Kalau suruh memilih antara pulang ke rumah Bunda atau balik lagi ke Jakarta, mungkin aku akan lebih memilih untuk kembali ke Jakarta. Faktor utama yang membuatku ingin sekali pulang yaitu kehadiran Mas Hanif yang saat ini berada di sampingku. Kalian pasti tau rasanya bertemu mantan pacar atau bahkan mantan suami. Gelisah dan tak karuan itu sudah pasti.
Rasanya itu ingin teriak sekencang-kencangnya dan menghempaskan kegelisahan yang ada.
Sesampainya di rumah, aku sangat berharap sekali Bunda tak ada di rumah. Alasannya cuma satu, kalau sampai Bunda tidak ada di rumah, secara otomatis Mas Hanif akan langsung ke rumah Raina tanpa harus masuk atau menunggu ku. Dan betapa bahagia dan bersyukur nya aku saat tau ternyata Bunda tidak ada di tempat.
Tapi masalah hidupku tak selesai sampai di situ. Mas Hanif dengan santainya memilih tetap menunggu di depan rumah agar nantinya bisa pergi bersama-sama ke rumah Raina.
Sekali lagi aku menghela napas panjang. Dan itu justru membuatku semakin bingung harus berbuat apa. Satu sisi aku ingin sekali segera masuk ke dalam rumah untuk bersantai tanpa diburu-buru orang lain tentunya.
"Apa kata Bunda, Ca?" tanya Mas Hanif saat melihatku mengakhiri panggilannya dengan Bunda.
"Bunda baru saja ke rumah Rara, jadi tidak mungkin langsung balik lagi kesini, Mas," jawabku.
"Apa sebaiknya kita langsung ke rumah Rara aja yah, Mas. Biar Mas juga gak harus nunggu di sini." sambungku bingung harus berbuat apa.
"Emangnya kamu gak capek, Ca."
Aku pun menghela napas panjang dengan mimik wajah yang sedikit kelelahan.
"Capek, tapi mau gimana lagi, Mas. Tau sendiri ibu-ibu di sini kalo ngomong itu mulutnya pada pedas. Dulu aja pas Mas Hanif nikahi aku secara mendadak di sangka nikahi orang yang hamil duluan, kan?" Kataku yang membuat mas hanif diam.
Masih sangat jelas dalam bayangan ku. Bagaimana orang-orang komplek membicarakan pernikahan ku dan Mas Hanif yang terkesan mendadak itu. Saat itu aku menjadi bahan gosipan ibu-ibu dan mengatai kalau aku hamil di luar nikah.
Komplek perumahan Cemara, memang terbilang padat, sehingga setiap berita yang ada di tempat ini akan cepat sekali menyebar seperti bangkai.
Seperti halnya pernikahan ku dengan Mas Hanif. Pernikahan kami berdua memang terbilang mendadak. Entah apa yang mendorong Mas Hanif saat itu, sampai ingin menikahi diriku secara tiba-tiba.
Bahkan dirinya saja tidak memberi waktu untuk diriku mengenalnya lebih lama lagi. Jangankan mengenal dirinya luar dalam, memberiku waktu untuk berfikir saja rasanya tidak sempat.
Aku bingung harus menceritakan kisah ku dari mana dengan Mas Hanif. Karena memang aku dan dia awalnya hanya sekedar teman, tidak mempunyai status spesial sama sekali.
Empat belas februari lebih tepatnya. Saat itu aku masih merayakan ulang tahun yang ke dua puluh lima, dengan kekasihku di masa lalu. Lelaki yang teramat aku cinta dan sayangi. Dia lelaki yang bertahan selama kurang lebih enam tahun.
Bukan waktu singkat bisa mengenal lelaki selama itu. Dia lelaki yang baik, penyayang, humoris, dan bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Yah, aku jatuh cinta karena kebaikan dirinya. Di hari ulang tahun ku yang ke dua puluh lima dia membawakan ku seikat bunga mawar merah, kue ulang tahun, dan juga cincin bermata biru. Dia memang terbilang royal kepadaku. Dan itu aku buktikan selama bertahun-tahun.
Aku mengira cincin yang dia berikan itu untuk pengikat, atau melamar. Ternyata dugaanku salah, dia memberikannya memang sengaja untuk hadiah ulang tahun. Tak lebih.
Sesungguhnya ada hal yang aku inginkan lebih dari sekedar ucapan dan kado, yaitu keseriusan dirinya. Keseriusan akan cintanya untuk melangkah ke jenjang pernikahan.Sebelum ulang tahun ke dua lima. Dua tahun sebelumnya aku sering meminta dirinya untuk segera menikahi ku. Tapi dia selalu menyuruhku menunggu dan terus bersabar.
"Mas ..., aku mohon! datangi kedua orang tua ku. Buktikan sama mereka kalau Mas itu memang benar-benar sayang dan serius sama Caca," kataku memohon, dan entah kesekian kalinya berbicara seperti itu.
Nyatanya perkataanku membuat dia kembali terdiam seakan mencerna apa yang aku ucapkan.
Andai saja dia tau kalau ucapanku benar-benar serius ingin segera dinikahinya.
"Ca ..., kamu tau sendiri kalo Mas itu sayang banget sama Caca. Tapi aku masih butuh waktu, lagi. Gimana kalo kita nikah tahun depan. Setelah Mas wisuda S2?" Usulnya yang membuatku berdecak kesal.
Bagaimana tidak aku kesal dengan ucapannya, bukan satu, dua kali dia beralasan seperti itu. Sudah sering dia membuat alasan dengan kata yang sama. menunggu, dan terus menunggu.
Dia bilang kita nikah habis lulus S1, lanjut S2, lalu beli rumah. Terus saja dia membuat alasan yang tak masuk akal.
"Mas itu sudah sering bilang begitu, dari dua tahun lalu aja bilang begitu. Caca itu butuh kepastian, begitu juga dan Ayah sama Bunda," kataku yang membuat dia kembali terdiam.
"Mas. Bunda sama Ayah udah nungguin kamu datang ke rumah sama orang tua. Dan Rara juga marah-marah terus sama aku karena dia sama pacarnya mau cepat-cepat nikah."
Sepertinya amarahku yang sedikit meluap tetap saja tidak bisa merubah pikirannya untuk menikahi ku. Buktinya dia masih diam tanpa mau memberi keputusan.
"Cowok Rara itu ngajakin nikah akhir tahun ini, masa iya Caca harus dilangkahi sama mereka," kataku memelas dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Bukannya memberi jawaban dia malah berpamitan untuk pergi beralasan memiliki urusan lain, dan itu kesekian kalinya dia menghindari permintaanku untuk dinikahi.
Beberapa bulan kemudian, lebih tepatnya bulan April. Aku diperkenalkan kepada Mas Hanif oleh Raina dan Adit. Disitu awal aku mengenal dirinya.
banyak hal yang Mas Hanif tanyakan padaku di awal pertemuan kami, termasuk kisah percintaanku yang tak kunjung mendapatkan kepastian juga.
Rasanya enam tahun bukan waktu sebentar untuk saling mengenal satu sam lain, entah kemana tujuannya hubungan kami.
Beberapa bulan terakhir, semenjak kejadian di hari ulang tahun ku waktu itu, dia tidak pernah sekalipun untuk menghubungi atau mengabariku lebih dulu. Lebih tepatnya belum memiliki titik terang. Meski berkali-kali aku mencoba menghubungi dan mengirimi dia pesan, dia tak kunjung memberi balasan pasti untuk setiap pertanyaan dan pesan yang aku kirim.
Apa mungkin sikapnya yang seperti itu menunjukkan kalau dia akan meninggalkan ku, atau mungkin dia menyerah akan hubungan kami berdua.
Entahlah, aku bahkan tidak bisa menerka-nerka atau pun tau apa yang sebenarnya dia pikirkan.
Belum lagi hubungan ku dengan Ayah dan Bunda semakin hari semakin hambar dan merenggang. Bukan tanpa alasan Ayah dan Bunda bersikap dingin terhadapku. Itu semua karena aku tidak menuruti kemauan mereka untuk segera menikah. Padahal saat itu beberapa lelaki datang ke rumah untuk mengajakku menikah, dan aku selalu menolaknya.
Mungkin saat itu aku bisa dibilang anak paling durhaka, anak yang selalu membantah kemauan orang tuanya.
Sampailah pada titik di mana Ayah sakit parah, permintaannya hanya satu, yaitu melihatku segera menikah. Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hatiku terasa hancur dan tersudut saat itu. Rasanya otakku saja berhenti bekerja karena merasa buntu.
Bahkan saat itu aku tidak punya pelarian untuk menumpahkan kekesalan dalam hatiku. Sampai-sampai aku menyetir tanpa arah tujuan yang pasti.
Tanpa disadari mobil yang kukendarai mengarah ke suatu danau. Di mana tempat itu pernah aku kunjungi bersama kekasih ku.
Cukup lama aku hanya berdiam diri di dalam mobil tanpa mau keluar. Saat itu kucoba sandarkan kepalaku di stir mobil dengan tangan menyilang di bawahnya. Selang beberapa menit tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan suara ketukan kaca mobil.
"MAS HANIF!"
betapa terkejut dan tak percaya nya aku saat melihat sosok Mas Hanif lah yang berada di balik kaca. Aku pun segera membuka kaca mobil tersebut dan menanyakan keberadaan dirinya yang secara tiba-tiba ada di hadapanku.
Mas Hanif menyuruhku ke luar dan mengajakku menikmati pemandangan di sekeliling danau. Bahkan dirinya mengajakku menaiki sampan yang sejak dulu ingin sekali aku naiki bersama kekasih ku. Tapi dirinya tak pernah sekalipun mau menaikinya.
Di danau inilah momen kedekatan ku bersama Mas Hanif terjalin. Bahkan aku juga tidak ragu menceritakan masalah yang terjadi pada ku dan keluarga.Mas Hanif mencoba menghiburku, menikmati sejuknya pemandangan dan melepaskan semua beban yang ada.
Keesokan harinya sampailah pada saat di mana Mas Hanif yang secara tiba-tiba datang ke rumah untuk menghadap kedua orang tuaku.
Awalnya aku tidak mengerti atas kedatangannya yang secara mendadak itu, tentunya tujuan kedatangan Mas Hanif kali ini tanpa aku ketahui sama sekali sebelumnya. Yang aku pikir kedatangan Mas Hanif hanya untuk menjenguk Ayah, ternyata dugaan ku salah, melainkan kedatangannya kali ini mempunyai maksud berbeda, yaitu melamar diriku untuk menjadikannya seorang istri.
"Ya udah kalo gitu biar mas langsung ke rumah Rara aja. Biar kamu bisa mandi dan istirahat," usul Mas Hanif sembari tersenyum.
"Gak enak lah, Mas. Gimana kalo mas Hanif tunggu disini dulu, biar Caca ambilkan Mas minuman?" kataku mencoba basa basi.
Ku pikir Mas Hanif akan menolak, nyatanya dia menyetujui ucapan ku untuk tetap menunggu. Untung saja depan rumah bunda tersedia tempat duduk, jadi aku tidak harus bersusah payah mengajak Mas Hanif masuk ke dalam rumah.
Setelah membuatkan Kopi untuk Mas Hanif aku pun kembali masuk dalam rumah dan bergegas mandi lalu bersiap-siap pergi ke rumah Rara dan Adit.