mata biru miliknya yang melotot. “Sial.. sial!, ternyata pelaku itu kembali dan berhasil.” Umpat Monza kecewa dan marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN