6. Film Layar Lebar

2680 Kata
 Tidak disangka hanya lewat sebuah tiket film layar lebar di sebuah lapangan dekat kampus menjadi petunjuk yang sangat kuat. Seorang penjual tiket yang kekurangan uang hasil penjualannya menerima tugas yang diberikan oleh seseorang untuk memberi tanggapan buruk pada restoran Panji. Imbalannya cukup menggiurkan sampai dia bisa membeli handphone baru dan berselancar ke dunia internet.  Lewat internet Citra menemukan penjual tiket sekaligus pemberi ulasan buruk tersebut karena identitas yang dimilikinya sama. Bodohnya orang itu tidak memberi nama samaran. Dengan mudah Citra bisa mengusut biodata orang tersebut.  Sore ini juga dia dan Panji datang ke rumah pelaku penuh percaya diri. Ketika pintu diketuk, muncullah pemilik rumah yang memasang wajah ceria sambil memegang handphone. Dia bingung melihat Panji dan Citra.  "Cari siapa, ya?" tanyanya ramah.  "Identitas penyuruh emang nggak dikenali, tapi identitas yang disuruh sangat mudah dikenali. Kamu lupa mengganti nama usermu saat menulis ulasan luar biasa di restoran ternama akhir-akhir ini," ujar Panji tanpa basa-basi menampilkan sebuah ulasan di layar handphone-nya dari web.  Orang itu sangat terkejut. Dia buru-buru menutup pintu, tetapi Panji mencegahnya. Citra hanya tersenyum tipis sembari diam-diam merekam aksi Panji.  "Maaf, Tuan. Apa aku kurang bersikap ramah sampai ingin lari? Tenang saja, aku tidak marah. Reaksimu ini membuat tuduhanku menjadi semakin nyata." kata Panji seraya mengulas senyum meskipun tangannya menahan oibtu sekuat tenaga.  Akhirnya orang itu mengalah. Dia pasrah untuk ditahan Panji. Seterusnya mereka mendapat informasi dari orang itu jika pemilik restoran saingan Panji memang orang yang menyuruhnya melakukan hal itu. Namun, dia tidak tahu kemana perginya orang itu. Terpaksa Panji dan Citra menuju restoran dekat kampus mereka dahulu untuk menemukan beberapa jejak dan bukti.  Dandanan ala remaja usia dua puluh-an. Sangat casual dan dengan beraninya duduk di salah satu kursi pelanggan memesan camilan.  "Panji, pokoknya hari ini juga pelaku sebenarnya harus ketemu. Aku risih tau nggak pakai rok begini. Walaupun longgar dan bagus, sih." bisik Citra sambil asik memakan camilan.  "Kamu pakai celana selutut kalau di rumah bikin mataku belekan. Gini, 'kan agak bagus biar mirip cewek asli." Panji juga asik mengunyah camilan.  "Apa?" Citra sudah melotot ingin protes, tetapi Panji menahannya dengan menunjuk ke arah lapangan di seberang jalan dekat kampus mereka lewat kaca restoran.  "Nah, itu lapangan tempat film layar lebar diputar waktu itu. Ck, yang punya restoran ini nggak kreatif, ya. Kenapa nggak nyari orang jauh biar nggak gampang ketahuan sama kita? Nyarinya malah yang dekat tinggal nyeberang jalan raya doang," gumamnya.  "Emangnya kamu kreatif segala ngejek orang?" Citra menjulirkan lidahnya.  "Eh, kalau ngeledek jago banget. Sana pergi ke kamar mandi. Terus diam-diam menyelinap masuk ke mana aja asal nemuin informasi. Aku juga sama nanti," balas Panji.  "Kok, kita malah kayak maling, sih? Ah, nggak seru. Nggak mau!" melengos tak mau menatap Panji.  "Jalan raya lebih ganteng dari muka aku apa? Hadap sini!"  "Nggak mau sebelum ganti rencana!" Citra menggeleng.  Panji berdecak lalu memikirkan sebuah ide. "Gimana kalau kamu pulang aja? Biar aku yang di sini," ucapnya setelah berpikir.  Citra langsung menoleh, "Kok gitu?"  Sebenarnya Panji masih tak mau jika Citra melihatnya berkecimpung di bidang penyelesaian kasus.  "Soalnya wajahmu udah lecek kayak pakaian bekum disetrika. Pulang, cuci muka, terus tidur." Panji mengibaskan tangan mengusir Citra.  "Enak aja! Aku udah belain pakai rok begini malah kamu usir. Nggak mau!"  "Anak kecil! Susah banget dibilangin! Kalau nggak mau pulang, ya, sana pergi ke kamar mandi. Pura-pura nanya atau langsung nyelinap masuk ke ruangan pemilik gitu kek!" Panitia melotot.  "Kita seumuran, ya, Bro! Udah anak tua bukan anak kecil lagi. Aku masih ogah main kayak maling. Yang serius dong nggak ada pilihan lain apa?"  Sampai setengah jam kemudian mereka masih asik berdebat merambat hingga entah apa saja yang dibahas. Aksi mereka terekam kamera cctv. Terlihat seperti orang bertengkar bukannya bercanda. Alhasil salah satu pelayan menghampiri mereka dan menyuruh mereka pergi. Citra dan janji menjelaskan berulang kalau kalau mereka hanya bercanda, tetapi sang pelayan tetap kekeh mengusirnya dengan alasan mengganggu ketentraman pelanggan yang sedang makan.  Apa boleh buat? Mereka terpaksa pergi dan di sepanjang jalan masih saja beradu mulut, tidak ada yang mau mengalah. Tidak sadar berjalan sepanjang trotoar hingga berhenti di depan lapangan lalu menyebarang jalan raya. Mereka meninggalkan motor begitu saja di parkiran restoran. Keduanya berhenti berkelahi antar lisan setelah tiba di lapangan itu. Banyak kenangan di sana ketika mereka masih duduk di bangku universitas. Sering bermain bersama dengan Indra dan Rama juga mahasiswanya lainnya. Bercanda sampai petang baru pulang. Lapangan itu kini seli. Tribun yang ada di dekat pembatas lapangan bola basket dan sepak bola juga kosong dan bersih. Sangat rapi, kecuali sebuah tiket yang terletak di pojokan tribun.  Citra mengambilnya. "Bukannya ini tiket film layar lebar yang sama? Udah rusak soalnya diterjang angin badai," ujarnya.  "Angin sama hujan aja kali, Cit. Nggak ada drama badai segala. Emangnya kenapa kalau ada tiket itu di sini? Mungkin orang yang punya kelupaan," Panji menyuruh Citra meletakkan kembali tiket itu.  "Bisa aja ini jadi petunjuk keberadaan pemilik restoran itu. Kamu kenal wajahnya, nggak?" Citra menatap Panji sebentar lalu beralih ke tiket itu lagi.  "Tau lah. Di internet, 'kan ada datanya. Sayangnya kemarin anak buah paman Lim datang ke rumahnya dan semua tempat yang pernah dia datangi nggak bisa nemuin juga," kata Panji.  "Jangan bilang kalau pemilik restoran itu bersembunyi sama penjual tiket?" Citra asal menebak.  "Ha? Nggak mungkin. Tadi di rumah penjual tiket cuma ada dia yabg wajahnya berubah takut setelah lihat kita," Panji mengelak.  "Nggak salah lagi, Panji! Pelaku sebenarnya sembunyi di rumah penjual tiket. Untung aja aku lihat tiket ini lagi bisa dapat pencerahan, 'kan. Ayo buruan pergi ke sana lagi!" menarik tangan Panji dan diajak lari.  "Kok bisa kepikiran gitu dari mana?" Panji masih heran meskipun sambil berlari.  "Ya, bisa aja. Sekarang kamu pikir anak buah paman Lim udah nelusuri semua tempat seteliti mungkin. Hasilnya nihil. Jadi kemungkinan dia sembunyi sama sang pelaku. Kalau dugaanku bener, dia pasti lagi lari kalau nggak keduluan kita kejar. Ini kesalahpahaman yang disengaja," jawab Citra sedikit keras karena dia berlari.  Lalu, menengok kanan-kiri ketika hendak menyeberang jalan. Gantian Panji yang memegang tangan Citra untuk menyeberang.  "Nggak salah juga. Ayo kita ke sana!"  Boncengan menuju rumah yang sama di jam sebelumnya. Seperti dugaan Citra, rumah itu kosong tetapi ada jejak kaki jelas yang berkeliaran di sekitar rumah dan ukuran kakinya berbeda.  "Orang itu udah kabur. Cepat cari dia!" Citra mengajak Panji mengikuti jalan ke pintu belakang.  Ternyata dugaannya salah jika orang itu sudah kabur. Justru asik tengah bersantai dengan handphone di halaman belakang. Seolah sedang menanti Citra dan Panji datang. Panji benar-benar syok sekaligus mengagumi orang analisis citra yang tepat.  "Jadi benar kau orangnya!" seru Panji.  "Dasar lamban. Sekarang restoranmu bukan hanya mendapat julukan rating terburuk, melainkan tidak bisa dioperasikan kembali. Pihak yang berwajib sudah menahannya. Kalau tidak percaya lihat saja di berita. Mereka sedang mencarimu. Selamat atas kebangkrutannya!" ujar orang itu tanpa takut.  Citra terkejut, Panji jauh lebih terkejut.  "Kurang ajar kau! Apa maksudmu melawan secara tidak sehat, hah?! Kalau tidak punya kriteria kayak jangan merusak usaha orang lain!" Panji mencengkeram kerah baju orang itu dan diajaknya berkelahi.  "Panji, jangan!" teriak Citra sambil menutup mulutnya. Dia tidak menduga jika Panji akan Semarang itu. Bagaimana tidak, karena Panji bersusah payah mendirikan restorannya sejak di bangku kuliah sampai sekarang. Bertahun-tahun lamanya sehingga dia tidak bisa seenaknya saja membuat usahanya dihancurkan.  'Panji berkelahi. Orang itu juga sama kuat seperti dirinya. Harusnya mereka bisa selesaikan ini baik-baik, 'kan? Nggak perlu pakai kekerasan juga,' batin Citra.  Memikirkan perkataan orang tadi membuat Citra mendapatkan ide. Dia membuka handphone dan melihat kabar terbaru dari restoran Panji. Sama persis seperti apa yang orang itu katakan. Restoran Panji telah dilarang beroperasi. Ada gambar yang menunjukkan pada karyawan Panji sedih dan pulang.  'Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus lakuin sesuatu agar restorannya selamat. Ini hanya gara-gara ulasan, 'kan? Cuma hasutan omong kosong tanpa bukti doang. Aku juga bisa lakuin hal yang sama. Terus kirim bukti izin legal dan kelayakan menu makanan serta restorannya ke pihak berwajib. Setelah itu tunggu beberapa jam biarkan semua orang buat kehebohan. Pasti bakalan ada pro dan kontra bingung akan percaya pada ulasan yang mana. Pastinya pihak berwajib bakalan percaya sama yang menyantumkan bukti kelayakan. Panji akan menang nantinya!" pikir Citra.  Tanpa menunggu waktu lagi Citra melakukan rencananya dengan sangat baik nan teliti. Di samping itu Panji terus berkelahi dengan saingannya yang juga tidak mau kalah justru naik pitam.  "Panji Sasena, aku tidak terima usahaku selalu berada di bawahmu! Apa bedanya kualitas restoranmu dengan restoranku? Kenapa orang-orang lebih suka restoranmu?!" seru orang itu saat gerakannya saking mengunci.  "Karena aku membuatnya tulus tanpa rasa itu pada siapapun. Bukan sepertimu yang selalu ingin unggul dan merusak restoran orang! Sayangnya caramu kurang bersih, Kawan!" balas Panji.  Citra membiarkan itu terjadi begitu saja. Sampai urusannya selesai barulah melihat perkelahian Panji lagi. Namun, orang itu lari membuat Panji mengejarnya.  "Waduh! Kenapa mereka lari? Aku ikut!" Citra menyusul mereka susah payah. Rok selutut yang dia pakai sedikit risih nan mengganggu, hingga kesulitan untuk berlari.  Sebelum tiba di halaman orang lain, Panji berhasil menahan orang itu dan memukulkannya telak. Orang itu tersungkur tidak bisa melawan dalam waktu singkat. Citra datang dan menyaksikan semuanya. Orang itu baru bisa membalas Panji, tetapi Panji bisa mengelaknya dan memukul orang itu lagi. Citra menutup mulutnya lagi takut pekikkannya keluar.  'Woaahh! Panji kalau berantem emang wow! Udah lama nggak lihat dia adu fisik. Seberapa lama, ya? Saat lulus kuliah mungkin,' batin Citra justru terkesan.  Dirasa sudah cukup dan irang itu kelelahan walau tetap tak mau meminta maaf, Panji membawanya dan ikut ditahan bersama sang penjual tiket. Dia tidak bisa ada dengan Citra sepatah kata pun ketika kembali ke restoran. Citra juga enggan membuka pembicaraan. Dia melihat napas Panji yang turun naik serta keringat yang maish bercucuran itu membuatnya tidak tega.  Di restorannya sore menjelang malam banyak pihak berwajib dan terkait. Mereka membebaskan restoran Panji dan meminta maaf atas tindakan yang semena-mena. Mereka bilang hanya akan ditutup sementara sampai kasusnya benar-benar terpecahkan. Namun, Panji rasa itu hanya alasan agar mereka tetap terlihat baik di depan media dan masyarakat.  Tidak tahu juga jika masalah ini berhasil dituntaskan dalam waktu satu sore. Polisi menahan kedua pelaku tersebut. Semua karyawan Panji kembali bekerja seperti semula. Mereka senang bisa kembali lagi dan tidak perlu takut disalahkan jika pelayanan mereka kurang memuaskan. Terlebih lagi para juru masak yang membuat menu dinilai tidak baik. Semua itu sudah selesai dengan rapi. Nama baik restoran Panji kembali pulih. Sebentar lagi ratingnya juga akan kembali seperti semula.  Apa lagi yang Panji khawatirkan saat ini? Yaitu kehadiran Citra Mayangsari. Istrinya itu sudah menghilang sejak pergantian malam. Entah dia yang tidak terlalu memperhatikan atau Citra yang pergi tanpa sepengetahuan. Dipanggil berkali-kali lewat handphone tak kunjung diangkat. Panji pulang agak malam, dia ingin mengabari Citra. Namun, sekarang justru panik mencari Citra.  Gadis itu sudah ada di rumah lantaran kelelahan. Dia sengaja tidak mengangkat panggilan dari Panji karena berpikir Panji lelah dan tidak mau diganggu. Takut jika mendengar suaranya pikiran Panji semakin runyam. Tiba-tiba timbul inisiatif untuk memasak sesuatu. Niatnya ingin diberikan pada Panji walaupun masakannya tak selezat buatan Panji. Niatnya baik, dia yakin kalau Panji belum makan hingga sekarang.  Dalam hal ini Panji menjadi sadar jika Citra bisa diandalkan. Walau terkadang hatinya menolak kebenaran itu karena gengsi. Panji pulang setelah restoran miliknya mulai berjalan lancar dan sementara tutup untuk malam ini. Akan kembali dibuka besok pagi.  Setibanya di rumah, harum ayam goreng dan dua gelas cola menggugah selera. Nasi hangat baru dinanak menimbulkan rasa lapar berlebihan. Panji langsung menuju dapur. Semua makanan itu tersaji di ruang makan. Ada Citra yang masih menggoreng ayam yang terakhir.  "Jangan diambil, Panji! Mandi dulu baru makan!" ujar Citra yang sudah tahu kedatangan Panji dan ingin mengambil ayam goreng miliknya. Panji nyengir sambil menggaruk tengkuknya, "Yahh, ketahuan."  Citra menoleh tersenyum membuat Panji sedikit tersentak. "Eee, kenapa nggak jawab teleponku tadi?"  "Mana aku tau? Handphone di kamar. Aku di dapur," elak Citra bohong.  Panji mengangguk percaya. "Yaudah, aku mandi dulu. Jangan dimakan semuanya, ya. Aku lapar banget, nih!" ringisnya seraya mengusap perut saat berjalan ke kamar mandi.  "Semua ini buat kamu. Mau kamu habiskan juga nggak apa-apa." kata Citra masih fokus pada penggorengan.  Panji berhenti sebentar lalu masuk ke kamar mandi. Bingung kenapa Citra mengatakan hal itu. Biasanya mana mau dia memasakkan sesuatu dalam jumlah besar kalau tidak ada maunya. Dia jadi berpikiran negatif.  'Apa lagi yang ada di otak dia? Tadi bikin khawatir taunya udah pulang duluan. Sekarang ngagetin bikin ayam goreng banyak. Khusus buat aku? Yang bener aja!' batin Panji.  Semerbak harum sabun dan shampo yang begitu maskulin memenuhi ruang makan dan dapur yang menjadi satu. Perhatian Citra teralihkan. Dia yang mulanya menyangga kepala memandangi ayam goreng hangat nan sedap di santap menjadi memandang Panji yang berjalan ke arahnya. Kaos oblong sedikit longgar dan celana olahraga panjang disertai rambut yang masih basah akibat keramas. Pesona laki-laki itu tiada duanya. Citra sampai melongo tidak sadar.  "Terima kasih, aku emang ganteng, biasa aja lihatnya. Awas ngiler loh." lanjut mengetuk dahi Citra pelan membuat Citra kembali sadar.  "A-apa? Ck, perasaan kamu aja kali sok ganteng." Citra merapikan rambutnya ketika Panji mulai duduk di depannya. Terhalang meja berjarak satu meter mereka maish bisa saling pandang dengan jelas.  "Wah! Ayam goreng hangat, nih. Ciee masakin aku. Ada angin apaan sampai begini?" goda Panji sambil membuka piring hendak mengambil nasi. Namun, Citra menahannya. "Eh, biar aku aja yang nyiapin, hehe. Segini cukup? Oh, kamu pasti belum makan dari tadi pagi, 'kan? Aku tambahin lagi buat kenyang. Nah, ini dia! Mau ayam berapa? Paha, sayap, atau d**a? Aku kasih paha satu, sayap satu, sama d**a satu, ya. Biar kebagian rata semua, haha. Silahkan dimakan! Dijamin enak, loh!" mengedipkan sebelah matanya seraya menyerahkan piring penuh nasi dan lauk itu.  Panji menganga, "Citra, ini yang bener porsinya gede banget?"  "Iya, biar kamu kuat. Makan!" memasang wajah manis disangga tangan membuat Panji tersenyum kaku.  'Dia aneh banget!' batin Panji.  Satu suap dua suapan nasi Panji masih betah dipandangi Citra dengan baik. Lama kelamaan dia risih dan membawa lari piringnya ke tempat yang aman. Citra mengejarnya.  "Loh, mau ke mana?"  Sudah cukup rasa laparnya dipermainkan oleh Citra. Panji tidak berselera untuk makan lagi. Dia memilih mengalah dan memberikan piringnya pada Citra. Namun, apa yang terjadi? Citra memaksakan semua makanan itu masuk ke mulut Panji dengan alasan Panji tidak cukup makan setelah lelah berkelahi. Sekarang Panji tahu jika Citra merasa sedikit kasihan bercampur perhatian karena melihatnya berkelahi.  "Udah, Cit! Aku nggak sanggup lagi. Mulutku penuh minyak ayam, nih!" keluh Panji memelas.  "Tinggal dikit, Panji! Aku suapin sekali lagi aja. Aaaa!" menyuruh Panji membuka mulutnya yang masih penuh.  Rasanya Panji ingin menangis. Dia kabur dari Citra sudah beberapa kali, tetapi Citra tetap saja berhasil menyuapinya. Hingga akhirnya dia mengalah menghabiskan itu semua. Rasanya bukan kenyang dan nikmat, justru ingin muntah. Setelah makan dia berlama-lama di kamar mandi. Citra masih tetap mengganggunya.  "Panji, aku dapat tiket nonton film layar lebar! Ini film jaman dulu. Yuk, nonton, yuk!" seru Citra di depan kamar mandi.  Panji melongo. "Apa? Sampai tiket film dia dapat?"  "Tempatnya di lapangan dekat kampus juga! Wah, kayaknya mereka sering ngadain layar lebar di sana. Aku pengen lihat! Bareng kamu, ya!" seru Citra lagi lebih semangat dari sebelumnya.  Panji menggaruk kepalanya gemas dan membuka pintunya. Citra mengerjap polos memandangnya. "Nonton aja sendiri!" langsung melenggang menuju kamar.  "Harus sama kamu kalau enggak aku tahan kamu nggak boleh kemana-mana!" Citra mengikuti Panji lagi.  Seperti itu terus sampai keinginannya terpenuhi. Panji pun mengalah membuat Citra sangat senang. Dia memberikan Panji jaket dan memakaikannya langsung. Katanya supaya hangat dan terhindar hawa dingin, juga tidak diganggu orang lain saat berkerumunan nanti.  "Citra, kamu sadar nggak, sih?" nada bicara Panji sangat tenang.  Citra masih memegang kerah jaket Panji. Menatap Panji tanpa dosa, "Apa?"  "Film-nya besok kenapa aku kamu dandanin sekarang?" masih sabar sampai giginya saling bertautan.  Citra menganga dan segera melepas jaket Panji, "Hehe, iya kah? Aku kira sekarang. Kok, kamu tau film-nya dimulai besok?" cengirnya bodoh.  "Karena aku lihat tiketnya dengan teliti, Payah! Udah nggak usah deketin aku! Mau kamu apa coba? Geli tau nggak?!" Panji risih mendorong Citra sampai terantuk pintu dan dirinya merebahkan diri di ranjang.  Citra tak mau mengalah. Dia masih gencar mengganggu Panji dan membuatnya tetap menjadi bahan mainannya seperti boneka. Perhatian yang berlebihan itu baik. Setidaknya itu menurutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN