Minta Status

1585 Kata
“Lima puluh ribu lagi, Mas?” Senyumnya merekah menerima uang dari suaminya. “Iya, cukup ‘kan buat seminggu,” jawab Bima sambil melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Lalu tangannya berpindah ke perut Laura yang kandungannya sudah menginjak enam bulan. “Mas, aku keluar dari kerjaan demi Mas, lho. Tapi, kalau uang segini untuk seminggu kurang.” “Cukupin aja, Laura. Jangan boros-boros jadi istri. Mas gak mau tahu, pokoknya harus cukup seminggu.” Laura menganggukkan kepalanya pelan sambil mendesah. Dia lepaskan pegangan tangan dari sang suami. “Mas, beli gas. Udah habis, aku belum masak dari pagi.” “Tadi kamu makan apa dari pagi?” Bima menaikkan sebelah alisnya. “Makan roti yang ada di meja makan, Mas.” “Hemat, yah. Jangan boros-boros, Mas beli gas dulu. Mana uangnya?” Bima menengadahkan tangan. Sontak Laura terhenyak dan terkejut melihat tangan suaminya yang tepat di depan muka. “Mas, ini buat beli gas juga?” “Iya, buat semuanya. Pokoknya lima puluh ribu untuk seminggu. Mas gak mau tau lagi kamu merengek minta gas, galon, atau jajan itu semua harus cukup uang yang Mas berikan.” Dengan demikian Bima hanya manafkahi Laura selama sebulan dua ratus ribu. Beralasan untuk menabung kebutuhan melahirkan makanya Bima tidak seroyal lagi seperti dulu. Laura memberikan uang yang baru saja dipegang olehnya dikembalikan lagi kepada Bima. “Mas, aku mau makan bakso. Bisa bawain bakso untukku.” “Jangan banyak makan bakso. Kamu lagi hamil, lho.” “Ini larangan atau Mas masih mode hemat. Semenjak tiga bulan belakangan ini, Mas berubah. Kenapa, Mas? Salahku apa? Aku mematuhi perintah Mas yang katanya mau melihatku menjadi ibu rumah tangga saja.” “Sudahlah, jangan banyak tanya. Mas beli gas dulu,” kilah Bima seraya mengecup pipi sang istri. Rumah tangga selama tujuh tahun. Baru sekarang Laura benar-benar tertekan melihat perubahan sikap suaminya belakangan ini. Dijatahi uang belanja dua ratus ribu membuat Laura galau karena uang. Dia pandangi mobil mewah suaminya melaju kencang. Laura berdiri di teras rumah sambil memegangi perutnya. “Nak, kita pasti bisa berhasil melewatinya. Yang kuat, Nak.” Baru saja dia mau putar badan. Suara gemuruh motor dari kejauhan membuat Laura langsung balik badan dan melihat Mesya sahabatnya datang. Senyumnya mengembang tipis sambil melambaikan tangan menyambut Mesya. “Assalamualaikum. Bagaimana kabarnya, bumil?” “Walaikumsalam, Mesya, gak usah repot-repot segala.” Dia tidak enak hati dengan kebaikan Mesya yang kerap datang seminggu sekali membawakan makanan bergizi bahkan membawa s**u hamil untuknya. Mesya menjinjing tote bag lumayan besar. “Laura, aku itu sayang sama kamu. Jadi gak mau kamu sakit karena gara-gara dijatah lima puluh ribu sama suamimu yang kayaknya agak miring otaknya.” “Mesya, masuk,” ajak Laura menggamit lengan sahabatnya. “Aku bawa sayuran, telur, ayam, dan buah-buahan. Jadi kamu aman gak bakal kelaparan, hehehe ....” Mesya duduk sambil menyelisik memperhatikan sekitarnya. “Adikmu suka ke sini gak?” “Jarang, dia sekarang sibuk.” Laura menjawab sambil menaruh tote bag di meja. Namun, langsung ditegur oleh Mesya. “Eh, itu ada ayamnya. Cepat kamu masukin ke kulkas!” Disambar tote bag itu oleh Mesya. Dia melangkah lebar menuju dapur. Laura mengekori dari belakang. Mereka berdua asyik merapikan belanjaan dimasukkan ke dalam kulkas. “Suamimu masih tidur di sini gak kalau malam?” “Astaghfirullah, Mesya. Kamu ini kenapa parno banget sama suamiku?” tanya Laura sambil mendelik. “Kayaknya aneh aja sikap suamimu berubah drastis setelah adikmu ngekost,” balasnya sambil terkekeh kecil dan duduk. Laura masih sibuk merapikan buah-buahan. Dia dengarkan ocehan sahabatnya. “Harusnya kamu itu awasi suamimu, Laura. Apa dia punya wanita lain?” “Gak mungkin. Kami itu lagi hemat, sekarang yang kerja Bima aja.” “Tapi, kamu harus awasi juga adikmu dan suamimu itu. Mereka berdua terlalu akrab.” “Percuma pakai kerudung kalau masih gibahin orang. Mbak, hati-hati biasanya juga yang namanya sahabat itu akan busuk pada waktunya,” timpal Raya yang tiba-tiba muncul sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Dia melangkah lebar mendekati Laura yang masih berdiri di depan kulkas. “Astaghfirullah, Raya.” Mesya mendesah pelan sambil mengusap dadanya sendiri. Tidak mau ada keributan. Laura bergegas merangkul bahu adiknya. “Lagi libur kerja, Raya?” “Iya, Mbak.” “Waduh, udah rame di sini!” seru Bima sambil membawa gas. Lalu dia pasang gas elpiji diperhatikan oleh Mesya, Laura, dan Raya. “Mas, Mesya bawa makanan lagi. Bagaimana kita makan bareng bersama?” Laura memeluk pinggang suaminya dari belakang setelah melihat Bima selesai pasang gas elpiji. “Wah, Mesya. Gak usah repot-repot. Kebahagiaan Laura tanggung jawab saya. Jadi gak usah bawain makanan lagi buat Laura.” Bima balik badan dan menatap sayu Mesya yang masih duduk. Sementara itu. Raya masih berdiri melipat kedua tangannya memasang wajah judes dan datar. “Tahu nih, datang ke sini Cuma mau gibah aja. Gak malu sama hijab?” “Raya, hijab itu hanya kewajiban bagi seorang wanita yang mengakui kalau dirinya muslimah. Kalau soal sifat dan wataknya jangan dinilai dari pakai hijab atau tidaknya,” sahut Bima. “Ah, sok suci pakai hijab.” Raya berdengkus kesal lalu putar badan. “Raya!” panggil Laura segera mengejar adiknya. Dia padahal senang melihat adiknya datang, tetapi waktunya tidak tepat di mana Mesya sedang membicarakannya. Raya berjalan terburu-buru masuk ke dalam kamar tanpa menutup pintu kamar. Laura masuk ke dalam kamar dengan tatapan nanar. “Jangan marah sama Mesya. Dia sebenarnya baik.” “Mbak, orang baik apanya? Tapi, naruh curiga terus. Aneh sama dia.” Raya duduk di pinggir kasur. “Kamu nginep di sini ‘kan. Mbak masakin udang asem manis kesukaan kamu. Mau gak?” Iya, begitulah Laura yang sangat menyayangi adiknya. Sifatnya keibuan berusaha bijaksana. “Mau banget, Mbak. Aku udah kangen masakan, Mbak.” Laura peluk Raya sejenak. Lantas dilepaskan. “Mbak mau temui Mesya dulu.” Mendadak wajah Raya berubah sambil mengangguk pelan. Kemudian Laura kembali lagi ke dapur. Namun, tidak mendapati sahabatnya. Hanya ada Bima yang sedang duduk sambil mengetik. Kata-kata Mesya seakan-akan menggema di telinganya. Jiwa kepo Laura muncul. Lantas dia pelan-pelan berjalan dan berhenti tepat di belakang punggung suaminya memperhatikan ketikan pesan apa yang sedang diketik oleh suaminya. [Saya sudah siapkan semuanya.] Pesan dikirim. Sementara Laura masih bertanya-tanya dengan tatapan nanar ke arah Bima. “Mas, asyik banget chatannya?” Spontan Bima menengok lalu terkekeh kecil. “Iya, ini.” Belum saja selesai Bima menyelesaikan ucapannya. Ponselnya disambar Laura. Dengan demikian, wanita berhijab itu dapat melihat isi pesan mesra suaminya dengan nama teratai salju. [Jangan lupa minum obat kuat. Biar kuat imbangin goyanganku.] [Kamu semakin lama menggemaskan.] Dia ucapkan kalimat itu dengan keras dan lantang berbicara mengulang kalimat pesan yang dibacanya. Matanya berkaca-kaca dan tangannya bergemetar. “Jujur, Mas. Siapa dia?” “Cuma teman. Dia suka gila kalau kirim pesan.” Bima tenang sambil menyambar ponselnya. “Terus Mas mau sampai diladenin terus?Astaghfirullah, Mas.” “Laura, Mas itu cuma sayang sama kamu. Jadi jangan cemburu kalau Mas berkirim pesan kayak gitu. Oh, ini kembalian beli gas tadi,” ucap Bima sambil memberikan uang kembalian ditaruhnya di telapak tangan Laura. Lalu Bima mengecup dahi sang istri. “Saya mau pergi dulu. Di sini ada Raya ‘kan temanimu di rumah.” “Mas, mau ke mana?” “Ada keperluan sebentar.” Bima pun pergi begitu saja meninggalkan Laura yang masih penasaran dengan pemilik nama Teratai salju itu siapa? Padahal dia ingin gencar melempar tanya kepada suaminya. Akan tetapi, Bima seakan menutup-nutupi. *** Sepasang suami istri itu sudah tertidur pulas. Derit pintu tidak membuat mereka terbangun. Ada sepasang kaki jenjang masuk diam-diam dengan langkah jinjit, pandangannya menyapu sekitarnya. Lalu dia itu duduk di pinggir kasur seraya tersenyum tipis dan merebahkan tubuhnya, kemudian Raya mencodongkan posisi tubuhnya ke arah Bima yang sedang tidur memunggungi. Diam-diam tangannya meraba pinggang Bima tanpa ada rasa takut. Tanpa kata-kata Raya memeluk kakak iparnya yang sudah menjeratnya sampai dia kecanduan. Raya lupa siapa dirinya saat ini dan siapa lelaki yang disukai olehnya itu adalah suami kakaknya sendiri. Namun, lantaran buta karena cinta, Raya tidak peduli bagaimana perasaan kakaknya? Lima menit kemudian. Bima terkejut langsung membuka matanya menyadari kalau di belakang ada Raya. Padahal di sampingnya ada Laura masih tertidur lelap berada di alam mimpi. Buru-buru Bima balik badan dan mengukir senyum tipis sembari tangannya menyambar bibir Raya. Raya mencodongkan muka lebih dekat dengan Bima, mereka berdua bertautan bibir. Tangan Raya mendorong pelan tubuh kakak iparnya. “Kok, gak ke kamarku?” bisiknya. "Ayo, siapa takut," balas Bima segera duduk dan Raya pun turun dari ranjang sambil kibas rambut. Tercetak menyeringai tipis terbit dari bibirnya. Mereka berdua keluar dari kamar meninggalkan Laura yang masih terlelap. Bima dan Raya seperti sepasang pengantin baru. Dibopong tubuh adik iparnya itu dengan tatapan seperti macan yang ingin menyergap mangsanya. "Mas, Mbak Laura beneran udah tidur pulas 'kan?" Memastikan kalau kakaknya memang sudah terlelap. "Bisa kamu lihat sendiri, Raya. Mbakmu kalau sudah kena bantal pasti langsung ke alam mimpi, sekarang Mas mau bahagian kamu dulu." Mencerna jawaban Bima. Raya tersipu malu-malu, dia malah merengek minta diturunkan sambil pukul d**a bidang Bima. "Mas, turunkan aku dulu," pintanya mendesak. "Kenapa emangnya?" Bima menautkan kedua alisnya dan menurunkan Raya. "Mas, mau jawab jujur ke Mbak kapan? Mau sampai kapan hubungan kita disembunyikan seperti ini?" keluhnya sambil buang muka. Dia minta segera diakui oleh Bima. Sontak Bima terbelalak. "Mbakmu itu kakakmu, lho. Apa kamu siap kalau Mbakmu tahu tentang hubungan kita?" "Mas, kita 'kan udah." Segera Bima menutup mulut Raya dengan bibirnya malah mengajak bertautan bibir, otomatis Raya tidak bisa melanjutkan ucapannya.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN