14. Realita

2627 Kata
Bebas dari penjara lalu menikah dadakan membuat Adiba kewalahan dengan suasana hatinya. Terlalu gembira bercampur bingung dan ketakutan. Pegangannya hanya satu, yaitu mematuhi apa pun kata suaminya, Bapak Diaz Nareswara. Usia Diaz mencapai 29 tahun saat menikahi Adiba yang berusia 21 tahun. Sebelum itu, ia masih betah membujang sampai ketika ia memasukkan Adiba ke hatinya. "Hiks, hiks, hiks ...." Adiba terisak-isak dalam keadaan bugil, duduk di tengah ranjang. Ia ngeri melihat bercak merah di tengah seprai serta rasa berdenyut-denyut nyeri bekas meregang dan digojlok dalam inti tubuhnya. Ia mengusap-usap air matanya yang terus saja mengalir tak bisa dihentikan. Diaz, dalam keadaan sama bugilnya berlutut mendekap Adiba dan mengusap-usap rambut istrinya. "Maafin Mas, Diba. Mas nggak menyangka kamu jadi kesakitan. Mas tadi lupa diri soalnya sudah lama banget Mas mendambakan hari ini," bujuk Diaz. Adiba meliriknya dengan mata berkaca-kaca. "Saya takut, Pak, nanti mau pipis bagaimana? Kan itu berdarah. Heu hu hu ...." Dia nangis lagi. "Nggak apa-apa kok, Diba. Itu beda jalur. Kamu bisa pipis seperti biasa, dan yang tadi lukanya palingan 2-3 hari sudah sembuh, kok." Adiba tetap saja menangis. "Hu hu hu ...." Lututnya beringsut merapat. Ia ingin pipis setelah tadi dipenuhi punya Bapak Diaz, tetapi terlalu takut melakukannya. Diaz melihat gelagat itu. Ia bertanya dengan lembut. "Adek mau pipis?" Adiba mengangguk sembari mengusap air matanya. Wajahnya memelas yang membuat Diaz iba sekaligus gemas. Diaz beranjak turun dari ranjang. "Ayo, sini ikuti Mas. Toiletnya ada di sini." Adiba beringsut takut-takut dengan kaki merapat dan gemeletar. Agak meringis, ia berusaha berdiri. "Kaki kamu lemas?" tanya Diaz prihatin. Adiba mengangguk yang membuat Diaz tersenyum. "Aduh, maafin Mas, ya Dek," ucapnya lagi. Ia dekati Adiba lalu ia gendong istrinya itu dan membawanya ke toilet duduk. Adiba benar-benar asing dengan semua fasilitas mewah rumah itu. Ia takut menyentuh barang-barang di dekatnya. Diaz jadi terenyuh. Ia beri Adiba arahan menggunakan toilet. "Ini Diba, kamu pipis aja, lalu tekan tombol ini. Ntar airnya menguras sendiri dan air pencucinya muncrat otomatis." "Ooh." Adiba terkesima dengan sistem pengairan toilet tersebut. 5 tahun mendekam di penjara membuatnya ketinggalan banyak hal. Ada keran cuci tangan dan shower mandi yang mengeluarkan air sesuai sensor. Lalu ada penyetel air panas dan dingin. Serta bak besar panjang yang ternyata buat mandi berendam. Belum lagi luasnya toilet itu seperti sebuah kamar tidur muat 5-10 orang. Selesai cuci bersih area itu, Diaz bungkus tubuh Adiba dengan jubah mandi lalu digendongnya lagi kembali ke kamar. Karena Adiba ketakutan dengan bekas darahnya, Diaz singkirkan bedcover itu, lalu mereka pakai seadanya kasur baru tersebut. Diaz mendekap Adiba di pangkuannya. Istrinya itu sudah tenang sehingga ia bisa membicarakan hal lain. Diaz memperkenalkan remote AC dan remote smart TV, jaringan Wifi di apartemen itu serta telepon genggam model terbaru. Adiba mendengarkan penjelasan Diaz dengan perhatian penuh. Pria itu memperlihatkan ponselnya yang ber-wallpaper potret diri duduk di bangku kafe semacam di negeri Eropa. "Ntar Mas beliin satu buat kamu, jadi kalau ada apa-apa, Mas enak hubungin kamu," ucap Diaz. "Iya, Pak, eh ... Mas," ucap Adiba kikuk. Diaz tertawa kecil. Ia kecup pelipis Adiba. Sekali, lalu berkali-kali karena ia gemas dengan gadis selugu itu. Ia ucapkan berulang-ulang. "Istri Mas, istri Mas, uhh, akhirnya kamu jadi istri Mas. Dua tahun lebih Mas menahan keinginan ini, Diba, akhirnya hari ini terlaksana sudah. Huaahh, tak terkira bahagianya Mas, Diba." "Benarkah begitu, Mas?" "Uhm. Kamu gak percaya sama Mas, ya, wajar aja sih. Mas pikir juga kalau Mas sebelumnya terlalu gombal malah bikin kamu jijik ntar." Adiba membekap mulut menahan tawa. Diaz merutuknya. "Nah, ya 'kan kamu bakalan ketawain Mas 'kan?" "A-Adiba ... merasa aneh, ...Mas. Ehmm, habisnya ... saya ... Nggak percaya diri sebenarnya. Saya 'kan ... narapidana." Melihat istrinya tertunduk seperti itu, Diaz segera angkat dagu Adiba dan menyemangatinya. "Bagi Mas itu masa lalu. Kamu sama sekali tidak bersalah. Kamu melakukan itu karena membela diri. Itu perjuangan yang sangat suci, Adiba. Kamu gadis pemberani, itu kesan Mas terhadap kamu." Adiba tersenyum haru. Kali ini ia tertunduk, Diaz mengecup keningnya lalu berpindah ke bibirnya. Menyesap perlahan-lahan kelembutan bibir Adiba. "Mas cinta kamu. Nggak mengada-ada," ucapnya parau. "Kau membuat Mas menyadari arti perjuangan dan bertahan hidup. Kau membuat Mas ingin bekerja keras dan menggapai cita-cita sejati Mas. Mas ingin menjadi perangkat hukum yang berdedikasi menujung tinggi kebenaran dan keadilan. Dunia butuh orang-orang yang seperti itu." Adiba bertambah haru hingga air matanya tumpah ruah. Diaz segera mengusapnya dan melipur lara Adiba. "Jangan sedih, Adiba. Itu semua membuat Mas bahagia kok. Ada satu hal lagi yang mau Mas beritahu sama kamu. Apartemen ini Mas beliin buat kamu. Hasil kerja keras Mas selama 3 tahun dan Mas bangga mempersembahkannya untuk kamu." Mata Adiba mengerjap-ngerjap tidak percaya. Luar biasanya perhatian Bapak Diaz. Adiba sampai sesak napas. Ia berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya, sementara pria itu asyik menjabarkan rencana ke depannya. "Besok datang pembantu buat nemenin kamu di rumah ini. Namanya Bik Esah. Dia ntar yang masak dan bersihin rumah, kamu nggak usah ngapa-ngapain. Tunggu aja Mas di rumah ini." Adiba tersentak. "Maksud Mas? ... Adiba 'kan ... ingin jadi ... penjahit, Mas." Diaz mendesah. "Iya, Mas tahu itu dan Mas bakalan mewujudkannya, tetapi tidak bisa sekarang, Diba. Perlu kamu tahu, pernikahan kita tidak diketahui keluarga Mas. Mas sudah putuskan akan merahasiakan hal ini setidaknya setahun sampai Mas jadi rekanan dengan kantor pengacara di Prancis. Ntar kita pindah ke sana dan kamu bisa bebas pilih nanti bekerja dengan desainer mana saja, Mas akan bantu." Adiba terlalu bingung dengan semuanya. Ia hanya bisa menangkap soal pekerjaan desainer. "Hah? De-desainer?" "Mas tahu prestasi dan passion kamu. Mas gak tau fashion sih tapi pas Mas kasih liat karya kamu ke teman Mas, dia bilang kamu berbakat, Diba dan kepengen merekrut kamu. Tapi Mas pikir kalau kamu kerja di sini, bakalan rawan diketemukan orang Mahmud dan ayah kamu. Jadi, Mas rasa kita lebih baik diam-diam saja dulu, lalu pindah ke luar negeri." Adiba memijit kedua belah pelipisnya berusaha berpikir. "Lalu ... lalu ... Maksudnya keluarga Mas tidak tahu pernikahan ini, bagaimana?" Diaz menghadapkan wajah Adiba padanya agar menatapnya sungguh-sungguh. "Kamu istri simpanan Mas." Dari tahanan berubah menjadi simpanan. Dari jeruji penjara menjadi apartemen mewah di lantai tingkat 20. Dari narapidana menjadi tawanan hati seorang pengacara. Dari nelangsa menjadi nyonya Diaz Nareswara. Hidup Adiba benar-benar berubah drastis. Namun, pengalaman mengajarkannya apa yang datang dalam sekejap, maka hilangnya dalam sekejap juga. Adiba selalu waswas dalam kesehariannya. Selain semua kebutuhan sandang, pangan, dan papannya terpenuhi, Adiba diberi teman 'sel' Bik Esah. Perempuan paruh baya itu pembantu yang rajin dan perhatian pada majikan. Dia juga lembut dan telaten, sehingga mudah cocok dengan Adiba yang tidak banyak tingkah. Bik Esah menyukai gadis itu meskipun tidak tahu latar belakang Adiba. Menyibukkan diri karena suami tidak ada, Adiba membantu pekerjaan Bik Esah, bersih-bersih dan sebagainya, kecuali memasak. Diaz datang ke apartemen itu setidaknya seminggu 3 kali. Kadang ia menginap, kadang tidak. Sering kali tidak, tetapi setiap ada waktu luang, Diaz pasti datang, yang jelas untuk menafkahi badan istrinya. Untuk komunikasi, Adiba dibekali telepon genggam dan hanya Diaz yang menghubunginya. Adiba juga tidak ingin merepotkan Diaz jika ia menghubungi di waktu yang tidak tepat. Jadi, telepon itu sering kali hanya ditaruh di nakas dekat ranjang. Adiba gelisah setiap harinya. Tanpa Diaz, ia tidak akan tidur di ranjang. Adiba akan tidur di sofa atau karpet, meringkuk seperti biasa dia tidur di penjara. Jika ada jahitan mungkin ia akan menjahit mengisi waktu luang dan mengalihkan pikirannya. Namun, Diaz sepertinya tidak memperhatikan lagi hal itu karena kesibukannya. Ia sedang giat menyelesaikan kasus sebanyak-banyak demi uang dan capaian kerja agar bisa memboyong Adiba ke luar negeri. Sampai-sampai saat berduaan di apartemen pun kadang harus disela telepon penting. Diaz akan lama berbicara di telepon dan Adiba harus menjaga agar keberadaannya tidak terdengar. Adiba sadar diri posisinya dan bersabar sambil terus menyemangati Diaz setiap kali mereka berkumpul. Tak terasa, pernikahan mereka menginjak 2 bulan dan semakin memahami satu sama lain. "Capek banget Mas hari ini, Dek. Sidangnya benar-benar alot, 7 jam penuh. Mana penuntutnya ngeyel lagi. Sakit jiwa tu orang!" gumam Diaz seraya memasuki kamar sambil melepas dasi serta jasnya. Adiba mengiringi di belakangnya dan mengumpulkan baju Diaz. "Nggak usah dicuci, Dek. Gantung saja. Ntar mau Mas pakai lagi. Mas nggak nginap malam ini. Ada acara keluarga. Mas mau tiduran sama kamu sebentar." Diaz berbaring di ranjang dan memanggil Adiba ke sisinya. "Sini, Diba, duduk dekat Mas." Duduk di sisi suaminya bukan untuk mengobrol atau main suit. Diaz akan merangkul sang istri lalu mencumbunya sampai bertelanjang di ranjang dan mengerahkan keberahiannya. Engahan menggema dalam kamar. "Ahh. Hmm. Ahh. Ahh." Adiba duduk memunggungi Diaz, mengindik batang keras di pangkuan pria itu. Diaz remas-remas buah istrinya agar tidak berat berguncang sembari mengecupi sepanjang tulang belakang Adiba. Diaz meresah oleh pendiamnya Adiba selain engahan erotisnya. "Dek, kamu sayang nggak sama Mas? Hmh?" "Ahhh, shayang, Mash ... Adibah... Sayanghh ..." ucapnya beriringan derai peluh di seluruh kulit. "Tapi kok ... Nggak pernah bilang ... kalau nggak ditanya?" ujar Diaz dengan napas bertambah berat seiring memuncaknya kenikmatan. Adiba cengkeram tangan Diaz yang menangkup buah daranya. Ia kurangi tempo indikannya supaya bisa bicara pakai logika. "Diba ... malu, Mas. Diba nggak bisa merayu-rayu. Diba 'kan nggak pernah pacaran...." Diaz tertunduk di belikat Adiba dan terkekeh lega oleh polosnya gadis itu. Embusan napasnya menyapu punggung Adiba. "Oh, Diba, maafin Mas. Mas ngerti sekarang. Ya sudah, nggak papa kamu nggak bisa merayu, asalkan kamu ada buat Mas. Mas kadang banyak tekanan, Diba. Tapi kalau sama kamu ... rasanya semua masalah itu hilang ...." Adiba mulai mengerakkan turun naik pinggulnya lagi. Ia lirik Diaz melalui pundaknya dan iba melihat wajah lelah suaminya. Ia ingin membuat wajah itu berseri-seri. Adiba tersenyum tipis yang membuat Diaz menatapnya terpesona. "Adiba bangga jadi istri Mas Diaz. Tetaplah membela yang menurut Mas benar. Jangan goyah, Mas. Adiba akan selalu mendoakan keberhasilan Mas." Diaz raih wajah Adiba lalu mengecup dalam bibir istrinya itu kemudian mendesah penuh kelegaan. "Adiba ...." Tak salah hatinya memilih Adiba. Diaz semakin mencintainya. *** Dua bulan konstan terkurung di lingkungan apartemen tanpa pernah melihat suasana kota atau jalanan di luar sana, membuat Adiba penasaran. Diaz tidak pernah membawanya keluar apartemen, apalagi berduaan di fasilitas umum atau sekadar keliling jalan-jalan. Sehingga, ketika Bik Esah harus ke pasar pagi itu, Adiba menawarkan diri ikut. "Tapi, Non, kata Bapak, Non jangan keluar jauh-jauh," peringat Bik Esah. "Nggak papa, 'kan cuman sebentar. Tolonglah, Bik. Bik Esah 'kan lihat sendiri saya nggak pernah ke mana-mana. Saya mau lihat pasar, Bik. Cuci-cuci mata, beli jajanan, sama mau beli alat jahit. Saya mau bikin sulaman. Sekali ini saja, Bik. Kalau sudah ada alat sulam, saya 'kan jadi ada kerjaan di rumah." Bik Esah enggan sebenarnya, tetapi juga tidak tega. Dia setuju mengajak Adiba ke pasar. Keluar rumah, Adiba mengenakan pakaian gamis dan kerudung rapat menutupi rambutnya yang mencolok. Bik Esah memesan taksi online (bahkan Bik Esah lebih familier memakai aplikasi ponsel daripada Adiba). Taksi tiba, mereka lalu pergi ke pasar. Sebuah pasar tradisional di pinggiran kota Jakarta. Pertama mereka ke pasar bahan pokok dulu membeli daging ayam, ikan, dan sayuran. Adiba membeli es cendol dan soto. Dia kelihatan gembira sekali menyantap makanan tersebut, sehingga Bik Esah merasa risiko perjalanan mereka sepadan. Setelah itu, barulah mereka menuju bagian toko alat jahit dan prakarya. Belanja di sana seharusnya paling membahagiakan, akan tetapi Adiba seketika menjadi ketakutan bukan kepalang ketika di emperan toko-toko di seberangnya, ia melihat ayahnya bersama 4 pemuda bertampang keturki-turkian berjalan sambil melihat ke sana kemari sebagimana mereka mencari seseorang. Sontak Adiba merapat ke deretan baju jualan orang. Pelayan toko menyapanya, sedangkan Bik Esah bertanya-tanya melihat raut muka tegang nyonyanya. "Non, ada apa, Non? Kenapa, Non?" "Silakan bajunya, boleh dilihat, Kaka. Loh, Mba? Mba kenapa?" tanya pelayan toko. Debaran jantung Adiba tidak beraturan membuatnya ingin pingsan. Tangannya gemetaran mencari pegangan. Untungnya Bik Esah memeganginya sehingga ia bisa mencengkeram erat tangan Bik Esah. Mengumpulkan sisa kesadarannya, Adiba berusaha menjawab. "Nggak papa, Bi. Eh, maaf Mba. Saya nggak beli. Permisi. Permisi." Adiba meninggalkan toko itu dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan tujuannya semula. Bik Esah terbirit-b***t di belakangnya. "Non, mau ke mana Non? Bukannya tadi katanya mau beli alat jahit? Tokonya di sana, Non? Non?" Suara Bik Esah malah membuat orang-orang menoleh ke arahnya. Adiba nanar melihat ke sekelilingnya. Rasa-rasanya ia melihat orang-orang itu menuju ke arahnya. Adiba menutupi wajahnya dengan untaian kerudung sebagai cadar. Ia tarik Bik Esah dan berujar terisak. "Kita pergi dari sini, Bik. Cepat. Pokoknya kita pulang secepatnya!" "I-iya, Non. Iya." Keduanya tegang bukan main. Bik Esah tidak tahu kenapa, tetapi melihat Adiba sampai gigit jari dan menangis serta wajahnya pucat pasi, ia jadi ikut ketakutan. Begitu taksi online tiba, mereka bergegas masuk. Adiba melirik ke jalanan kalau-kalau orang-orang itu melihatnya. Bik Esah berujar pada sopir. "Pak, bisa lebih laju gak, Pak?" "Waduh, ini jalanan sedang padat-padatnya, Bu. Sabar ya, saya usahakan," kata sopir itu. Semakin lama di jalan semakin menambah durasi kecemasan Adiba. Sesampainya di emperan gedung apartemen, Adiba berlari ke dalam dan memencet tombol elevator berkali-kali. Bik Esah mengiringi terpayah-payah. Petugas keamanan jadi memperhatikannya. "Ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu?" Tatapan Adiba tidak fokus, tetapi ia masih bisa menjawab. "Saya rasa ... ada orang menguntit saya. Saya takut, Pak. Tolong lihat ke luar sana. Kalau ada, suruh pergi, Pak. Jangan kasih tahu saya ada di sini." Satpam segera memeriksa area depan gedung. Tidak terlihat siapa pun, karena kebetulan jalur masuk tersebut sepi. Lift terbuka, Adiba dan Bik Esah bergegas masuk tanpa mengindahkan satpam tadi. Bik Esah gugup bertanya. "Non, ada apa, Non? Apa yang Non lihat tadi? Siapa yang mengincar Non?" "Nggak tau, Bi. Nggak tau. Saya nggak bisa cerita!" Sesampainya di lantai apartemennya dan masuk ke dalam, Adiba dibuat mematung oleh suara keras Diaz. "Kamu ke mana saja?! Kenapa pergi nggak bilang-bilang?! Kenapa telepon aku nggak dijawab?! Apa kamu tau, Mas ini khawatir banget tau gak? Mau mati rasanya." Lalu Diaz terperangah ketika melihat saksama kondisi Adiba yang syok berdiri serta Bik Esah yang terengah -engah. Kemarahan Diaz segera menjadi kecemasan yang amat sangat. Ia guncang pundak Adiba. "Diba, apa yang terjadi? Kamu kenapa? Cepat kasih tau Mas!" Merasakan tangan suaminya memeganginya, Adiba mulai tersadar dan ketegangannya luluh. Ia menangis menjadi-jadi. "Tadi lihat ayah ... sama anak buahnya Tuan Mahmud. Diba takut, Mas ...." "Terus? Kamu diapain, Diba? Mereka lihat kamu? Mereka nyentuh kamu?" Adiba menggeleng saja lalu terdekap ke d**a suaminya. Bik Esah yang menjelaskan secara rinci hingga sampai mereka sampai di apartemen. "Satpam memeriksa di luar tadi tidak ada siapa-siapa sih, Pak." Muka Diaz mengeras dan ia bersuara membentak pada Bik Esah sekaligus biar dirasakan oleh Adiba betapa ia sangat khawatir. "Ya sudah. Masuk, Bik. Tapi ingat, lain kali saya tidak mau lagi ada kejadian kayak gini. Mau alasan apa pun, tanpa saya, Adiba nggak boleh keluar rumah. Paham?" "Iya, Pak. Maaf." Bik Esah bergegas ke dalam rumah untuk menyimpan belanjaan. Diaz giring Adiba ke kamar tidur dan berbicara lebih rinci lagi. "Sayang, dengerin Mas. Polisi sudah menjadikan kelompok Mahmud target operasi prioritas, Adiba. Mudah-mudahan secepatnya mereka bisa diberantas. Mas juga gak suka kamu terkurung seperti ini, tapi ini yang terbaik untuk saat sekarang. Mas harap kamu lebih bersabar lagi. Mas nggak akan buang-buang waktu kok. Mas akan cari celah dari mana saja buat menghancurkan Tuan Mahmud dan anak buahnya." "Mas ...," lirih Adiba dalam tangisnya. Ia dekap erat suaminya dan menangis pasrah. Sungguh ia ingin selamat, tetapi menyadari Diaz juga terbelit masalah yang sama dengannya, Adiba menjadi semakin ketakutan karena keselamatan Diaz pastinya juga terancam. Diaz bersuara melegakan. "Mas tahu apa yang kamu rasakan, Diba. tapi kamu tidak perlu khawatir. Selama kita berada di jalan yang benar, tidak ada yang perlu kita takuti." Diaz dan Adiba mungkin dua orang yang terlalu naif menjalani hidup. Mereka terlalu percaya akan sesuatu yang mereka anggap benar. Walau kenyataan hidup tidak berjalan seperti itu. Realita dunia ... akan mematahkan mereka. Bagaimana? Kenapa? Ikuti episode selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN