Chapter1

992 Kata
"Eh rena kamu ke sini naik apa?" tanya Nyonya Erlita. Nyonya Erlita adalah pemilik kebun teh yang cukup terpandang di desa itu, kedua tangannya gemerlapan di hiasai emas yang entah berapa jumlahnya. Dia adalah saudara tiri satu ibu dengan Amira ibu kandung Renata. Meskipun saudara satu ibu tapi memang kadang nasib orang tak sama, Nyonya Erlita hidup beregelimang harta sangat beda jauh dengan Amira, ibu Renata yang miskin bahkan untuk makan sehari hari pun Amira harus bekerja di ladang teh. Beruntung Renata memiliki otak yang lumayan encer sehingga dia bisa menyelesaikan sekolahnya sampai SMU dengan beasiswa. "Hallah ibu, pakai nanya naik apa lagi, paling juga naik motor butut milik ayahnya," kata Danu. Danu adalah anak satu satunya Nyonya Erlita, dari kecil hubungan Renata memang kurang baik dengan Danu, Danu selalu saja menghina dan merendahkan Renata. Renata hanya tersenyum simpul menanggapi hinaan ibu dan anak tersebut, bagi dia untuk apa meladani omongan mereka hanya buang buang energi dan tenaga saja, toh saatnya nanti mereka akan tahu siapa dirinya dan harap harap jantung mereka akan baik baik saja setelah tahu siapa dirinya. "Danu ini sebentar lagi akan jadi manager di PT Wira Prakasa, PT besar yang akan di buka cabang di sini," nyonya Erlita menepuk nepuk pundak anaknya bangga. Renata tersenyum."Selamat ya mas Danu," kata Rena lembut. Tak ada amarah dan gejolak apapun, dari nadanya dia tetap tenang dan santai menghadapi hinaan keluarga saudaranya itu. "Kamu ke kota bertahun tahun dapat apa?" tanya neneknya dengan mulut mencibir Renata. Amira yang miskin membuat Renata di pandang rendah oleh keluarga mereka, di tambah lagi ayah Renata yang entah kemana perginya. Sekali lagi gadis itu menjawab dengan tenang," saya dapat pengalaman hidup eyang," jawab Renata, bibirnya mengulum senyuman. Danu tertawa,. "pengalaman hidup jadi babu" kembali Danu menghina Renata. "Apa masalahnya jadi babu, babu adalah pekerjaan halal bukan mencuri atau korupsi atau memakan harta yang bukan miliknya," kata Renata tanpa ada nada emosi. Nyonya Erlita mulai gelisah mendengar kata kata Renata, suaminya adalah seorang pejabat yang di penjara karena korupsi dan Nyonya Erlita sendiri lebih banyak memakan harta yang seharusnya bukan haknya. Ibu Renata dan Nyonya Erlita adalah saudara tiri beda ayah dan seluruh harta rumah,kebun teh adalah milik ayah Amira ibu kandung Renata namun keluarga Erlita yang rakus itu tak mau membagi sedikitpun harta yang seharusnya menjadi milik Amira Bahkan saat Amira sakit keras tak sedikitpun mereka mau membantu sehingga Renata terpaksa kerja di kota jadi pembantu. Namun tak di sangka justru itulah jalan bagi Renata ketemu ayah kandungnya yang telah merubah semua hidupnya. Dia yang memiliki kemiripan wajah dengan putri majikannya yang ternyata justru membuat tabir misteri yang selama ini tertutup rapat terungkap dia adalah putri kandung majikannya, ibunya adalah istri kedua sang ayah. Namun Rena tak mau mengungkap jati dirinya dulu, dia ingin menguji siapa siapa yang tulus mau dekat dengannya, dia tak ingin punya teman yang penjilat. "Halah sok bijak kamu di zaman sekarang kalau gak korupsi gak makan tau gak," kata Danu. Sepertinya jiwa maling ayahnya sudah mendarah daging dengan darahnya. ****** "Kamu dari rumah nenekmu nak?" tanya ibunya. Wanita tua yang kurus bahkan penampilanya lebih tua dari umurnya, kerasnya hidup telah membuat kerutan kerutan yang seharusnya belum tampak itu justru tampak jelas di wajahnya. Amira adalah kakak tiri nyonya Erlita, namun karena status sosial Amira tak pernah di anggap saudara oleh nyonya Erlita. Bahkan nyonya Rosa ibu kandung mereka juga tak sudi bertemu Amira karena Amira di anggap telah mempermalukan keluarga. Mereka menganggap Renata adalah anak haram, anak yang lahir tanpa bapak. "Iya Bu,' jawab Renata tenang. "Apa mereka menyambutmu dengan baik nak?" tanya Amira. Jiwa tuanya merasa kalau keluarganya tak akan menerima Amira, anak yang di anggap kotor oleh mereka. Dari kecil Amira tak pernah di anggap keluarga oleh mereka. "Alhamdulilah baik Bu, bahkan mereka menerima Rena apa adanya," jawab Rena tenang dan datar. Rena tak mau ibunya yang sudah kenyang hinaan ini akan sedih jika tahu dirinya tadi di hina oleh keluarganya. "Alhamdulilah nak,artinya mereka menerima kamu bukan karena status soasial kamu,"kata Amira. Ada binar kebahagian di mata tua itu, setelah sekian lama anaknya di hina akhirnya di terima keluarganya. Renata tersenyum dan mengangguk, sebisa mungkin menyembunyikan rasa sakit dan perih di hati, bukan,bukan karena hinaan mereka,Rena sudah kebal dengan semua itu tapi dia sedih telah membohongi ibunya sendiri, Renata tak mau ibunya kembali terluka oleh perlakuan mereka. Sudah terlalu banyak mereka menoreh luka di hati ibunya, mulai di usirnya ibunya karena lebih memilih membesarkan anak yang tak tahu bapaknya, di hina karena Amira tak berharta dan ledekan ledekan orang orang sekitar yang mengatakan Renata adalah anak haram. "Tidak nak,kamu bukan anak haram, ibu sudah menikah dengan ayahmu di depan kyai, jadi kamu bukan anak hasil zina nak," kata ibunya ketika suatu hari pulang menangis karena di usir dari masjid ketika dirinya ingin belajar mengaji. "Anak haram ngapain ngaji? Percuma," kata Danu,sepupunya yang dari kecil selalu merendahkanya karena merasa dirinya kaya dan Rena hanyalah anak orang miskin padahal banyak yang bilang ketika ibu Danu menikah dia sudah hamil duluan tapi tak ada satu pun yang berani bilang kalau Danu anak haram pada hal jelas jelas dia anak hasil zina hanya bedanya dia di nikahi secara negara dan ibunya tidak. Itulah manusia yang selalu menyimpulkan berdasarkan apa yang mereka lihat saja. "Itu apa bu?" Renata menunjuk pada piring yang tertutup rapi di meja makan. "Itu kue nak,dari Nurul," jawab ibunya. Renata mengerutkan dahinya, sejak kapan Nurul baik pada ibunya, selama ini Nurul dan keluarganya selalu berpihak pada keluarga neneknya, karena mereka selalu berhutang pada keluarga bu Erlita. Renata berjalan menuju meja makan, di bukanya penutup piring, ada kue dan sebungkus sayur. "Makanlah nak!" kata ibunya. Renata mengambil kue itu yang terasa lengket di tangan, di gigitnya sedikit lalu di lepeh lagi. Lalu tanganya meraih sayur yang ada di plastik dan menelitinya, kuahnya sudah kental menandakan sayur itu sudah basi. Renata mengepal erat tanganya, dadanya turun naik, memang mereka pikir ibuku apa, mentang mentang miskin mereka seenaknya ngasih sayur dan kue basi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN