AKU, DIA, DAN KENANGAN
Entah kenapa rasanya ingin sekali pulang ke bandung menaiki kereta api. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu mengendarai mobil sendirian, tentunya tanpa orang yang menemani. Tapi, ada bagusnya juga pulang menaiki kereta api. Setidaknya kepulangan ku kali ini bisa sedikit bersantai, atau tiduran sampai ke tempat tujuan.
Aku pun mencoba menyandarkan tubuh dan menutup mata. Belum lama mata terpejam, tiba-tiba saja terdengar suara tangisan bayi begitu jelas dari arah samping, tempat di mana aku duduk saat ini. Dan jujur itu membuat ku tidak bisa tidur sama sekali.
Saat itu juga, akhirnya aku memilih untuk membuka i********: yang sudah lama tidak aku buka. Betapa terkejutnya aku saat melihat status berandaku di penuhi dengan foto prewedding seseorang yang sangat tak asing buatku. Seorang lelaki yang pernah singgah lama dalam hidupku.
Entah harus bahagia atau menangis saat ini, yang jelas foto itu mampu membuat mataku berkaca-kaca. Semakin lama aku melihat semakin butiran bening itu tak terbendung dan malah ke luar begitu saja.
Aku bahagia, jika kamu bahagia. Dengan melihat kamu bahagia seperti sekarang ini, nyatanya itu mampu membuatku tersenyum, meski kebenarannya hati ku terasa di iris pisau tajam.
"Semoga kamu bahagia dengan wanitamu sekarang. Melihatmu akan menikah, setidaknya aku bisa sedikit bernapas lega karena hidupmu kini sudah bahagia. Tidak seperti ku, " aku yang saat itu masih menatap beberapa foto kebersamaan mereka berdua.
Aku yang menyadari butiran bening itu jatuh membasahi layar ponsel, akhirnya langsung menyeka kasar air mata ku dengan tangan. Namun tiba-tiba saja sebuah sapu tangan di sodorkan tepat di hadapan wajahku yang masih berkaca-kaca. "Ini," suara seorang laki-laki yang saat ini duduk di sampingku.
"Terimakasih," jawabku mengambil sapu tangan tersebut tanpa mau menoleh ke arahnya.
"Dasar cengeng! Kenapa kamu bisa nangis di tempat seperti ini sih, Ca. Malu-maluin aja." Batinku menggerutu.
Mungkin saat ini aku jadi pusat tontonan orang-orang, karena menangis di tempat umum. Tidak tau malu rasanya, tapi mau bagaimana lagi, memangnya aku tau kalo bakalan menangis di tempat umum seperti ini. Kalau bukan karena aku lihat foto-foto mesra dia, tidak akan aku menangis seperti ini.
Sudah hampir tiga tahun lebih aku lost kontak dengannya, mungkin itu semua karena dia merasakan benci yang teramat besar sampai-sampai memutuskan tali silaturahmi dan tidak ingin mengenalku lagi.
Aku memang salah saat itu, tapi semua itu bukan sepenuhnya kesalahan ku, ada banyak sekali alasan di balik peristiwa yang terbilang mendadak itu. Sampai-sampai aku meninggalkannya begitu saja. Tapi harus dia tau, sebelum aku meninggalkannya, dia yang lebih dulu meninggalkan ku.
"Ini," kataku menyodorkan kembali sapu tangan bekas tadi aku pakai. "Terimakasih." sambungku saat orang tersebut mengambilnya, itu pun tanpa mau menoleh ke arahnya dan lebih menenggelamkan wajahku karena malu.
Aku tidak peduli dengan siapa yang memberikan sapu tangan itu. Yang aku peduli saat ini, bagaimana caranya aku bisa menghentikan air mata yang sempat menetes membasahi pipiku sedari tadi.
"Maaf karena sapu tangannya kotor."
Dia mendeham singkat. "Kalau mau nangis, nangis aja, gak usah ditahan." suara lelaki yang membuatku langsung terdiam, dan lalu menoleh ke arah pemilik suara tersebut. Betapa terkejutnya aku saat tau kalo suara tersebut berasal dari mantan suamiku.
Hanif Alditama, lelaki yang pernah jadi bagian dalam hidupku selama kurang lebih satu tahun. Lelaki yang melepaskan kebahagiaannya demi melihatku bahagia. Lelaki yang selalu ingin membuatku tersenyum padahal hatinya teriris sakit. Karena dia tau kalo kebahagian ku bukan terletak dalam dirinya.
"Mas, kamu kok bisa ada di sini?" tanyaku heran dengan raut wajah yang tidak karuan karena terkejut.
Bagaimana bisa dia berada dalam satu kereta dengan tujuan yang sama, karena aku tau betul kalo Hanif bukan orang Bandung. Melainkan orang Yogyakarta, jadi untuk apa dia di sini kalau tidak ada urusan penting.
"Aneh yah. Apa kabarnya kamu, Ca?" kata Hanif tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaanku.
Memang seharusnya orang yang baru bertemu itu saling sapa kabar, tidak seperti aku yang main asal tanya.
"Kabarku baik, Mas," jawabku sembari tersenyum tipis.
Dia mengangguk singkat dan membalas senyumanku.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas."
"Yang mana, Ca?"
"Kenapa bisa kamu ada di sini?"
"Kamu lupa yah, suami adik kamu itu sepupu aku, dan yang ngenalin kita dulu yah mereka. Jadi kedatangan mas ke bandung pengen liat anak Rara sama Adit," katanya yang membuatku tersadar.
Hampir saja aku lupa kalo dulu yang memperkenalkan ku dan Mas Hanif itu Adit dan Rara. Jadi Mas Hanif dan Adit itu sepupuan, bedanya kalo Adit sudah menetap di bandung sama keluarganya sejak lama.
Sedangkan Mas Hanif keluarganya masih di Jogja, meski sesekali dia berkunjung ke Bandung, untuk bersilaturahmi atau urusan pekerjaan. Lebih tepatnya mengunjungi keluarga besar Adit.
Empat tahun lalu lebih tepatnya, di mana aku dan Mas Hanif diperkenalkan langsung oleh Rara dan Adit. Itu juga atas ke permintaan Mas Hanif yang ingin sekali mengenal ku. Padahal jelas-jelas Mas Hanif tau kalo aku sudah punya kekasih saat itu.
Bukan tanpa alasan Mas Hanif ingin berkenalan denganku, melainkan Mas Hanif sering melihatku ada di media sosial milik Rara, karena memang Rara sering sekali mengupload foto kebersamaan kami sekeluarga. Di situ juga Mas Hanif penasaran dengan sosok diriku yang ada di foto, semakin lama semakin besar juga rasa penasaran dirinya. Pada akhirnya Mas Hanif meminta Adit mengenalkan dirinya padaku, karena memang saat itu Adit dan Rara sudah berpacaran.
Awalnya Mas Hanif hanya memintaku untuk jadi teman baiknya, karena setahuku dirinya tidak punya teman di bandung selain Adit. Dan aku pun mengiyakan ajakan Mas Hanif, karena memang hanya sebatas teman, tidak lebih.
Semakin lama aku mengenal Mas Hanif semakin sering juga kita bertukar pikiran atau sekedar berbagi pengalaman. Bagiku Mas Hanif enak untuk dijadikan teman yang baik, tapi beda dengan dirinya yang ternyata mempunyai perasaan khusus untuk ku.
"Oh iya, Ca. Mas sekarang tinggal di Cibubur. Soalnya Mas di pindah tugaskan di daerah sana," kata Mas Hanif ramah.
"Oh, yah. Berarti jauh dari keluarga, Mas dong!" Aku yang bingung harus bicara apa. Sedangkan Mas Hanif hanya mengangguk singkat sambil tersenyum. "Semoga betah yah, Mas." sambungku.
"Iya, Ca. Makasih. Kamu sendiri kerja di mana sekarang?"
"Di Jakarta, Mas," jawabku singkat.
Jujur saja pertemuan ini membuatku sedikit kikuk dan malu, karena mungkin sudah lama juga kami berdua tidak pernah bertemu dan saling sapa.
Mengingat sejak aku dan Mas Hanif sudah berpisah dirinya lebih memilih mengganti nomor telepon.
"Ca. Apa kamu punya masalah," kata Mas Hanif dengan ramahnya.
Aku terdiam tanpa mau menjawab pertanyaan Mas Hanif. Aku baru sadar, kalau mungkin sedari tadi
Mas Hanif memperhatikan ku yang sedang menangis, makannya dia bertanya seperti itu.
Apa dia benar-benar tidak memperhatikan apa yang tadi sedang aku lihat di layar ponsel? Syukurlah kalau dia tidak tau alasan aku menangis. Kalau dia tau aku menangis karena apa, bisa-bisa tengsin banget.
"Mas, ngomong-ngomong kabarnya Ibu sama Bapak di Jogja?" tanyaku yang mencoba mengalihkan pertanyaan Mas Hanif.
"Kamu itu kebiasaan banget sih, Ca. Masih belum berubah, dan Selalu mengalihkan pembicaraan dan menutupi masalah. Mau sampai kapan pendam semua masalah sendirian! Hmm?"
Perkataan Mas Hanif memang benar, aku bukan tipe orang yang selalu mengumbar setiap masalah ku pada semua orang, sekalipun dia saudara atau teman. Aku lebih memilih memendam masalah sendirian.
Menyembunyikannya adalah pilihanku. Entah sampai kapan aku bisa menyembunyikan setiap kesedihan. Tapi aku yakin suatu saat Tuhan akan mengirim lelaki yang membuatku jatuh hati, dan sebaliknya.
Tidak terasa kereta yang kami tumpangi sudah berhenti di stasiun tujuan kami. Aku dan Mas Hanif segera bersiap-siap untuk bergegas turun.