3. Kereta Malam

2952 Kata
[Cerita ini FIKSI. Sebagian besar Iokasi, latar belakang, nama tempat, bahasa, dsb dibuat berdasarkan kebutuhan cerita. Jadi, mungkin akan berbeda dari kenyataan] *** Sedikit lewat dari waktu yang dijadwalkan, kereta api malam jurusan Jakarta-Surabaya tiba, berbarengan hujan lebat mengguyur. Angin kencang membiaskan air hujan dan suara gemuruh. Para penumpang turun dari kereta, berselisihan dengan penumpang baru naik yang jumlahnya tidak seberapa. Karena ia akan memulai perjalanan panjang naik kereta malam, Krisna menelepon ibunya sambil memasuki gerbong dan mencari tempat duduk. "Bu, keretaku sudah tiba. Aku berangkat," katanya. "Iya, Nak. Hati-hati di perjalanan. Kalau sudah sampai Surabaya nanti, telepon lagi, ya?" pesan Yunita. Terdengar ayahnya bersuara di belakang. "Mau apa anak itu? Sok-sokan pakai kereta. Sudah hidup enak kok dibikin susah?" "Sudah toh, Mas," tegur ibunya dengan suara lembut. Krisna pura-pura tidak mendengar semua itu. Ia tersenyum kecut sekilas, kemudian menyahuti ibunya. "Iya, Bu. Nanti Krisna telepon lagi." Panggilan berakhir. Krisna menyimpan ponselnya. Ia menemukan tempat duduknya yang berada di baris tengah. Ia menaruh ransel di bangku sebelah yang kosong. Gerbong itu nyaris kosong, hanya terisi 3 atau 4 orang yang duduk berpencar. Jadi, mereka bisa duduk di mana saja sebenarnya. Krisna mengembuskan napas lega ketika kereta mulai bergerak. Akan menghabiskan waktu 10-11 jam sampai tiba di Surabaya dalam cuaca buruk malam itu. Ia melemaskan pundak agar duduk lebih nyaman dan bersandar. Kereta melaju dalam rinai hujan dan kegelapan. Percikan air di jendela berkilauan saat melewati cahaya lampu, memberikan nuansa miris tatkala Krisna merenungkan hidupnya. Kemilau dunia yang memukau, tetapi akan berlalu dengan sangat cepat, persis kilauan yang dilihatnya. Ia mulai banyak berpikir belakangan ini, padahal ia bukan pria yang melankolis. Agaknya ia lebih menuruni sifat ibunya daripada sang ayah. Krisna justru bersyukur ia tidak menjadi seperti ayahnya. Beliau memberi tekanan yang sangat besar pada anak-anaknya. Perenungan Krisna terusik ketika di sudut matanya terlihat lagi gadis tadi. Gadis gelandangan itu ternyata berada di gerbong yang sama dengannya. Benar-benar seorang diri dan duduk di baris paling belakang. Kening Krisna mengernyit. Gadis berselubung hitam itu merapikan pasminanya sehingga tampak lagi wajah polosnya dan rambut ikal megar membuat kepalanya seperti pohon gandarusa. Krisna meringis. What the heck? Pasti butuh tenaga ekstra mengurus rambut awut-awutan seperti itu. Haisssh! Kok aku yang repot memikirkannya? batin Krisna. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja sangat jarang melihat rambut seperti itu. lagi pula, kebanyakan perempuan yang dikenalnya berambut lurus. Paling tidak, tidak seribet rambut ikal gadis itu. Gadis itu meringkuk lagi di bangkunya. Menjadi siput yang berlindung dari dinginnya udara malam. Krisna lanjut mengamati pias hujan di sisinya. Ia merapatkan jaket dan bersedekap. Mungkin isi kepalanya sebelumnya seperti itu. Awut-awutan. Krisna jadi menyamakan rambut gadis itu dengan pikirannya. Seperti yang ayahnya bilang, hidup enak kok dipersulit. Jika ingin ke Surabaya, kenapa tidak naik pesawat? Atau bawa mobil sendiri. Kenapa harus kereta api? Pertama-tama, ia tidak ingin membawa mobil pribadi ke tempat kerjanya nanti. Medannya sulit dan akan ada mobil operasional untuknya di lokasi. Kedua, untuk alasan sentimentil. Ia hanya ingin bernostalgia dengan kereta api, di mana dulu ayah dan ibunya akan membawanya naik kereta sebagai bagian dari rekreasi, juga mengunjungi kakek nenek sewaktu mereka masih hidup. Mungkin ia merindukan indahnya zaman dulu. Bisa bermain lumpur dan berlari mengejar layang-layang di tanah lapang. Hal sederhana yang justru memberikannya rasa bebas. Malam dingin itu membawa rasa kantuk teramat sangat bagi semua penumpang, tak terkecuali Krisna. Ia tergegau beberapa kali, lalu bersedekap mencoba tidur lagi. Ia melihat seorang pria paruh baya berjalan bolak balik di gerbong. Awalnya Krisna tidak mempedulikan hal itu, akan tetapi ketika matanya nyaris terpejam, ia melihat tingkah pria itu menjadi tidak wajar. Pria itu melirik ke sana kemari, sepertinya memastikan semua penumpang yang ada di gerbong tidur lelap. Pria itu berjalan lagi ke bagian belakang, membuat Krisna menoleh dan mendapati pria itu mengendap-endap ke bangku tempat si gadis siput berada. Sontak Krisna berdiri sambil menarik ranselnya sehingga menimbulkan suara gemeresak yang cukup nyaring. Pria tadi tersentak, lalu berubah haluan. Ia putar balik ke arah depan gerbong, berpapasan dengan Krisna yang memanggul ranselnya berjalan ke belakang gerbong dengan langkah mantap. Krisna menjatuhkan ranselnya di bangku yang berhadapan dengan gadis itu. Suaranya cukup keras, akan tetapi gadis itu tidak terusik. Ia bergeming dalam posisi siputnya. Krisna mengempaskan tubuh di sebelah ransel dan menyapa gadis itu dengan suara lantang agar pria tadi tahu bahwa mereka saling mengenal. "Aku ingin bicara denganmu!" Krisna lalu diam menunggu jawaban. Namun, reaksi kecil pun tak tampak. Krisna mendengkus sebal. "Hei, apa kau mendengarku? Aku tadi memberimu cokelat KitKat." Terlihat pasminanya bergerak lalu sebuah mata terbuka, melirik dingin. Mata itu menatapnya, Krisna yakin itu. Krisna berharap gadis itu berkata sesuatu, akan tetapi jangankan berkata, matanya kembali terpejam dan pasminanya menutupi. "Haisshshh!" Krisna mendesis sebal. Ia mencondongkan badan ke gadis itu dan mencecarnya dengan suara direndahkan. "Apa kau sadar kau tadi nyaris dilecehkan?" Tampak pasminanya dicengkeram erat, membuat Krisna yakin gadis itu mendengarnya. "Apa kau pikir dengan berpakaian seperti ini akan menghindarkanmu dari kejahatan? Atau kau menguasai ilmu bela diri sehingga kau berpikir bisa melindungi diri sendiri?" "Hmmhh ....." Krisna mendengar dengkusannya, tetapi reaksi gadis itu tidak lebih dari itu. Krisna mendesah, "Maafkan aku. Sebelum aku berbicara lebih jauh, apakah kau bisu atau ada gangguan bicara?" Sialnya, gadis itu malah memalingkan wajah dan tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang sangat lama. Krisna sangat kesal hingga nyaris menyepak bangku gadis itu, akan tetapi ia masih bisa menahan diri. Krisna menyelonjorkan kakinya ke bangku gadis itu, lalu ia bersedekap dan memejamkan mata berusaha tidur. Dalam hati berseloroh, kau akan berterima kasih padaku karena sudah mau menjagamu. Namun, alangkah marahnya Krisna ketika ia membuka mata pagi harinya, gadis itu tidak ada di mana pun dan kantong ranselnya terbuka kosong melompong. KitKat dan Milo Choco Bar-nya habis digondol maling. *** "Aaarghh! Sialan! Tidak tahu terima kasih!" geram Krisna yang menarik perhatian penumpang lain, termasuk bapak-bapak me.sum malam tadi. Krisna memeriksa semua kantong dan barang berharganya. Alhamdulillah-nya, tidak ada satu pun yang hilang kecuali harga dirinya. Ia merasa dipecundangi anak ingusan. Krisna tidak ada niat mencari gadis itu. Biarlah ia rugi KitKat dan Milo Choco Bar. Anggap saja buang sial. Tidak ingin kesal berkelanjutan, Krisna sibuk mengutak atik ponsel saja hingga kereta tiba di Surabaya. Manusia membludak di stasiun Surabaya, berdesakan masuk kereta. Krisna keluar gerbong sambil menelepon ibunya mengabarkan ia sudah sampai di Surabaya. Selanjutnya ia menuju titik temu dengan seniornya yang bernama Syamsu. Dokter lapangan berusia 30 tahunan itu menyambut Krisna dengan pelukan dan tepukan bersahabat. "Selamat datang di Surabaya. Senang akhirnya kau bergabung bersama kami, bro!" ucap Dokter Syamsu. Kemudian ia memperkenalkan rekan-rekan yang ikut bersamanya. Semuanya pria berusia sepantaran. "Ini Fahmi. Ia perawat yang akan mendampingimu tugas di Desa Kare. Ini Sonari, driver kita, dan Deden, pengurus yayasan Bisa Kita. Kalau ada apa-apa yang kamu perlukan, ini orang yang mesti kamu hubungi." Mereka berjabat tangan dengan Krisna. "Selamat datang, Dok!" "Terima kasih, terima kasih," sahut Krisna. Mereka lalu meninggalkan stasiun mengendarai mobil hutcback. Di Surabaya, mereka makan siang dahulu, mencicipi Lontong Balap yang terkenal sebagai kuliner legendaris di kota itu, sekalian mereka berbelanja barang kebutuhan di lapangan. Setelah menyelesaikan urusan di Surabaya, mereka menuju Desa Kare yang merupakan tempat kebun kopi terluas di Indonesia yang bernama Kandangan. Desa/Kecamatan Kare berada di Kabupaten Madiun, Jawa Timur, dikenal sebagai salah satu kampung terpencil di wilayah setempat. Lokasinya tersembunyi di balik Gunung Wilis. Di desa itulah Krisna akan menetap selama penugasannya. Mereka tiba di Desa Kare saat tengah malam. Krisna langsung dibawa ke rumah dinasnya yang berada di kawasan perkebunan kopi. Menuju ke sana terasa memasuki uji nyali karena sangat sunyi dan gelap gulita. Sumber cahaya hanya dari lampu mobil. Jalanan licin berlumpur bekas hujan. Rumah yang akan ditempati Krisna seperti umumnya unit fasilitas kesehatan satelit. Ada ruangan rawat darurat dan peralatan medis yang memenuhi standar minimal pelayanan kesehatan serta tindakan medis ringan. Bagian rumahnya adalah ruangan berdenah layaknya rumah tipe 36. Terlihat bangunannya masih baru. Beruntung sekali Krisna mendapatkan fasilitas yang lumayan. Bagian terberatnya nanti adalah jika harus menuju lokasi yang lebih terpencil seperti Kampung Kertoembo, yang berjarak sekitar 3 kilometer dari perkebunan. Meskipun terpencil, Kampung Kertoembo cukup tersohor di kalangan para petualang. Kampung tersebut berada di tengah hutan, di bawah tebing-tebing curam. Di sekelilingnya, mengalir air terjun kecil yang indah. Mendengar hal itu, Krisna menjadi bersemangat menjalankan tugasnya di desa itu. Malam itu, rombongan Dokter Syamsu menginap di rumah tersebut, sekaligus membantu Krisna beradaptasi. Keesokan harinya, mereka memperkenalkan Krisna kepada perangkat desa dan orang-orang pabrik kopi, lalu membawanya berkeliling desa agar berkenalan dengan warga sekitar. Dan seperti umumnya perkenalan, ada orang baru selalu menarik perhatian. Apalagi seorang dokter, muda, dan tampan, yang paling terkesan adalah para hawa. Dalam sehari, nama Dokter Krisna Adimulya langsung viral di Desa Kare. Pasiennya langsung banyak. Tidak pernah ada hari-hari sepi. Makanan tidak pernah kehabisan karena sering mendapat bingkisan dari pasiennya. Perempuan di desa itu juga jadi senang berdandan karena ingin menarik perhatian sang dokter. Krisna bekerja dibantu Fahmi, bidan Mujibe, serta tenaga laboratorium, Sutiyeh. Ketiga orang itu sudah berkeluarga sehingga mereka tinggal di rumah sendiri yang berada di luar kawasan perkebunan. Krisna menggunakan mobil hutcback jika harus bepergian. Ia akan membawa Fahmi bersamanya, sebagai pemandu supaya tidak tersesat di jalan terutama saat ke Desa Kertoembo.   Sinyal sangat susah di kawasan itu sehingga Krisna jarang bisa berkomunikasi online. Seminggu setelah menempati rumah barunya, Krisna perlu membeli barang-barang kebutuhannya, jadi ia pergi ke pasar di Madiun bersama Fahmi. Pasar tradisional itu sedang ramai-ramainya. Ratusan orang berada di sana, bergerombol, riuh, sibuk berbelanja. Krisna dan Fahmi juga sibuk melihat barang-barang di toko kelontong. Namun, entah bagaimana pandangan Krisna malah jatuh pada sosok berkerudung pasmina hitam yang berjalan di antara pengunjung pasar. Separuh wajah orang itu ditutupi pasminanya. Krisna tidak akan mengenali siapa di balik kerudung itu, akan tetapi perawakan yang sama, penampilan yang sama, baju yang sama, membuatnya yakin itu adalah orang yang sama yang mencuri KitKat-nya. Krisna meninggalkan toko dan bergegas menuju gadis itu sebelum ia menjauh dan menghilang. Ia tarik tengkuk gadis itu sehingga pasminanya terbuka. Rambut kriwil berantakan mencuat dari puncak kepalanya. "Aha! Di sini kau rupanya. Akhirnya kau kutemukan, rambut obrak abrik !" seru Krisna. Kepala itu terteleng ke arahnya. Mata gadis itu mendelik serta bermuka jutek, seolah ia bisa saja menggampar Krisna karena telah mengganggunya. Gadis itu berdecih dan menarik pasmina menutupi kepalanya. Tanpa berkata apa pun, ia melanjutkan langkah. Krisna terperangah. "Whoaah, kau berlagak tidak mengenalku?" Krisna berkacak pinggang lalu berseru lantang pada gadis itu. "Kau mencuri KitKat-ku." Tidak digubris. "Dan juga Milo Choco Bar-ku." Juga tidak digubris. Krisna pun berteriak. "Berhenti kau, pencuri! Jangan pergi ke mana-mana sebelum kau mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" Gadis itu mematung, bersamaan seluruh mata orang-orang pasar tertuju ke arahnya. Diteriaki pencuri serta penampilannya yang mencurigakan sontak membuat orang-orang menariknya, menjambaknya, serta memukulinya sambil berteriak, "Woi, copet ya kamu rupanya! Kurang ajar! Rasakan ini!" Krisna terperanjat oleh aksi spontan itu. Ia segera menerobos kerumunan, mendekap gadis itu, dan pasang badan, menjadikan tubuhnya tameng yang meredam semua pukulan dan rundungan orang-orang. Sejenak, Krisna mendengar isakan lemah dan jemari mencengkeram dadanya. Krisna berseru seraya mengangkat sebelah tangan. "Berhenti! Berhenti! Itu tadi kesalahpahaman." Fahmi hadir di sisi Krisna. Mekipun ia tidak mengerti apa yang terjadi, ia membantu Krisna menenangkan orang-orang. "Stop, stop! Jangan dipukuli. Jangan memukuli siapa pun. Tenang, tenang. Kami sudah menanganinya." Warga tidak menerima begitu saja pernyataan itu. Mereka mencecar Krisna dan Fahmi. "Maksudnya apa? Kalian ini siapa? Lalu dia itu siapa? Kalian ini mau ngeprank orang satu pasar? Buat konten biar viral? Sini kami viralkan sekalian." Mereka hendak memukuli lagi. "Bukan! Bukan begitu ...," seru Krisna dan Fahmi kewalahan. Walaupun muka Krisna cukup ganteng, orang-orang tidak sungkan memukulinya. Untungnya polisi patroli pasar datang. Priiit! Priiiit! Bunyi peluit mereka. Kerumunan orang-orang bubar, tersisa polisi itu bertanya-tanya. "Ada apa ini? Ada apa ini?" "Ini, Pak, anu ... miskomunikasi ...," celoteh Fahmi menjelaskan. Krisna terdiam karena memandangi gadis di dekapannya. Sorot mata gadis itu terlihat nanar, kemudian bola matanya terbalik, lalu tak sadarkan diri, terkulai di lengan Krisna. Ia jadi panik. "Hei, hei? Kau kenapa?" "Hah? Kenapa lagi ini? Kok pingsan?" gumam para polisi. "Tenang, Pak. Dia itu dokter dan saya perawat," pungkas Fahmi. Krisna mengangkat gadis itu membawanya ke emperan teduh. Kedua polisi dan Fahmi mengikutinya. Krisna memangku gadis itu untuk memeriksa denyut nadi dan pernapasannya. Denyutnya memang sangat lemah, juga napasnya, jadi tidak ada tanda-tanda gadis itu memalsukan pingsannya. "Dia benar-benar pingsan. Kita harus memberikan pertolongan pertama segera," ujar Krisna. "Di mobil ada infus dan obat-obatan. Kita bawa ke mobil kah, Dok?" tanya Fahmi. "Ya, kita ke mobil." Mereka bergegas ke parkiran. Krisna menyadari tubuh gadis itu terlalu ringan untuk diangkatnya, padahal dari raut mukanya, gadis itu terlihat berusia sekitar awal 20an serta perawakannya standar kisaran 150an sentimeter. Direbahkan di kursi penumpang dalam mobil hutcback, pasmina gadis itu dilonggarkan agar lebih lega bernapas. Fahmi mengukur tekanan darahnya dan memasangkan infus sementara Krisna bicara pada polisi. "Kami kenal di perjalanan, sama-sama dari Jakarta menuju Surabaya. Saya menyapanya sambil bercanda tadi, Pak, tahu-tahu orang-orang mengira dia pencopet ...." Krisna menceritakan versi amannya saja. "Baiklah, kalau begitu bisa kami catat nama juga nomor telepon Anda? Tolong perlihatkan KTP Anda, juga teman Anda ... dan gadis itu, siapa namanya?" Krisna menyerahkan KTP-nya, lalu KTP Fahmi sambil memikirkan apa yang harus dikatakannya soal gadis itu. Ia bahkan tidak tahu namanya. Bisa-bisanya ia mengaku kenal? Krisna mulai menyesali keputusannya. Seharusnya ia jujur saja gadis itu mencuri Kitkat-nya, lalu meninggalkannya di tangan polisi. Namun, ia tercerahkan ketika Fahmi menyerahkan KTP yang ditemukannya di saku baju gadis itu. Ada tulisan namanya. Adiba Farhana namanya. Dia lahir di tahun ... pokoknya umurnya 22 tahun. Krisna menyerahkan KTP itu pada Pak Polisi. "Ini, Pak. Punya Diba," ujar Krisna lagi, sok akrab. "Oh, sama ya, kalian dari Jakarta Selatan," celetuk polisi itu. Krisna iya iya saja, dalam hati menggerundel, masa sih? Kok aku gak pernah melihat dia. Jaksel itu luas, cuy. Krisna mengakhiri keheranannya. Si Adiba mulai sadar. Dia bersuara mengerang lemah dan duduk sambil memijat pelipis, membuat Krisna segera menghampirinya. "Eh, Diba, bagaimana perasaanmu? Sudah baikan?" Melihat sikap sok kenal sok dekat pria itu, membuat Adiba tercenung, kemudian ia segera tersadar penuh saat polisi menyapanya. "Pemisi, Bu. Bapak ini bilang kalian teman seperjalanan dan saling kenal. Apa itu betul?" Adiba mengangguk. "Iya, betul, Pak," tambahnya yang entah kenapa Krisna merasa lega mendengar dia bicara. Polisi lalu mencatat-catat lagi. "Dia orangnya iseng, Pak, suka mengganggu saya. Itu tadi salah satu kerjaannya mengisengi saya," ungkap Adiba bernada kesal geregetan. Polisi mangut-mangut sambil senyum-senyum penuh arti. Ya, namanya cowok lagi pedekate. Mereka melirik pada Krisna yang ganteng serta masih bujangan dan Adiba yang cukup menarik dengan penampilan uniknya, meskipun ia terlihat pucat pasi. Krisna malah jadi patung. Polisi bertanya lagi pada Adiba. "Kenapa tadi Ibu pingsan? Ibu sakit?" "Saya kelaparan, Pak, saya mau beli sate, tapi dia malah menghalangi saya," jawab Adiba yang kemudian memelototi Krisna dan mencibirnya. Pak Polisi itu berkelakar. "Waah, Pak Dokter harus tanggung jawab nih, karena sudah membuat ibu ini pingsan." "Eeh, iya, Pak. Ntar saya belikan sate buat dia," beber Krisna. Ia meneleng kepala pada Fahmi. "Fahmi, belikan sate buat Diba." "Ya, Dok. Baik!" Fahmi lalu beranjak ke warung sate dekat parkiran. Polisi mengakhiri laporannya lalu mengembalikan KTP Krisna dan teman-temannya. "Lain kali bercandanya jangan hal-hal sensitif, ya," nasihat mereka pada Krisna. "Iya, Pak. Nggak lagi," sahutnya sungkan. Krisna lalu melepas kepergian para polisi. "Terima kasih, Pak, atas bantuannya." Polisi tak tampak lagi, Krisna berbalik menghadap Adiba dan memelototinya. "Ini semua gara-gara kamu mencuri KitKat aku! Dasar tidak tahu terima kasih! Aku minta ganti KitKat aku, juga Choco Bar-nya." Gadis itu berekspresi dingin dan ucapannya ketus. "Bagaimana bisa kamu menuduh aku mencuri Kitkat-mu? Apa kau punya buktinya?" Krisna termangap. Bisa-bisanya gadis ini .... "Ini satenya, Dok!" seru Fahmi, datang tergopoh-gopoh membawakan sebungkus sate ayam plus lontongnya. Krisna ambil bungkusan itu, lalu menyodorkannya pada Adiba tepat di depan wajahnya. Adiba, tanpa banyak pikir menyambutnya lalu melahap sate itu yang habis dalam waktu singkat. Krisna dan Fahmi ternganga. Adiba meminta minum. Fahmi mengambilkan satu air mineral kemasan dari kantong kursi mobil yang merupakan persediaan mereka di perjalanan. Gadis itu pun minum dengan rakus. Teringat gadis itu menggelandang dan makan dari sisa-sisa orang, Krisna yakin Adiba kelaparan sampai kurang gizi, terlihat dari muka pucat dan pipi tirus. Baru sadar juga, baju dan tubuh gadis itu sangat kotor serta bau keringat lama. Entah berapa hari dia tidak mandi. Gadis itu terlihat menjilat-jilat tusuk sate dan bungkusannya, memastikan tidak ada secuil pun makanan tersisa. Krisna jijik sekali melihatnya. Ia mengubit Fahmi agar masuk ke dalam mobil. Krisna duduk di balik kemudi. Semua pintu mobil tertutup, membuat Adiba terdiam. Krisna menyalakan mobil dan menjalankannya. Adiba segera protes. "Hei ... ke mana kau membawaku? Turunkan aku di sini saja!" "Ssst! Diamlah! Sekarang kau pilih: Kau menggelandang dan makan dari sampah atau kau ikut aku dan bekerja padaku. Aku jamin makanan yang kuberikan jauh lebih layak daripada yang kau dapatkan di jalanan." Tidak ada jawaban. Krisna melihat melalui kaca pantul gadis itu terdiam. Mata ambernya menyorot suram. Sebelum air matanya menetes, ia memalingkan wajah. Gadis itu mengabaikan bungkusan bekas makannya tergeletak sembarangan, serta tangannya yang dipasangi infus, dia menutupi kepalanya dengan pasmina lagi lalu meringkuk sambil gigit jari. Bukan gigit jari yang imut. Krisna mengenalinya sebagai tanda-tanda tertekan. *** Orang dewasa yang suka gigit-gigit jari seringkali tampak lucu dan imut karena terkesan kekanak-kanakan, tetapi hal itu perlu diwaspadai. Baryu-baru ini, kebiasaan buruk itu akan digolongkan sebagai salah satu gangguan mental. American Psychiatric Association, sebuah lembaga yang menyusun panduan diagnosis gangguan mental atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) tak lama lagi akan membuat kebiasaan gigit kuku dan jari masuk dalam gangguan Obsessive Compulsive Disorder atau OCD. OCD paling mudah dikenali dari ciri-cirinya yakni pikiran atau ketakutan yang berlebihan (obsessive) yang memicu perilaku berulang (compulsive). Sekian sekilas info. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN