‘Tuan Satya! Tuan! Bangun, Tuan Satya!
Tolong …, tolong bebaskan saya! Saya lemah. Tolong …, tolong saya Tuan!’
Satya terperanjat dan membuka matanya. Apa yang barusan di dengarnya? Suara perempuan. Suara perempuan yang sama seperti suara perempuan di kamar mandi. Apa-apaan ini? Bukannya khayalannya sudah berakhir?
Satya mengucek-ngucek rambut berminyaknya. Pasti dia mulai gila. Semua ini gara-gara dia terus-terusan ditolak bekerja. Pasti dia sedang dalam tahap berhalusinasi sebelum akhirnya dia tidak bisa membedakan mana yang nyata, mana yang khayalan.
“Huaaa …, aku setresss!!!”
‘Kalau aku terus-menerus begini, aku bisa gila sebelum sempat pulang kampung. Sebaiknya aku pulang secepatnya. Tidak perlu menunggu sampai tiga hari. Aku bisa jual-jual barang yang cukup berharga. Yang penting punya ongkos buat pulang.’
Dia berkata dalam hati sambil membuka lemari pakaiannya dan mulai memilah mana pakaian yang bisa dijual ke tukang loak, mana pakaian yang akan dibawanya pulang. Setelah selesai pakaian dalam lemari dia sisihkan, Satya mulai membereskan pakaian di ember pakaian kotor. Pada saat dia membentangkan kemejanya, pena bulu berwarna pink terjatuh ke lantai. Satya memandangnya dan memungutnya.
‘Seandainya kamu perempuan, kamu pasti perempuan yang sangat cantik dan seksi.’
Satya memandangi tubuh pena dan mengusapnya berulang-ulang sambil tersenyum. Pena itu sedikit licin karena terkena sabun di kamar mandi tadi. Satya mengelapnya dengan ujung baju yang dia pakai.
BOOM!
Tiba-tiba asap pink menyelimuti pandangan Satya lalu menghilang cepat, secepat datangnya. Di hadapannya, lagi-lagi dia melihat perempuan di kamar mandi tadi. Dan lagi-lagi …, perempuan itu nggak pakai baju! Hobu sekali dia muncul nggak pakai baju, sih? Haduuhh, cobaan apa lagi ini?
“Ap-apa! Ka-kamu lagi? Se-setannn!”
Apa lagi namanya kalau bukan setan? Semacam jin yang keluar dari lampu Aladin. Tapi wanita ini nggak punya lampu atau botol. Jadi dia beneran setann!
Satya hendak lari keluar kamar, tapi tangannya tertahan oleh tangan perempuan itu.
“Kok setann bisa megang tangan aku, ya? Bukannya setann itu tembus pandang?” tanya Satya sambil melihat pergelangan tangannya yang dipegangi perempuan itu. Semoga saja tidak ada radiasi membahayakan yang terserap kulitnya.
“Kamu cantik. Seksi. Tadi aku memang sempat tertarik padamu. Tapi melihat kamu muncul tiba-tiba kayak gini, aku kapok. Aku nggak mau berhubungan sama setan perempuan, meskipun dia cantik. Dan seksi. Juga telanjangg.”
Satya berusaha mengalihkan pandangannya dari tubuh menawan perempuan itu. Dia tidak mau tergoda. Perempuan ini pasti makhluk jadi-jadian. Dan terlibat dengan makhluk jadi-jadian selalu berakhir tidak baik. Dia memang pengangguran dan miskin. Tapi dia tidak mau jadi korban keganasan setan perempuan yang menawarkan kekayaan.
“Tuan?” panggil perempuan itu, “saya lapar.” Dan perempuan itu jatuh pingsan di tubuh Satya.
Dengan takut-takut, Satya mengangkat tubuh perempuan yang pingsan itu. Membaringkannya di kasur dan menutupi tubuh polosnya. Apa katanya tadi? Lapar? Dan dia cuma punya sebungkus mi instan untuk makan malam. Tapi dia tidak bisa membiarkan perempuan di hadapannya mati.
“Setan makanannya apa? Dia bilang lapar, tapi masa setann doyan mi instan?” Lalu dia ingat beberapa n****+ yang pernah dia baca. Tentang setann yang menyamar jadi wanita cantik terus menghisap energi manusia sampai kering.
“Tapi tubuhnya hangat. Jadi dia bukan vampir. Leher aku aman,” kata Satya memegangi lehernya.
“Tuan,” panggil perempuan itu lirih. Rupanya sudah mulai sadar.
“Ya, sebentar. Aku akan buatkan kamu mi rebus. Cuma itu yang aku punya. Kamu salah pilih orang. Seharusnya kamu jadi setann di depan orang kaya, minta makan sama mereka. Bukan muncul di depan orang kere kayak aku.” Satya ngedumel sambil mencuci bekas makannya di kamar mandi. Menyalakan kompor listrik dan mulai memanaskan air.
“Jangan!” Suara lembut perempuan itu terdengar. Membuat Satya menghentikan aksinya merobek bungkusan mi instan.
“Dengar. Aku nggak tahu kamu itu apa. Tapi aku nggak bisa membiarkan seorang perempuan pingsan di kamarku karena lapar. Asal kamu tau saja, aku cuma punya sebungkus mi rebus untuk satu kali makan. Jadi jangan minta macam-macam kecuali kamu punya cukup uang untuk membeli makanan.”
“Saya tidak perlu makanan manusia,” katanya lirih.
“Kamu …, apa?!” Satya mulai ketakutan dan tanpa sadar memegangi lehernya. Tamatlah riwayatnya kali ini. Kalau mau keluar dan kabur, apa masih sempat?
“Kemarilah. Saya akan jelaskan.” Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Satya.
Entah karena terpukau oleh kecantikannya atau terhipnotis oleh suara lembutnya, Satya mematuhi perkataan perempuan itu dan berjalan mendekat ke sisi tempat tidur. Dia ingin balik badan dan kabur tapi kakinya berat.
“Duduklah. Dan bantu saya duduk,” pinta perempuan itu sambil tetap mengulurkan tangan pada Satya.
Dengan hati-hati Satya membantu perempuan lemah itu bangkit dari posisi tidurnya. Diletakkannya bantal di punggungnya sehingga perempuan itu bisa duduk dengan nyaman. Satya membenahi selimutnya yang tersingkap.
“Tuan …,” panggil perempuan itu lagi. “Saya lapar.”
Satya terdiam. Mulutnya mendadak kebas. Dia ingin teriak tapi nggak bisa, ingin protes apa lagi. Seolah ada lem yang melekatkan kedua baris giginya begitu rapat.
‘Aku nggak mau mati, tolong!’ Satya memejamkan mata dan mulai merapal doa-doa. Terbayang wajah kedua orang tuanya di kampung. ‘Maafkan anakmu ini Emak, Bapak.’
“Saya butuh makan,” bisik perempuan itu. Napasnya mengembusi cuping hidung Satya.
Inilah saatnya, saat-saat Satya akan berpisah dengan kehidupan dunianya. Napasnya berdebar begitu cepat dan doa-doa tak pernah kering dari kepalanya.
Lalu sensasi itu datang. Seperti disengat listrik, Satya merasakan tubuhnya menegang. Seluruh rambut halus di permukaan kulitnya berdiri. Dia terbuai dalam dunia warna-warni yang membawanya mengawang. Terbang. Melepas roh dari raga.
Bibir perempuan itu memagut bibirnya dengan buas. Mengecup setiap mili bibirnya dengan penuh sensasi. Menelusuri rongga mulutnya dengan lidah. Seolah bagi perempuan itu, bibir Satya adalah makanan terlezat yang pernah dia dapatkan.
Sekalipun tubuh Satya mengharap lebih, tapi dia tidak sanggup berkutik. Tubuhnya kaku, bahkan bibirnya juga kaku. Dia tak bisa membalas setiap kecupan yang diberikan perempuan itu padanya. Tapi rasanya, sensasinya, seolah bibir cantik itu telah mengecupi seluruh tubuhnya. Satya tak berani membuka mata. Membiarkan dirinya terbawa dalam dunia lain yang begitu ringan. Begitu bahagia. Menyedot habis semua kesedihan dan duka yang dia derita.
Persetan dengan semua wawancara kerja yang gagal. Masa bodoh dengan kontrakan yang menunggak. Peduli taik dengan esok tanpa makan. Yang terjadi saat ini biarlah terjadi. Kalau perlu dia tidak perlu kembali kepada alam nyata yang menyesakkan. Satya merasakan gairah dalam tubuhnya mulai membelah diri sedemikian cepat. Cepat. Cepat. Sangat cepat. Dadanya bergetar. Bahunya bergetar. Kepalanya bergetar. Getarannya menjalar ke ujung jari tangan. Merayap ke pangkal paha. Membuat seonggok daging mati di sana tiba-tiba hidup dan mengeras. Satya siap meluap. Sedikit lagi. Sedi—
“Cukup.”
Perempuan di hadapannya melepaskan bibirnya. Sensasi itu menghilang. Membuat Satya lemah dan pusing. Bintang-bintang mulai berkelip di kegelapan kepalanya. Dan dia pun terjatuh ke tempat tidur.
“Tidurlah, Tuan. Terima kasih sudah memberi Minami makan.”©