5. Membawa Berkat

3390 Kata
"Oo, begitu ternyata ...," seloroh Krisna dan Fahmi setelah mendengar kisah hidup Adiba dari Bu Bidan Mujibe. Di sela kesibukan di klinik, para nakes ini mendiskusikan perihal Adiba dari perspektif mereka sendiri. "Iya. Setelah ibunya meninggal itulah bapaknya mau menjual dia," tambah Mujibe. "Beruntung ya dia berhasil kabur. Anaknya manis juga. Bisa tuh diorbitkan jadi artis macam yang pengamen boneka itu. Lumayan 'kan bisa bantu perekonomian dia." "Lah tapi ntar ketahuan bapaknya dong. Bahaya 'kan? Malah ntar dieksploitasi sama media, bagaimana? Kasihan juga nantinya," sela Fahmi. "Eh, tapi Mba, semisal dia dijual ke orang kaya, terus yang beli itu orangnya tampan, masih muda, gagah perkasa, lalu bakal jatuh cinta sama dia, lah untung juga dong jadinya. Malah nasibnya mungkin lebih baik," tukas Sutiyeh. Krisna jadi merasa tertampar. Mungkinkah hidup Adiba akan jauh lebih baik jika ia tidak ikut campur? "Eeeh, ngomong apa kamu toh, Mba Sutiyeh?" cecar Mujibe. "Mana ada manusia dijual-jual begitu hidupnya bagus? Banyak yang kena tipu, ujung-ujungnya dijadikan wanita peng.hibur. Laki-laki berduit mah bakal cari istri yang paling nggak punya kelas, macam model, artis, minimal selebgram lah. Atau perempuan yang jelas asal usulnya kayak anak pejabat atau pengusaha." "Ya, mungkin saja, toh, Mba. 'kan biasanya di novel-novel begitu. Saya aja sampai nangis bacanya karena saking heppinya. Habisnya kisahnya kayak real banget." "Hadeeh, kamu ini, Yeh, Yeh .... Menghayati sekali rupanya." "Ehehehe, maklum, Mba, saya gak ada kerjaan lain toh di rumah. Anak-anak juga sibuk main sendiri." "Suami kamu gak diurusin toh? Kelayapan ke sana kemari dia." "Jangan khawatir, Mba, dia sudah saya miskinkan. Huahahha." "Halah kamu ini, Yeh. Digaet orang suami kamu ntar nangis beneran." "Ah, sudah ah, Mba yu, saya jadi malu nih kedengeran Dokter Krisna," ucap Sutiyeh tersipu-sipu. Fahmi segera menyahut, "Beh, sama Dokter Krisna aja baru malu. Aku lho sudah denger kisah kamu itu dari A sampai Z, gak ada malu-malunya toh." "Ya beda dong, Fahmi. Dokter Krisna 'kan bos kita. Ntar dikira kita ngegosip terus," kilah Sutiyeh. Krisna tersenyum simpul. "Gak apa-apa. Sekali-sekali boleh aja buat hiburan," katanya membijaksanai situasi. Percakapan mereka lalu kembali ke urusan pasien. Sampai jamnya salat Zuhur, Mujibe dan Sutiyeh pamit pulang pada Krisna. Fahmi membantu menutup klinik terlebih dahulu, barulah ia pulang. Krisna ke ruang sebelah dan mendapati Adiba berpakaian gamis dan pasmina hitam, sedang membawa keranjang berisi baju Krisna yang sudah kering. Dalam penampilan demikian, Adiba terlihat dewasa dan sangat anggun. Jika orang melihatnya, tidak akan menyangka dia pernah menggelandang di jalanan. Adiba menyiapkan lapisan kain dan memanaskan setrika. Gadis itu tidak mempedulikan Krisna, akan tetapi Krisna tetap bicara padanya. "Aku sudah dengar apa yang kamu alami, Diba. Aku turut prihatin. Kamu tenang saja, kamu aman di sini dan kamu bisa tinggal selama kamu suka," kata Krisna. Adiba terdiam lalu melirik padanya seraya tersenyum. Krisna terhenyak melihat senyum gadis itu yang berupa seringai sinis, apalagi ketika mendengar ucapannya. "Dan kau percaya begitu saja apa yang kuceritakan?" "Apa maksudmu?" Gadis itu merentangkan baju kemeja biru malamnya lalu mulai menyetrika. Ia memunggungi Krisna. "Aku bisa saja berbohong dan kau tahu aku bisa melakukannya," jawabnya lugas. Krisna membisu sesaat. Apa dia mulai bersikap defensif lagi? batinnya. Krisna berusaha tidak terpancing emosi. Ia mengembus napas lega. "Kau bohong atau tidak, tidak ada ruginya buatku. Kau masih di sini dan bekerja untukku. Hanya itu yang kuperlukan. Dan ... oh iya, aku minta maaf soal pakaianmu. Aku tidak memikirkan sampai segitunya. Kau pasti sangat tidak nyaman. Ibu-ibu tadi berjanji akan mengantarkan pakaian muslimah ke sini." Adiba menyahut tanpa menoleh padanya. "Tidak usah minta maaf soal itu, Pak Dokter, aku bukan orang yang religius. Pakaian ini hanya untuk menutupi rambutku. Aku akan terlihat sangat mencolok dan ... mereka akan mudah menemukanku." Krisna melihat helaan itu, sedikit banyak memberitahukannya bahwa dari sekian banyak kebohongan Adiba, di antaranya ada kebenaran tersirat. Dia memang lari dari sesuatu ... atau seseorang. Namun, Krisna bersikap seolah tidak ambil pusing. "Terserah kau saja lah. Kalau kau bisa memanfaatkan kebaikan orang untuk kepentinganmu, selama tidak berlebihan, aku tidak ada masalah dengan itu." Dilihatnya Adiba cekatan melipat dan menggosok baju-bajunya, perabotan dapur juga tertata lebih rapi, rumahnya lebih bersih. Agaknya gadis itu cukup paham cara agar ia disukai. Krisna lalu beranjak hendak ke belakang, tetapi ada tamu memberi salam dari depan rumah. Suara perempuan. "Assalamu'alaikum, Dokter Krisna!" seru Sari Dewi, gadis perawan kembang desa Kandangan. Krisna bergegas membuka pintu untuk tamunya. "Wa'alaikum salam. Eh, Mba Sari. Ada perlu apa, Mba?" Gadis itu tertunduk malu-malu sambil menyodorkan kantongan plastik berisi singkong yang masih berlepotan tanah. "Ini, Pak Dokter, dari Bapak. Katanya buat Pak Dokter. Hasil kebun sendiri, Pak. Baru tadi dicabut. Biar singkongnya empuk, bisa digoreng secepatnya," ungkap Sari Dewi Ia berharap Dokter Krisna meminta bantuannya untuk menangani singkong tersebut. Secara pria itu anak kota, tentunya tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Wuaaah, makasih banyak, Mba Sari!" Sari Dewi semringah Krisna menyambut buah tangannya. Namun, alangkah terkejutnya Sari Dewi, ketika Krisna menerima bingkisan itu sambil memanggil perempuan lain di dalan rumah. "Diba. Adiba, ambil ini, Diba." Adiba meninggalkan setrikaannya dan mengambil kantongan di tangan Krisna. "Taruh di belakang dulu. Habis nyetrika bersihin ini, ya?" kata Krisna. Adiba tidak menjawab, tetapi melaksanakan suruhannya tanpa bertele-tele. Mata Sari Dewi terpicing melihat sekilas sosok Adiba. Ketika Krisna kembali menatapnya, dia segera memasang senyuman termanisnya. "Ehm hehehe, Dokter ada temannya ya?" "Oh, itu Adiba, pembantu saya. Dia kerja di sini mulai kemarin." "Ooo. Mm, masih muda ya ... Kayak umuran saya ...." "Nggak kayaknya. Tuaan dia," sahut Krisna. "Oh, iya. Makasih banyak loh, Mba, itu singkongnya. Bilangin sama Bapak juga ya, dan jangan lupa ntar Bapak kontrol lagi ke sini. Darah tinggi itu harus sering cek tekanan darahnya." "Iya, Pak Dokter, akan saya sampaikan sama Bapak. Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya pulang dulu. Permisi, Assalamu'alaikum." "Wa'alaikum salam ...." Gadis itu undur diri menuju sepeda motor matic-nya. Krisna memandanginya sampai menjauh, barulah ia kembali ke dalam rumah. Adiba menghadapnya seraya menyodorkan tumpukan bajunya yang sudah terlipat dan tersetrika rapi. "Ini, sudah selesai." Krisna menerimanya dengan sorot menyelidik. Adiba tidak menatapnya, buru-buru berbalik lalu ke belakang rumah. Krisna membawa pakaiannya ke dalam kamar lalu menaruh pakaian itu di rak sesuai jenis. Hasil setrikaan Adiba cukup rapi seperti laundrian, memberi nilai plus bagi Krisna. Adiba pastinya seorang pekerja keras. Atau mungkin selama ini dia diperas tenaganya untuk bekerja kasar? Krisna menggeleng mengenyahkan dugan itu. Ia penasaran, tetapi bertanya pada Adiba hanya akan tampak merendahkan dirinya saja. Krisna menutup lemarinya kemudian terhenyak memandangi kamarnya yang berantakan. Tidak terlalu berantakan, akan tetapi bagi seseorang yang terbiasa kamar rapi dan bersih, pemandangan itu sedikit mengganggunya. Tidak banyak perabotan di kamar sekecil itu. Sebuah lemari pakaian 2 pintu tempat menyimpan baju dan tas, kasur busa tipis terhampar di lantai, karpet kecil di tengah-tengah kamar sekaligus sebagai alas salat. Nakas tempat ia menaruh cermin, alat berhias dan aneka botol kosmetiknya, juga tempat menaruh alat salat dan Al-Qur'an. Posisinya sejangkauan tangannya jika ia salat di tengah kamar. Iya, ia salat dan mengaji, kadang-kadang. But really, we're not gonna talking about that. Krisna keluar kamar untuk ke belakang dan tercenung melihat Adiba tercenung di bangku kecil memegangi sebatang singkong dan sebilah pisau kecil. "Kenapa, Diba? Kok belum dibersihkan singkongnya?" tanya Krisna. Adiba meliriknya dengan muka menunjukkan ketidaksukaannya. "Aku tidak tahu cara melakukannya." "Hah? Tinggal dipotong-potong lalu dikupas." "Aku bilang aku tidak bisa!" Krisna berpikir dalam sebentar. "Hmm." Kemudian ia berseloroh. "Kalau kamu tidak mengerjakannya, maka tidak ada apa pun yang bisa kau makan." Adiba menjatuhkan singkong dan pisaunya lalu berdiri menghadap Krisna dan mencecarnya. "Aku tidak pernah mengerjakan pekerjaan dapur apalagi memasak. Perlu kau ingat, kau membawaku ke sini dengan jaminan aku mendapatkan makanan yang layak, jadi, menyediakan makanku adalah kewajibanmu, bukan aku. Dan ngomong-ngomong, ini sudah jam makan siang. Aku lapar." Krisna terperangah oleh sikap gadis itu. Jauh dari rasa terima kasih, malah mangata-ngatainya seolah ia CEO yang memotong gaji buruh pabriknya. Meskipun kurang ajar, Adiba ada benarnya. Krisna tidak bisa marah karena itu, tetapi ia jadi memutar otak bagaimana cara membalas kekurangajaran Adiba. Bukan pertama kali ia bersikap seperti ini, tentunya tidak akan jadi yang terakhir jika ia tidak memberikan pelajaran yang tepat. Krisna mendesah pasrah. "Ya sudah. Kalau begitu kita pergi keluar. Bungkus lagi singkong itu. Kita bawa sekalian." Krisna lalu masuk ke kamar mandi, sementara Adiba melaksanakan suruhannya. Ketika dalam mobil, duduk bersisian di kursi depan, Adiba tidak bertanya ke mana mereka menuju. Gadis itu tidak ada minat berbasa-basi sekali pun, yang mana seharusnya tidak mengherankan lagi bagi Krisna. Mereka ke muara kawasan kebun kopi Kandangan. Keluar dari gerbang itu banyak rumah warga dan salah satunya adalah rumah Bu Mujibe. Krisna mampir di rumah itu. Niatnya mau memberikan singkong yang tidak bisa mereka kelola. "Wuaah, padahal sore nanti mau ke rumah Pak Dokter loh, nganterin baju," ujar Bu Mujibe yang di rumah mengenakan daster panjang serta jilbab spandek sederhana. "Sekalian aja, Bu, kalau hujan ntar sore kan kasian Ibu atau Bapak naik motor," kata Krisna lalu menyuruh Adiba menyerahkan singkong mentah dengan menelengkan kepalanya. Adiba manut saja dengan kode itu. Ia menyodorkan kantongan sambil berujar pada Bu Mujibe. "Tidak ada yang bisa dimakan di rumah dan kami berdua tidak bisa memasak ini. Ini sudah jam makan siang dan kami berdua belum makan sama sekali." "Ooh." Mujibe termangap sementara tangannya mematung memegangi kantongan berisi singkong itu. "Hissh!" Krisna meringis seraya membuang muka saking malunya pada tuan rumah. Ia menepuk muka tampannya. Seharusnya ia mem-briefing Adiba terlebih dahulu bahwa dari situ mereka kan mencari warung makan lokal. Untungnya Bu Mujibe cepat tanggap. Ia mengubit Adiba dan Krisna. "Ooh, kebetulan sekali, saya masak banyak hari ini. Ayo, ayo masuk sini. Kita makan sama-sama. Suami saya baru balik dari kebun tadi jadi baru mau makan." "Nggak usah, Bu, ngerepotin Ibu saja. Saya mau cari makan di luar kok, Bu," kilah Krisna. "Aaah, apaan sih Pak Dokter ini. Nggak boleh nolak rezeki. Lagian sudah ngasih saya singkong ini, sekalian saya masakin juga nanti dan kuenya bisa kalian bawa pulang. Kan lumayan. Juga kapan lagi sih bisa menjamu Pak Dokter. Hehhe, gak usah malu-malu lah, Dok. Saya senang malahan." Krisna tidak kuasa menolak keramahan tulus seperti itu. Dilihatnya Adiba juga melangkah memasuki rumah Bu Mujibe tanpa basa basi. "Aduh, Adibaaaah!" Krisna mendesis sebal, tetapi mau tidak mau ia mengiringi Adiba masuk daripada gadis itu semakin malu-maluin kelakuannya. Mata Adiba jelalatan dalam rumah itu. "Kata Ibu mesin jahitnya ada," ujarnya yang tidak melihat benda itu. "Ooh, mau sekalian lihat mesin itu ya? Ada di belakang. Ntar, ya kita makan dulu. Sudah siap kok," jawab Bu Mujibe. Mereka ke ruang makan, bertepatan Pak Karso, suami Bu Mujibe datang dari belakang selepas cuci tangan dan muka. "Eeh, ada Pak Dokter. Loh dan ini ...." Agak keheranan melihat ada perempuan yang tidak dikenalnya. "Ini yang baru kerja di rumah Pak Dokter itu loh, Pak," sambung Bu Mujibe. Pak Karso mangut-mangut, lalu ia duduk di meja makan dan tak lupa mempersilakan Krisna dan Adiba ikut makan. "Silakan, silakan! Banyak orang tambah semangat makannya. Jadi ramai rumah ini. Hehehhe. Untung banget loh, istri saya ini kalau masak suka banyak. Kebiasaan sewaktu anak-anak masih ngumpul di sini. Akhirnya dia sendiri yang ngabisin, makanya badannya itu ... Aduhaiii seksi bahenol ...." "Biar toh Pak, kan bikin kamu anget tiap malam ...." Mujibe membalas suaminya. Pak Karso tertawa sembari makanan dibagikan. Krisna senyum-senyum menanggapi candaan suami istri itu. Membuatnya terkenang ayah dan ibunya yang tidak pernah seakrab itu di meja makan. Dilihatnya Adiba berwajah datar, tetapi bola matanya tajam mengawasi tangan Bu Mujibe bergerak mengaut nasi dan lauk pauk. Pucuk daun singkong, kacang panjang, dan kecambah rebus, berdampingan dengan tahu tempe goreng, diguyur sambal kacang nan pedas. Lauknya ayam goreng sedaaap sedap sedap. Nasi putih lembik mengepulkan uap wangi, membuat liur terbit seketika, tak terkecuali Krisna yang tampak menjaga wibawa. Setelah memanjatkan doa makan, suami istri itu menyuap makanan dan Krisna juga, menjadi pertanda start bagi Adiba. Ia memulai makannya yang tidak malu-malu itu dan selesai lebih dulu dari orang lain. Krisna terperangah dengan muka merah padam, sedangkan Bu Mujibe senyum-senyum. "Mau tambah, Nak?" Krisna mengawasi. Bilang tidak, Diba! Bilang tidak! "Mau, Bu," jawab Diba sambil menyodorkan piringnya yang bersih. Mengindahkan tuannya yang malu bukan main, Bu Mujibe justru telaten meladeni Adiba. Dia isi lagi piring anak itu dan senyuman tak hilang dari wajahnya selama Adiba makan. "Pak Dokter juga tambah, Pak," ajak Pak Karso, tetapi dengan sopan Krisna menggeleng. "Cukup, Pak, sudah kenyang," jawabnya sambil membatin, nanti sixpack-ku hilang, bagaimana? Jadi kepikiran karena semenjak di Desa Kare ia tidak pernah ke gym dan selalu makan yang enak-enak. Beban pikiran tak ada, internet tak ada, udara dingin pegunungan dan sunyi senyap, tidur enak ... sangat memicu kegemukan. Haduh. "Masakan Ibu bener-bener enak. Kalah mah masakan restoran-restoran di Jakarta," puji Krisna yang tidak bermaksud apa-apa, tetapi balasannya Bu Mujibe mengemaskan makanan itu untuk mereka bawa pulang. Krisna jadi gamang. Ini alamat makan lagi ntar malam. Bagaimana six pack-ku? Haduh pusing. Eh, tenang, ada Adiba. Kayaknya dia mesti makan dulu baru bisa tidur. Iya, bener. Makanya dia curi Kitkat aku malam itu. Karena dia kelaparan! Krisna bisa menerima besek dari Bu Mujibe dengan lapang d**a. "Makasih banyak loh, Bu." "Iya, sama-sama, Dok, tapi tunggu dulu, ya, saya olah singkong tadi. Sekalian Adiba memeriksa mesin jahit di belakang." Adiba tidak peduli basa-basi macam-macam. Ia tak sabaran melihat mesin jahit Bu Mujibe. Setelah makan, Bu Mujibe membawanya ke bagian dapur yang cukup luas dan ada mesin jahit tua di sana tertutup tumpukan kardus dan baju-baju bekas. Pak Karso memindahkan tumpukan itu sekalian menggeser mesin jahit agak ke tengah ruangan. Mata Adiba berbinar-binar melihat mesin jahit itu. Mesin jahit berbahan besi dicat hitam dan motif ukiran warna emas. Model yang sangat vintage, memiliki badan meja dari bahan kayu bervernis licin mengilap. Bagian kakinya terdapat roda terbuat dari besi yang terlihat sangat kokoh. Bertulisan 'Singer' di bagian mesin dan pedal injakan kaki manual. Raut muka Adiba saat itu persis seorang kolektor barang antik menemukan harta karun. Ia bisa mengerti itu jika seorang penggemar motor klasik atau kurator barang seni. Tetapi ini mesin jahit? Tampaknya Adiba terobsesi pada mesin jahit. Krisna dan Pak Karso berdiri saja memandangi mesin itu, sementara Adiba berjongkok ke bawah meja mesin, memeriksa tali roda dan bagian dalam kolong meja. Ibu Mujibe bersuara dari bak pencucian dapur. "Bagaimana, Diba? Sama gak dengan mesin jahit ibu kamu?" "Iya, sama, Bu," jawab Adiba tanpa membuat teka-teki jika berbicara padanya. Krisna jadi bertanya-tanya. "Trus, apanya yang rusak? Mesin itu ngadat kalo diinjek." "Bentar, Bu, saya lihat dulu. Ada obeng nggak, Bu? Kembang sama pipih." Krisna berjongkok dekat Adiba dan menanyainya. "Kamu yakin bisa memperbaikinya, Diba? Panggil teknisi saja, biar aku yang bayar." Adiba malah memelototi Krisna dengan netra ambernya dan berbicara dengan rahang dirapatkan. "Aku bilang 'kan aku lihat dulu! Memangnya kalau Pak Dokter mau ngobatin orang nggak dilihat dulu?" Krisna balas melotot dan ingin sekali menjitak Adiba, tetapi Pak Karso mendekat menyerahkan dua jenis obeng pada Adiba, lalu mengubit Krisna. "Pak Dokter, kita tunggu di luar saja, yuk, sambil minum kopi." Pak Karso lalu ngomong pada istrinya. "Bu, bikinin kopi hitam ya." "Iya, ya, Pak, sekalian ini ta bikinin singkong gorengnya. Duduk yang manis di depan, ya Bapak-bapak." Krisna mengikuti Pak Karso, tetapi menyempatkan mengarahkan telunjuknya pada Adiba. "Awas lo!" "Huh!" balas Adiba sambil membuang muka. Tanpa kehadiran Krisna di dekatnya, Adiba bisa berkonsentrasi pada 'pekerjaannya'. Ia membongkar bagian mesinnya. Di bagian bobbin atau spool ada gumpalan benang bercampur debu yang membatu dan ada patahan jarum menghalangi gerak gerigi mesin. Setelah sumbatan itu dikeluarkan, tidak ada halangan lagi untuk mesin bergerak normal. Kencangkan talinya dengan memotongnya sedikit, lalu pasang jarum baru dan mengisi benang sekoci serta benang atas. Teteskan minyak pelumas di sana sini, maka mesin bisa bergerak mulus dan suaranya pun terdengar konstan. Bu Mujibe yang datang dari depan setelah menyuguhkan kopi dan singkong goreng, melihat mesin itu bekerja lagi, jadi berseru senang. "Wuaah, bisa ternyata. Sudah bagus mesinnya, Diba?" "Iya, Bu. Masalah kecil saja. Sudah saya perbaiki." "Aduh, cah ayuuu, pinter banget kamu." Adiba diam saja dengan wajah datarnya. Mungkin ekspresi bahagianya seperti itu. "Ntar ta ambilin baju yang mau ta kasih." Bu Mujibe ke kamarnya lalu membawakan sekantong plastik besar pakaian bekasnya. Kebanyakan model terusan gamis bahan batik dan spandek. Akan perlu benang dan kaki jarum khusus untuk bahan elastis sehingga Adiba lebih tertarik bahan katun batik. Ia mengambil satu gamis dan membandingkan dengan badannya. Perlu dipotong beberapa senti agar sesuai dengannya. "Gimana, Diba? Bisa kamu kecilin?" "Bisa, Bu, kalau ada pendedel dan gunting kain." "Ada!" Bu Mujibe mengambilkan dua barang itu dari dalam laci mesin. Kedua benda itu terlihat agak berkarat dan tumpul. Adiba menerimanya tanpa berkomentar apa pun. Ia ke meja mesin, menaruh baju di sana, lalu memunggungi Bu Mujibe, ia menggesek mata pendedel dengan pisau gunting agar lebih tajam. Ia mendedel jahitan dengan cekatan, lalu memotong berhati-hati karen gunting yang tumpul. Bu Mujibe tersenyum haru melihat Adiba sangat tersedot perhatiannya pada jahitan. Mungkin itu sesuatu yang benar-benar disukainya lebih dari sekadar hobi atau pekerjaan. Bu Mujibe ke depan lagi untuk menikmati kopi dan gorengan bersama suami dan Dokter Krisna. "Kenapa, Bu, kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Pak Karso. Bu Mujibe duduk di sisi suaminya di bangku pendopo teras itu dan mengungkapkan hal yang membuatnya gembira hari itu. "Itu, Pak, mesinnya beneran bisa diperbaiki sama Adiba." "Ah, yang bener?" "Iya, bener. Tuh dia lagi menjahit." Terdengar suara gijagijug putaran mesin jahit dari dalam rumah. Krisna menajamkan pendengarannya dan memang benar suara mesin itu terdengar mulus. Bu Mujibe berkata padanya. "Dia kayaknya terpesona pada menjahit, Dok. Menurut saya, kalau Pak Dokter nggak keberatan, bawa saja mesin itu buat di rumah Pak Dokter, jadi dia ada kesibukan. Nggak gigit-gigit jari lagi kalau dia berdiam. Lagian itu banyak, Dok, baju yang mesti dia kecilin." Krisna memanyunkan bibir dan mengerutkan keningnya. Ia ingin melakukan itu, tetapi Adiba baru tinggal dengannya, tidak tahu apakah akan bertahan lama atau tidak. Namun, di satu sisi pikiran ia yakin Adiba bisa berkembang dan ia tidak boleh terlihat sebagai seseorang yang kumpul kebo dengannya. Katakanlah, jika Adiba siap mapan dan hidup sendiri, ia bisa membiarkan Adiba mandiri di masyarakat. Menyelamatkan satu kehidupan adalah hal yang layak diperjuangkan apa pun taruhannya. "Jika Adiba menginginkan mesin itu, saya akan membawanya," kata Krisna akhirnya. "Waah, iya, bagus, Dok. Daripada disimpan di rumah ini juga tidak pernah terpakai," sambut Bu Mujibe. Sutiyeh melihat mobil hutcback Dokter Krisna terparkir di halaman Mujibe, segera bertandang. "Waah, Pak Dokter ada di sini! Untung saya lihat, padahal tadinya saya mau ke rumah Dokter. Mau anterin baju itu." "Iya, kebetulan saya jalan saja. Takutnya hujan, ntar nyusahin kalian," sahut Krisna. "Duuuh, Pak Dokter ini kaaan. Perhatian sekali ...," puji Sutiyeh sambil dia merona terkesima. "Lalu mana bajunya? Cepet bawa ke sini, biar dibawa Pak Dokter sekalian!" suruh Mujibe pada tetangga sekaligus rekan kerjanya itu. "Iya, iya, Mba, wes, aku ke rumah dulu." Sutiyeh bergegas pulang. Mujibe lalu bicara pada Krisna. "Ntar mesinnya dinaikin ke mobil ya, Dok. Agak berat tapinya soalnya sama meja kayunya. Kalian berdua apa kuat ya ngangkatnya?" "Masa badan segini saya gak kuat angkat mesin itu? Ah, Ibu ngeremehin saya," cibir Krisna sambil mengangkat kedua lengannya yang kencang penuh otot berdenyut. Bu Mujibe tertawa. "Ahaha, saya percaya, Dok, tapi kalau Dokter kejatuhan mesin itu 'kan bisa berabe. Lagian menurunkannya ntar bagaimana? Saya kasih tahu Fahmi saja biar bantu Dokter." Bu Mujibe memanggil anak muda dekat rumahnya dan menyuruh anak itu mengabari ke rumah Fahmi. Sementara menunggu Fahmi datang, mereka masuk ke dalam rumah untuk melihat mesin itu lagi. Adiba sudah selesai menjahit dan sedang mengepas baju di tubuhnya. Ibu Mujibe terpana melihat hasil jahitan Adiba. "Loh, ini baju yang tadi 'kan? Kok modelnya berubah? Kamu apain toh, Diba?" "Cuman ngasih lipitan di bahu sama pita dan renda di sini dari kain lebihan yang saya potong," ungkap Adiba. Bu Mujibe berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala. "Ini kamu nggak ngecilin baju, tapi kamu bikin baju baru namanya." "Nggak, ini dikecilin," tegas Adiba, yang bersikeras dengan pemikirannya. "Aah, iya, ya, terserah kamu. Pokoknya hasilnya bagus, oke banget!" Bu Mujibe bertepuk tangan untuk Adiba, yang membuat gadis itu menelengkan kepala tidak nyaman dan meringis gelisah. "Bagus, oke banget!" ucap seorang perempuan mengomentari gaun brokat berpayet kemilauan yang terpasang di manekin. Perempuan berbadan langsing berpakaian oranye bertulisan WARGA BINAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN JAKARTA TIMUR. Wajah wanita itu tersenyum ramah pada awalnya, lalu ia memelototi Adiba dan menggeram, "Tapi kamu gak pantes buat menang kompetisi ini!" Lalu ia menarik gaun hasil jahitan Adiba dari manekin dan merobek-robeknya. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN