Tinggal bersama

1407 Kata
“Pastikan kamar Jeffry bersih ya Jan! Walau kalian suami istri tapi lebih baik kalian berdua tidur terpisah!” Janna mendengus kesal membaca pesan Nani, mertua perempuannya. Ia merasa heran bisa mendapatkan dua mertua dengan kepribadian yang jauh berbeda. Yang satu sangat membelanya dan satu lagi membencinya dan selalu membela Sarita sampai-sampai tak mempedulikan perasaan orang lain. Hari ini Jeffry akan datang dan tinggal bersama Janna dirumah yang seharusnya mereka tempati bersama. Tentu saja Nani berusaha agar Jeffry tinggal dirumahnya tapi Naresh melarangnya keras. “Jeffry masih punya istri dan dia harus hidup bersama istrinya!” Dibentak seperti itu tentu saja membuat Nani diam dan menerima keputusan Naresh. Ia tak ingin suaminya semakin sakit. Malam sebenarnya sudah larut, tapi Janna merasa malas untuk kembali pulang karena ia tahu Jeffry sudah sampai dirumah mereka sejak sore. Komunikasi dirinya dan Jeffry selama setahun ini hanyalah berupa pesan pendek dan kebanyakan sebulan sekali untuk memberitahu Janna bahwa Jeffry telah mentransferkan sejumlah uang sebagai nafkah. Janna sendiri heran mengapa Jeffry masih melakukannya padahal jika ia tidak dinafkahi selama enam bulan berturut-turut, dengan mudah Janna bisa menggugat cerai. Tadi sore Jeffry bertanya dimana kunci rumah disimpan karena ia sudah sampai dan Janna segera memberitahu letak dimana ia menyimpan kunci dan memberitahu kamar yang bisa Jeffry gunakan. Kini Janna tengah berada disebuah restoran dan bar untuk menghabiskan waktu sampai ia memiliki keberanian untuk pulang. Entah mengapa hati Janna gelisah. Ia merasa tak siap untuk bertemu Jeffry. Ia tak tahu apakah ia harus bersikap marah, baik atau menganggap pria itu tak ada jika bertemu dirumah. Tapi yang paling Janna takutkan adalah reaksi hatinya jika Jeffry bersikap acuh padanya saat mereka bertemu. Yang Janna tahu, walau ia membenci Jeffry saat ini tapi juga ia akan sangat sakit hati jika tak dianggap ada oleh suaminya. Janna melangkah dengan sempoyongan memasuki komplek rumahnya. Ia sengaja turun agak jauh dari rumah agar ada waktu untuk berjalan agar ia semakin lama untuk sampai rumah. Apalagi beberapa gelas bir yang ia minum dengan cepat membuat kepalanya terasa sangat pusing dan perasaannya mengambang. Padahal sebenarnya Janna bukanlah seorang peminum alkohol, ia sengaja melakukan itu hanya untuk membuat Jeffry semakin benci padanya. Janna hanya ingin menyiksa batin suaminya. “Kamu sudah pulang?” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul saat Janna masuk ke dalam rumah perlahan. Padahal ia sengaja membuka kunci pelan-pelan agar tak memancing perhatian tapi ternyata Jeffry berada di ruang tengah saat ia masuk. Janna hanya menganggukan kepalanya dan segera berjalan menuju kamarnya dengan sempoyongan. Janna segera masuk dan menghempaskan tubuhnya segera ke atas ranjang, kepalanya terasa seperti berputar-putar tak menentu. Tak lama, seseorang membuka pintu kamarnya tanpa mengetuk. Janna merasa menyesal karena terbiasa tak mengunci pintu saat ia tinggal sendirian kemarin. “Ayo duduk, ikut aku ke meja makan,” ajak Jeffry sambil membantu Janna duduk perlahan dan membimbingnya berdiri lalu memegangnya mengarahkannya keluar kamar. Janna menurut ia terlalu mabuk untuk menolak. “Duduklah dan minumlah ini agar mabukmu cepat hilang,” suruh Jeffry sambil memberikan segera minuman hangat untuk meredakan hangover yang dirasakan Janna. Perempuan itu hanya diam dan merasa sedikit malu karena ketahuan mabuk tapi tak mendapatkan reaksi kemarahan dari Jeffry yang ditunggunya. “Apa setiap hari kamu pulang jam segini dan begini?” tanya Jeffry dengan suara datar tak terdengar menghakimi. “Apa pedulimu?” Janna balik bertanya dan segera meminum minuman hangat yang diberikan Jeffry. Tak berapa lama kemudian Janna merasa mual dan segera berlari menuju toilet dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Ia bisa merasakan Jeffry memijat lehernya untuk membuatnya lebih nyaman. Ingin rasanya Janna menolak tapi ia sudah tak punya tenaga karena terus memuntahkan isi perutnya. Selesai muntah, Jeffry memberikannya handuk basah yang hangat tapi Janna menolaknya. “Aku kembali ke kamar saja, ingin mandi,” tolak Janna sambil berjalan gontai. Jeffry pun tak mengikuti dan membiarkan Janna pergi. Dibawah shower Janna duduk dilantai dan menangis tertahan. Mengapa sikap Jeffry baik padanya? Mengapa ia bersikap basa-basi dengan cara seperti itu? Mengapa ia seolah bersikap tidak pernah terjadi apa-apa? Tak sadarkah dia bahwa hatinya terasa sangat sakit! Walau sudah setahun berlalu ternyata hal itu tak menyembuhkan luka hatinya ditinggalkan Jeffry begitu saja. Luka itu kembali menganga karena kini pria itu kembali dan di ruangan lain dirumah yang sama. Tangisan Janna makin lama makin keras, menangisi hidupnya, menangisi sikapnya yang tak tahu harus berbuat apa. Selesai mandi Janna segera menghempaskan tubuhnya keatas ranjang walau rambutnya masih sangat basah. Kepalanya masih pusing dan membuatnya ingin memejamkan mata untuk menghilangkan semua rasa. Janna merasakan seseorang datang dan menyelimuti tubuhnya dengan rapat. “Kamu gak boleh masuk ke dalam kamar ini mas, ini kamarku,” gumam Janna pelan sambil menutup matanya dan berusaha untuk tidur. “Saat ini kamu istriku dan masih ada kewajibanku untuk merawatmu,” jawab Jeffry sambil duduk disisi tempat tidur disamping Janna berbaring. “Hhhh, kewajiban? Gak salah?! Seharusnya kewajiban itu kamu lakukan saat kita awal menikah! Bukan sekarang saat kita akan segera berpisah. Basa -basi ini tak diperlukan, sudah berikan saja tanggung jawab itu pada adikmu,” gumam Janna dengan suara tak jelas sambil membalikan tubuhnya menjauhi Jeffry. “Sudah setahun berlalu … tak bisakah kita berteman? Aku kembali demi papa dan tak ingin membuatnya merasa sedih di sisa waktunya … aku tahu ini tak mudah untukmu, tapi tak bisakah kamu melupakan kebencianmu itu sebentar saja demi papa?” Tak ada jawaban Janna sudah terbuai ke alam mimpi tanpa mendengarkan kalimat terakhir Jeffry. Sedangkan Jeffry menghela nafas panjang sambil menatap wajah Janna dalam. Perempuan yang kemarin menikahinya tanpa cinta ini berwajah cantik dan menarik sehingga tak akan bosan jika dipandang. Sikapnya yang periang akan membuat semua orang disekitarnya ikut merasa bahagia. Jika tak ada Sarita, mungkin saja ia akan jatuh cinta pada Janna. Walau dulu perkenalan mereka sangat singkat Jeffry tahu bahwa Janna adalah orang yang menyenangkan. Jeffry bukanlah orang terbuka, ia cukup tertutup dan pengamat yang baik. Ia sangat serius dengan komitmen dan pekerjaan apapun yang tengah dilakukannya. Begitu pula dengan cinta. Sarita yang ia kenal dari kecil begitu memahami dirinya. Saat mereka semakin dewasa, mereka semakin dekat dan saling mengisi satu sama lain, bukan lagi seperti adik dan kakak tapi seperti layaknya perempuan dan laki-laki. Ia tahu bahwa kisah cinta mereka ditentang oleh sang ayah walaupun ia bisa menikahi Sarita dan memaksanya menikahi Janna. Tapi Jeffry sudah berkomitmen pada Sarita, ia akan berusaha akan terus bersama Sarita walau ia masih menikahi Janna. Selama setahun ini hidupnya merasa bahagia, karena mereka berada di negara orang yang tak tahu hubungan mereka. Sehingga mereka bisa seperti sepasang kekasih. Kini ia harus kembali karena sang ayah sakit keras dan meminta Jeffry untuk kembali dan mengurus perusahaan sang ayah bersama sepupunya. Tentu saja Jeffry mau, karena sebenarnya ia sangat rindu Indonesia dan merasa ingin menerapkan ilmu yang ia dapat diluar sana. Di sisi lain, Sarita merasa cemburu dan takut bahwa Jeffry akan tertarik pada Janna. “Percaya padaku Sarita, kita sudah bertahan sejauh ini, aku akan tetap bersamamu … hatiku milikmu selamanya…,” ucap Jeffry mencoba meyakinkan Sarita. “Tapi mas, sebagai perempuan aku memiliki firasat! Aku merasa takut kalau Janna akan mencoba menarik perhatianmu dan kamu jatuh ke dalam godaannya! Aku gak sanggup kalau kehilangan mas Jeffry lagi!” isak Sarita sambil menghapus air matanya yang bercucuran. “Berikan aku waktu Sarita, aku tak bisa menceraikan Janna karena aku tak ingin papa semakin sakit. Tapi aku akan membujuk Janna untuk memberikan ijin padaku untuk berpoligami. Aku akan tetap menikahimu! Maafkan aku karena kamu harus berbagi dengan Janna, tapi ini adalah solusi terbaik saat ini…,” “Aku ingin ikut denganmu pulang ke Indonesia!” “Kamu harus selesaikan studymu dulu, tinggal sedikit lagi Sarita … kamu sudah berjuang sejauh ini untuk mendapatkan gelar itu! Tugasmu adalah menyelesaikan sekolah dan segera kembali kepadaku. Aku akan berusaha agar kita bisa menikah secepatnya.” Jeffry menghela nafas panjang saat mengingat janjinya pada Sarita. Matanya kembali tertuju pada Janna yang tertidur. Kali ini ia akan berusaha untuk mendapatkan ijin dari Janna agar bisa menikahi Sarita. Jeffry tak ingin main belakang karena ia tak ingin mempertaruhkan nama baik Sarita yang telah berusaha mendapatkan banyak gelar saat ini. Di dalam hatinya ia berjanji akan mencoba adil dan berusaha bersikap lebih baik pada Janna. Sejak pertengkaran mereka di malam pertama pernikahan sebenarnya membuat Jeffry menyesal. Kehilangan ibu saat muda membuatnya berjanji ia tak ingin menyakiti hati perempuan termasuk hati Janna. “Aku harus berteman denganmu Janna, aku butuh izin untuk menikahi Sarita,” ucap Jeffry dalam hati sambil merapikan selimut Janna penuh tekad. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN