Namanya Sita.
Aku pertama kali melihatnya tepat satu hari setelah resepsi pernikahan sepupu kesayanganku, enam tahun lalu. Hmm ... apa efek dari dapetin buket bunga yang dilempar Nana pada waktu itu ya? Entahlah, tapi menurutku, Sita hadir sebagai tanda dari alam semesta untuk aku dapatkan cintanya.
Bagiku, cinta pada pandangan pertama itu hanyalah dusta. Tapi sekarang, dengan bodohnya aku mengakui hal itu benar adanya. Ya, karena aku mengalaminya sendiri. Masih teringat jelas enam tahun lalu ketika melihat Sita berjalan masuk ke butikku yang baru buka di daerah Soekarno Hatta. Rambut hitam yang dikuncir kuda, binar mata yang ceria namun tajam yang mampu membiusku saat itu juga. Aku masih mengingat sedetail itu semua tentang Sita.
Saat itu Sita datang untuk mencari salah satu teman dekatku, Shila namanya. Yang ternyata dia ini adalah kakak kandung Shila. Aku baru tahu jika Shila punya kakak secantik Sita ini. Nama mereka pun serupa, beda dikit lah. Sita dengan nama panjang Anarasita Mahesa Putri. Sedangkan Shila, nama lengkapnya Arshila Mahira Putri. Untuk wajah, hmm ... sebenarnya tak heran jika pada awal pertemuan aku sempat ragu jika mereka adalah saudara kandung. Sita itu meski lebih dewasa lima tahun di atas Shila, wajahnya imut banget, nggak bosenin meski dilihat berjam-jam. Sedangkan Shila, ekspresinya lebih menunjukkan jika ia tipe orang yang cenderung kaku. Makanya aku sempat tak percaya jika usia mereka terpaut lima tahun, karena mereka terlihat seumuran.
"Shila masih di dalam butik?" tanya Sita saat itu di pertemuan pertama kami.
"Kamu siapanya Shila?" tanyaku balik menyelidik, pun tatapanku tak beralih dari sepasang manik kecoklatan yang sedari tadi menyita perhatian.
"Bilangin Shila, ditunggu kakaknya."
"Kakak?" aku menautkan kedua alis karena ragu.
"Iya, buruan panggil. Urgent!!" aku hanya tersenyum miring karena belum sepenuhnya percaya.
Ketika aku naik ke lantai dua dan memanggil Shila dan memberitahunya, barulah aku percaya. Shila langsung turun dengan langkah tergesa. Begitu sampai di depan butik aku melihat mereka berdua berpelukan erat seperti lama tak bersua.
"Ical, aku cabut ya, sorry gak bisa bantuin sampe sore," pamit Shila.
"It's okay, Shil," ucapku. "Eh, Shil, itu beneran kakakmu? Kok baru tau sih."
"Kamu sendiri juga nggak pernah tanya sih," jawabnya enteng.
"Nggak pernah lihat soalnya," seruku lagi.
"Mbak Sita emang nggak di Malang, makanya jarang ketemu," jawab Shila masih sibuk memasukkan laptop ke dalam tas.
"Tinggal bareng mama kalian?"
"Yaa gitu deh."
Entah kenapa ekspresi Shila terlihat tak suka dengan segala pertanyaanku tentang kakaknya. Shila dulu sempat bercerita jika orang tua mereka berpisah saat Shila masih kecil. Shila dan Syauki, adik laki-lakinya tinggal dengan papa mereka, sedangkan sang mama tinggal di Jogjakarta.
"Hmm ... aku berangkat ke Jogjakarta, Cal. Mama sakit, Mbak Sita yang kebetulan lagi ada pelatihan di Surabaya sekalian jemput aku," ucap Shila lagi. Aku hanya mengangguk saat melihatnya terburu-buru memakai jaket.
Aku mengantar Shila hingga parkiran depan butik. Sita hanya mengangguk sopan saat aku malah bersemangat mengulurkan tangan untuk bersalaman. Ckk, malu-maluin nggak sih. Dia malah berpesan padaku sebelum membonceng adiknya dengan motor matic yang Shila pakai tadi.
"Nama kamu Ical kan?" tanyanya dengan telunjuk yang mengarah padaku.
"I-iya Sit, eh Mbak Sita—" Mendadak aku menjadi gagu meski hanya diajak bicara basa-basi seperti ini.
"Kalo bisa jangan sering-sering ajak Shila nongkrong di butik kamu yah, biar dia fokus sama kuliahnya. Nanggung kurang sebentar lagi," ucapnya disertai lirikan tajam.
"Hah? Hei... aku gak pernah ngaj—"
"Bye, Assalamu'alaikum.."
Heii ... aku belum sempat menjawab malah ditinggal sih. Lagian ya, aku nggak pernah ngajak Shila buat ikut sibuk di butik kan? Dia sendiri yang ngikut aku kemana-mana, bahkan tak jarang ia tiba-tiba muncul di butik saat jam kuliah kosong. Jadi bukan salahku kan kalau dia sering nongkrong di sini, udah sering aku usir loh.
Selang tiga hari sejak kepergian Shila dan Sita ke Jogjakarta. Shila mengabariku bahwa ibunya meninggal karena kanker darah. Sebagai sahabat terdekat tentu saja aku langsung berangkat ke Jogjakarta hari itu juga. Pulang kuliah aku langsung menuju bandara, dalam perjalanan aku sudah memesan tiket penerbangan ke Jogjakarta melalui aplikasi online. Mama aku kabari via telepon hanya mengiyakan, karena beliau tahu aku bersahabat baik dengan Shila.
Menjelang maghrib aku sampai di Jogjakarta. Ternyata sudah ada Lisa dan Bram juga di sana. Mereka berdua termasuk teman dekat kami di kampus.
"Hai," kataku membuat Lisa dan Bram menoleh bersamaan, tapi tidak dengan Shila yang masih tergugu diapit mereka berdua.
"Shil..."
Akhirnya mata kami bertemu. Masih bisa kulihat gurat kesediaan di dalam sana. Aku mendekat untuk duduk bersebelahan dengannya, memaksa Bram agar bergeser demi memberiku ruang di samping Shila. Sengaja kuhentakkan tubuh Shila dalam dekapanku. Erat, sangat erat. Membuatnya semakin menangis terisak.
Aku pernah mengalami fase terberat seperti ini. Kehilangan sosok ibu saat usiaku masih labil, sekitar empat belas tahun. Ibuku meninggal karena kanker payudarà yang dideritanya hampir tiga tahun. Aku benar-benar terpuruk saat itu, marah sekaligus sedih dalam waktu yang bersamaan.
Jangan ditanya bagaimana hancurnya hatiku saat itu. Mungkin karena pernah mengalami perasaan yang sama, sedikit banyak aku bisa memahami kondisi Shila yang hanya bisa terisak di dadaku. Gadis itu pasti sedang berada di titik kesedihan yang paling dalam.
"Harusnya.. harusnya aku.." katanya terbata-bata.
"Sstt ... jangan bicara dulu. Nanti saja ceritanya," potongku cepat, tanganku dan tangan Lisa masih setia mengusap punggungnya yang berguncang karena tangis.
"Makasih udah dateng, Cal." Tangan Shila menggenggam tanganku erat. Tangisnya sudah reda setelah sempat tertidur beberapa menit dalam rangkulanku tadi.
"Hmm... "
"Tadi nggak nyasar?" tanyanya lagi.
"Nggak, Bram udah share lokasi."
"Makan dulu gih, ambil ke dapur sendiri ya," ucap Shila seraya mengendikkan dagu ke arah pintu di belakangku.
"Okay, kamu?"
"Aku udah makan tadi." Mendengar jawabannya membuatku beranjak ke arah dapur. Rumah keluarga Shila di Jogjakarta ini masih kental dengan nuansa etnik Jawa, desain joglo dan banyak kayu-kayuan yang ditata sangat apik di sana sini.
Belum sampai meja makan, aku sempat berbincang sebentar dengan Papa Rio, papanya Shila untuk mengucap bela sungkawa.
"Makasih udah datang ya, silakan makan dulu, Om ke depan sebentar menemui tamu," pamit beliau lalu berjalan ke arah teras.
Setelah menikmati santap malam sendirian, karena Shila masih di ruang tengah dengan Lisa dan Bram, juga beberapa sepupunya kurasa. Aku berjalan ke halaman samping rumah, sekedar menghirup udara Jogja yang sedang dingin karena musim hujan.
Hingga telingaku menangkap suara tangis lirih seorang gadis yang duduk seorang diri di bangku taman dekat kolam ikan. Sita. Aku mengenalinya karena bajunya masih sama seperti tadi sore saat aku baru tiba. Dress hitam bermotif bintang sepanjang lutut, dilengkapi dengan pashmina hitam polos yang melingkar di lehernya.
"Hei, kenapa harus nangis sendirian?" tanyaku yang ternyata cukup mengagetkan gadis itu.
Dia menoleh sekilas, bisa kulihat jelas matanya merah dan sembab karena jejak air mata. Tangan kurusnya sibuk menghalau tangis yang membanjiri pipi putihnya.
"Kalau mau nangis nggak apa-apa, luapin aja biar lega," kataku pelan. Tanpa permisi aku langsung duduk di sebelahnya, sangat dekat. Sengaja memang.
"Need hug?" lirihku dengan merentangkan kedua tangan. Namun dia menggeleng pelan.
"Kita nggak kenal, kan?" jawab Sita di sela-sela tangis.
"Harus kenalan dulu ya biar bisa bantu kurangin kesedihan kamu?"
"Eh.. tapi kamu udah tau namaku kan? Masa lupa sih?" aku pasang mode cerewet untuk menarik perhatiannya.
"Kamu .. kamu? aku Mbaknya Shila. Usia kamu mungkin sama kayak Shila kan? yang sopan panggilnya," jawab Sita agak panjang membuatku sedikit lega.
"Iya deh, Mbak Sita," cibirku semakin bergeser mendekat padanya.
"Ckk.. ngapain sih geser-geser. Sana jauhan." Sita menggerakkan tangannya seolah mengusirku.
"Kan tadi aku tawarin, Mbak. Need hug?" ulangku lagi sambil merentangkan kedua tangan.
"Eng... Eng- enggak," sahutnya putus-putus.
Aku tahu Sita saat itu hanya gengsi. Padahal terlihat sekali ia sedang butuh pelukan untuk menenangkan hatinya, mengurangi kesedihannya.
"Yakin?" godaku sambil mendekatkan wajah di depannya.
"Ya.. ya.. ya- yakin kok," jawab Sita, namun sedetik kemudian tangisnya pecah lagi, hingga kedua telapak tangan menutup wajahnya.
Entah keberanian dari mana, tanpa bertanya aku menarik tubuhnya dalam pelukanku. Sita sempat berontak, namun tak kuasa melawan kekuatanku. Meski banyak yang bilang aku pria kalem dan lemah lembut. Gini-gini aku tetaplah seorang pria.
Tadi aku memeluk Shila untuk menenangkannya. Dan sekarang, aku memeluk kakaknya, Sita, dengan tujuan yang sama, meski harus memaksa. Tapi kenapa jadi beda gini? Saat dengan Shila jantungku berdegup biasa-biasa saja, sama seperti ketika aku memeluk Nana, sepupuku.
Tapi ini … saat mendekap Sita. Kenapa jantungku mendadak ribut tak tahu malu? Aku sampai khawatir jika Sita bisa mendengar detak jantungku yang menggila saat dekat dengannya. Malu kan, duuh...