Chapter 5—Villera

1886 Kata
Aku berdecak kesal karena Brian tiba-tiba membatalkan janji sepihaknya secara dadakan kurang dari tiga puluh menit sebelum acara. Aku harus menghadiri acara pernikahan kolega dan dia dengan seenak jidatnya mengatakan tidak bisa karena ada kepentingan mendesak. Mendesak seperti apa, dia tidak mau menjelaskan. "Beneran nggak bisa?" Aku kembali menelponnya, memastikan ucapannya lagi. "Ya, Zell. Maaf." "Pernyataan maaf nggak akan mengubah apapun, Mr. Brian. I wont attend that damn wedding alone! Kalau kamu nggak datang, aku juga nggak akan datang, terserah apa kata mereka nanti." Aku sangat gengsi untuk hadir sendirian di acara seperti itu. Harga diriku dipertaruhkan. Padahal aku sekarang sudah berada di dalam mobil—perjalanan ke tempat perayaan—barangkali dia mau berubah pikiran tapi kenyataannya tidak. "No Zell, Please! I have my reason." Suara Brian terdengar memohon. "Zelline" "Come with me!" "I cant." Dia menolak secepat kilat. Ada apa sih sebenarnya? "Why?" Aku bertanya. "I cant say." Damn! b*****h satu ini memang semaunya sendiri. "Whatever!" Aku menutup panggilan sepihak. "Non, sudah sampai," ujar Pak Budi—sopir pribadiku—ketika kita sampai di lobby hotel tempat wedding diselenggarakan. Kenapa perjalannya cepat sekali? "Non," ucap Pak Budi lagi sambil melirikku takut dari kaca spion. Moodku sangat buruk. Aku tidak mengatakan apapun sejak tadi dan sekarang aku enggan turun dari mobil. Setelah sibuk perang batin dan pikiran, akhirnya aku memutuskan untuk hadir. Aku hanya malas mendapat ocehan Mami nantinya. "Nanti nggak usah jemput ya, Pak. Mau naik taksi aja," ucapku lalu turun dari Mobil. Kasihan Pak Budi kalau dia menjadi objek kekesalanku. Aku melangkah menuju dalam hotel. Suasananya lumayan ramai. Aku melihat board information, ada tiga orang yang menyelenggarakan pernikahan di jam ini. Pantas saja ramai. Melihat dari bagaimana orang-orang berpakaian, sepertinya mereka akan menghadiri acara pernikahan juga. "Zell!" Aku tidak menoleh. Dari suaranya saja aku sangat tahu siapa dia. "Cuma lo doang ini, gue panggil nggak nyahut. Biasanya cewek tuh kalau—" "Nggak ada biasanya, gue lagi males. Nggak usah banyak ngomong, please!" Aku memotong ucapan Alden dan terus melangkah masuk ke dalam elevator. Alden mengikutiku dan terimakasih dia tidak mengatakan apapun lagi. Aku memencet floor button dan Alden masih diam. "Which floor?" tanyaku. "Sama," balas dia cepat. Setidaknya dia cukup pengertian untuk tidak menggangguku dengan lelucon atau kata-kata absurdnya di saat seperti ini. Aku mungkin akan marah dengan dia jika dia melakukannya. "Lo mau kondangan juga?" tanyaku akhirnya, karena diam-diaman sangat tidak menyenangkan. "Yes, my ex girlfriend has married. Jadi, gue harus datang," jawabnya santai. Kalaupun aku tanya mantan yang mana, sepertinya aku tidak akan tahu juga. Alden punya koleksi lusinan mantan. "Sendiri?" tanya Alden ragu setelah beberapa saat terdiam. "Ya," jawabku singkat bersamaan dengan pintu elevator terbuka. Aku melangkah ke luar. "Mau ditemenin?" Aku terdiam. Its not bad idea. "Gue bisa nemenin lo duluan setelah itu gue bisa cabut ke resepsi mantan. Kalau lo, nggak keberatan," tawarnya lagi. "Yes, please!" jawabku cepat. Datang bersama Alden bukan opsi yang buruk. Orang-orang cukup tahu tentang persahabatan kita. Setidaknya, tidak akan memicu skandal yang lain seperti yang akan terjadi jika aku datang dengan sembarang laki-laki. Alden sungguhan menemaniku. Dia bahkan sangat lihai berbasa-basi dengan tamu-tamu yang lain. Ini sangat membantu. Aku tidak perlu mencari berbagai alasan untuk menjawab orang-orang jika aku datang sendiri tidak bersama Brian. Justru sekarang, dengan senang hati Alden menjelaskan jika dia harus menemani bosnya karena Brian sedang ada pertemuan penting. Sangat bisa diandalkan. "Langsung balik apa gimana?" tanya Alden setelah kita selesai memberi ucapan selamat kepada mempelai dan keluarga juga kolega. "Ya. Nggak ada yang lain juga yang mau aku lakukan," jawabku. Menunjukkan kehadiranku di acara ini saja kurasa sudah lebih dari cukup. Aku juga tidak tertarik untuk menikmati hidangan atau menikmati hiburan meski mereka mengundang jajaran artis ibukota untuk memeriahkan acara. "Kalau gitu, gue pindah room ya. Lo mau nunggu bentar terus balik bareng atau—" tanya Alden ketika kita di penghujung ruangan—dekat pintu ke luar. "Gue langsung balik aja deh, Den. Thanks udah nemenin." "Gaya lo sok-sokan makasih. Gue cabut nih." Gue terkekeh sambil mengangguk membiarkan Alden menjauh. Aku masih diam di tempat mengambil ponsel yang daritadi bergetar. 27 missed call from Brian. Aku menghela nafas berat. Maunya apa sih? "Zelline, is that you, right?" tanya seseorang tiba-tiba mengagetkanku. "Ngapain di situ? C'mon join us!" ucap perempuan satunya sambil menarikku tiba-tiba. Aku yang tidak siap akhirnya hanya bisa menuruti keinginan mereka untuk duduk-duduk bergabung dengan mereka sambil menunjukkan fake senyum terbaik. Jeannet dan Nana. Dua anak pengusaha yang super manja dan suka memamerkan harta. Terlebih tidak memiliki skill dan capability. Hanya mengandalkan aset orang tua. Aku malas bergaul dengan orang-orang seperti itu. Sayangnya memusuhi mereka sama dengan cari gara-gara. Keluarganya yang superior bisa dengan mudah membolak-balikkan keadaan. "Sendiri aja?" tanya Nana padaku sambil memamerkan senyuman cantiknya. "Nggak lah kan tadi sama Kak Alden. Lo nggak lihat ya?" balas Jeannet. "Oh iya, terus Alden ke mana? Kok jadi sendiri?" tanya Nana lagi. Aku yakin mereka sudah membicarakanku sebelumnya. "Lagi ke wedding sebelah," jawabku singkat. "Kok nggak sama Brian?" tanya seseorang yang baru gabung. Villera, perempuan yang punya dendam kesumat denganku karena dia batal dijodohkan dengan Brian. Tentu saja karena keluarga Mami lebih berpengaruh daripada keluarganya. "He has a tight schedule. Gue nggak bisa maksa dia untuk menemani gue even maybe dia bakal melakukannya jika gue meminta," Aku menyunggingkan senyuman menantang. Entahlah aku sedang berkata bullshit atau apa, yang jelas aku merasa aku tidak ingin kalah dari wanita ular di depanku ini. "Its okay kan, Zell, yang penting ada yang lain yang bisa nemenin. Kak Alden cakep juga kok. Cewek cantik kayak kamu pasti punya teman-teman cowok yang banyak. Jadi nggak masalah pasti kalau Kak Brian lagi sibuk," sambung Jeannet. Aku yakin dia sedang menyindirku. "Of course. Kalau kalian lupa, i have a model agency. Tentu saja banyak hotest man di sana. Mau aku kenalin satu, Na? Jean? Siapa tahu beruntung. Aku dengar kalian nggak sebaik itu dalam mencari pasangan." Sekalian saja menyombongkan diri dan mengejek balik. Berhubung moodku sedang buruk, kurasa kehadiran mereka sangat bermanfaat untuk menjadikan mereka tempat sampahku. "What do you mean? I have a tajir boyfriend. Handsome and good personality," bantah Nana. "Me too, Papi udah setting kencan buta buat aku, jangan mengada-ada!" Jeannet menimpali. Aku tertawa kecil. "So, berarti itu bukan kalian, but maybe, her," Aku menunjuk Villera dengan daguku. "Just give up, Villera! Sampai kapan mau terus-terusan mengejar laki-laki yang sudah bertunangan?" Aku tersenyum licik. Aku sedang membicarakan Brian di sini. Meski kenyataannya aku tidak peduli dengan siapa Brian nantinya akan bersama, setidaknya sebagai tunangan yang baik, aku perlu menjaga Brian untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan gila di depanku ini. "Lo nggak punya hak untuk melarang gue melakukan apapun!" Emosi Villera mulai tersulut. "I Have, Darling. He is my fiance after all." "Not married yet!" Villera meninggikan suaranya. Dia benar-benar dengan gamblang menunjukkan ketertarikannya terhadap Brian dan memusuhiku tanpa ampun. But i like that, setidaknya tidak perlu main belakang. Aku tersenyum menang karena berhasil memancingnya. "So catch him if you can! Karena gue nggak yakin Brian mau sama lo, even lo menyerahkan harga diri lo serendah-rendahnya." Villera menggeram. Dia mengepalkan tangannya erat-erat. Mungkin jika tidak berada di tempat umum dia sudah menamparku sekarang dan dengan senang hati aku akan balas menamparnya—lebih parah. "Sebentar mau ngambil minum." Aku tersenyum lalu melenggang begitu saja. Aku tidak bohong karena aku sedang kehausan sekarang. Aku pergi ke beverage zone dan mengambil cocktail anggur. Aku jadi ingin minum grapa saja di situasi seperti ini, membuat diriku mabuk dan menenangkan diri. Dengan malas aku berjalan menuju ke tempat mereka berkumpul. Dari jauh aku sanggup mendengar jika mereka sedang membicarkanku. "Permisi, saya boleh menempati tempat duduk ini?" tanyaku meminta izin. "Silahkan." "Terimakasih" Aku langsung duduk tidak jauh dari tempat duduk mereka. Tapi sepertinya mereka tidak menyadari keberadaanku di sini. Terlalu asik sepertinya. Lets hear, sejauh apa mereka akan membicarakanku. "Cih sok sombong. Dia pikir dia siapa? Belum tahu saja dia kalau agensi yang dia miliki itu hanya remeh. Nggak ada apa-apanya." Nana berbicara dengan raut wajah yang kesal. Remeh ya? Seremeh-remehnya agensiku, dia tidak akan sanggup mengelola apalagi mendirikan agensi minimal yang sama seperti milikku. She has not capabiliy to do that. Hanya besar di mulut saja. "Bener banget. Lagian ya kalau aku sudah bilang ke Papi. Agensi kecil kayak gitu auto lenyap dalam semalam." Jean menimpali. Oh, anak papi sekali. Poor her Dad! "Gayanya udah selangit. Sok kecakepan. Gue yakin Brian illfeel dengan dia. Makanya dia datang ke sini nggak ditemenin. Sok-sokan bilang sibuk, cih." Villera tidak mau kalah. Ilfeel? Manusia satu ini sepertinya butuh kaca jendela untuk mengaca. "Lagian si Kak Alden mau-mau aja sama dia? Pasti dipelet." Dari segi manapun better sama aku sih, Jean, daripada sama anak Papi. "Pasti udah di'pake' sih sama Alden. Gue yakin Brian juga sama. Kalau nggak mana mau sih mereka sama cewek modelan kayak dia." Her shitty mouth! "Modelan kayak gimana?" tanyaku mendadak berdiri di tengah-tengah perbincangan mereka. Tidak ada yang menyahut. Mereka saling melempar tatap. "Just say it louder, Sisters! Kenapa? Nggak berani? I am here, dont be coward person guys!" Villera berdiri dan menatapku. "Siapa bilang gue takut. Lo tuh cuman cewek sombong, nggak tahu diri, suka keganjenan sama cowok. Cewek muna yang nggak punya harga diri!" "Who's say that?" tanya seseorang tiba-tiba mengingerupsi percakapan kita. Brian di sana, dia berjalan mendekat dan melingkarkan tangannya di pinggangku. "Maaf, terlambat." Aku mengabaikannya. Aku masih kesal dengan dia. "Ulangi lagi, Vi! I want to hear that in clear way." Brian menatap tajam Villera dan membuat yang ditatap tidak berani bergerak. Brian sialan! Dia mau menjadi pahlawan kemalaman atau bagaimana? Perseteruanku dengan Villera bahkan masih menuju k*****s. Seharusnya aku mengakhirinya dengan kemenanganku yang mutlak, kenapa malah datang dan mengacaukannya. "Kayaknya kamu tadi salah dengar deh," bela Villera. "Just want you know, Vi. Zelline is better than you in every single thing. Jadi, kalau kamu mau menjelekkan seseorang, look at yourself first, please!" tegas Brian. Aku hanya mengangguk setuju. "Ayo, Zell!" Dia mengajakku pergi dan aku menurut. Aku melepas rengkuhan dia ketika di koridor hotel. Sudah tidak ada pasang mata yang bisa menyaksikan. "Why are you here?" tanyaku ketus pada Brian. "Aku minta maaf. Nggak seharusnya aku nggak nepatin omongan aku kayak tadi. Aku nggak bisa hubungin kamu daritadi. Aku tanya Alden—" Brian terbatuk-batuk. Aku mengamatinya sesaat. Wajahnya tampak pucat. Does he sick? "Alden bilang kamu datang sendirian. Makanya aku ke sini," lanjutnya. "Kamu sakit?" tanyaku sambil menyentuh dahinya yang ditepisnya perlahan. "Kenapa nggak bilang sih, B? Aku nggak bakal maksa kamu kalau tahu kayak gini. Terus tadi ke sini naik apa? Kalau pingsan di jalan gimana coba?" tanyaku menggebu-gebu. Aku tidak mau disalahkan kalau terjadi apa-apa sama dia. "Aku cuma nggak mau kamu khawatir." "Stupid ass!" balasku kesal. "Marah ya?" Aku memandangnya sengit. "Masih tanya, tentu saja aku marah." "Maaf, Zellin. Jangan marah ya." "Next time kalau ada apa-apa tuh cerita. Ngerti?" Dia mengangguk-angguk. "Ya udah, mumpung di hotel tidur di sini aja ya? Daripada balik kena macet terus pingsan di jalan. Di sini aja biar cepet istirahat, panggil dokter juga di sini sekalian," saranku. "Ha?" "Tidur B tidur, just sleep for istirahat cepet, no more." Aku melangkah menuju resepsionis. Brian terkekeh lalu memelukku dari belakang. Aku mendorongnya menjauh. "Jangan deket-deket entar aku ketularan!" "Nggak apa-apa, biar bisa cuti bareng. Lagian kan nanti bobonya barengan juga hehe." Damn lah, mulut titisan setan ya seperti itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN