11 Firasat

1545 Kata
Ternyata Sita jadi berangkat Jogjakarta empat hari setelah kami bertemu. Aku yang memaksa ikut ke Jogjakarta untuk sekedar menemaninya, mendadak ciut saat dia mengancam akan kembali merajuk dan melanjutkan aksi tutup mulutnya seperti kemarin. Nggak.. nggak.. nggak boleh, susah payah aku merayu Sita dari pagi siang malam agar gadis itu memaafkanku, mana mungkin kubuat ia kembali diam dan abai. "Aku cuma tiga hari kok, Ical. Sehari ngurusin kerjaan, sehari ngurus berkas resign, terus hari terakhir mau ke makam Mama. Sabtu siang udah ada di Malang lagi kok, kan Minggunya mau dampingi anak-anak test naik tingkat. Kamu kenapa rewel banget deh?" keluh Sita sebelum ku antar ke masuk ke dalam kereta pagi tadi. Aku tak langsung menjawab rentetan kalimat dari Sita, karena lebih fokus pada wajah mungil gadis itu yang terlihat semakin lebih muda dari usianya dengan model poni pendek yang baru. Sama sekali tak terlihat seperti perempuan berusia dua puluh sembilan tahun, justru terlihat seperti remaja yang baru lulus dari SMA. "Takut aja Ta." "Takut apaan sih? Kayak anak kecil aja takut ditinggal." gelak tawa Sita pecah saat tanganku meraih dan menggenggam jemari kurusnya. "Takut kangen." cicitku bak anak kecil ditinggal ibunya hendak pergi jauh. "Heleeeh ... mulai lagi kan?" gadis cantikku itu memutar bola matanya jengah. “Aku serius Sita. Perasaanku gak enak aja ngelepas kamu gini.” Sita terkekeh kecil sampai menunduk. “Ganti profesi jadi cenayang ya pak.” ledeknya tak percaya. Padahal aku memang merasakan sesuatu yang tak nyaman loh sejak tadi pagi, kayak gak rela gitu Sita kembali ke Jogjakarta meski hanya beberapa hari. Bukannya mau percaya dengan hal-hal yang gak pasti, tapi instingku ini beberapa kali sempat terbukti terjadi loh. Saat bunda hendak pergi untuk selamanya belasan tahun silam, aku mengalami perasaan tak nyaman ini. Saat terjadi kekacauan sehari sebelum pernikahan Aruna yang gagal aku juga merasakan hal yang sama. Dan terbukti, malam itu Pakde Hilman harus dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. “Nggak gitu Sita Tata Tayang,” ucapku melontarkan julukan baru untuk Sita. “Tapi aku memang sering ngalamin perasaan janggal seperti ini dan ternyata beneran terjadi hal yang nggak enggak diinginkan.” “Lebay ah … positif thinking aja bisa kan? Kita adalah apa yang kita pikirkan, jadi ya gak usah pikirin yang aneh-aneh biar gak kejadian beneran. Okay?” ucap Sita bijak dengan sepasang mata kecokelatan yang sengaja berkedip beberapa kali. “Bijak banget deh bu Sita idolaku.” godaku membuatnya menghentakkan tangan melepas genggamanku. Dan pembicaraan ringan kami berlangsung sampai kereta yang akan membawa Sita ke Jogjakarta datang. Aku sempat protes padanya, kenapa malah memilih jalur darat daripada lewat kalur udara yang lebih cepat. Namun setelah mendengar alasannya yang takut jika melakukan penerbangan seorang diri, akhirnya aku mencoba mengerti juga. Ckk.. salah sendiri sih gak mau aku temenin. Rutukku jengkel tiap kali mengingat penolakannya saat aku bernita menemani selama di Jogja. “Ta..” panggilku pelan membuat wajahnya mendongak karena perbedaan tinggi badan kami yang kentara. “Selama tiga hari di Jogjakarta nanti, tolong pikirkan lagi perasaanku ya. Perasaanku ke kamu benar-benar tulus dan serius Sita. Jadi … tolong pertimbangkan.” Sita hanya menatapku tanpa putus meski kedua tangannya tengah sibuk memakai jaket. Kurasa gadis cantik itu tau kalau aku sedang tak bercanda kali ini. Sudah berkali-kali aku menyatakan perasaanku sejak mengenalnya hampir delapan bulan ini, masa gak peka juga sih. Jadi wajarkan kalau akhirnya aku butuh jawaban. Bukan bermaksud menekan atau memaksa Sita kok. Aku hanya butuh kepastian saja, agar tak terlalu lama terombang-ambing dalam perasaan menyiksa ini. Sita tak langsung menjawab pertanyaanku, tapi setidaknya aku tau kalau ia menangkap pesan tersirat dari kalimat terakhirku barusan. “Aku usahakan.” jawab Sita sangat singkat. Tunggu … tunggu respon macam apa itu? “Sabtu siang aku jemput di sini. Aku tunggu juga jawabannya.” ucapku lantas mengecup ringan pelipis Sita sebelum akhirnya ia mendelik dan menghilang di pintu kereta api yang mulai penuh dengan penumpang. Jam digital di pergelangan tanganku sudah menunjukkan angka satu. Biasanya jam-jam seperti ini butik utama di Soekarno Hatta sedang ramai-ramainya, dan aku ikut repot mengurus bagianku. Tapi biarlah, ada pegawai yang lain yang bisa membantu menangani di sana. Jadi aku memutuskan menunggu sampai kereta api Malioboro Ekspress yang membawa Sita pergi benar-benar berangkat dan menghilang dari pandangan dulu. Aku sempat melihat Sita melambaikan tangan dari balik jendela kaca di samping tempat duduknya, tampak ceria sekali wajah cantik itu siang ini.Raut wajah yang kusimpan baik-baik dalam benakku untuk menyemangatiku selama tiga hari ke depan. ▪▪▪ Ini sudah hari Sabtu, tapi sejak semalam ponsel Sita tidak bisa dihubungi sama sekali. Aku mencoba saran Sita untuk tetap berpikir positif saja, dari pada frustasi sendiri menunggu kabar kabar dari gadis itu. Anggap saja Sita sedang menguji kesabaranku, atau bisa jadi dia sedang menyiapkan kejutan special buatku kan, jadi dia sengaja mematikan ponselnya. Oke, anggap saja seperti itu. Tapi tidak bisa, ini sudah lewat dari jam satu siang, kereta yang seharusnya membawa Sita dari Jogja ke Malang, baru saja tiba. Dan tak tampak Sita turun dari gerbong manapun. Padahal aku yakin tak melewatkan satu orang pun dari kereta api eksekutif ini. Sangat yakin, bahkan aku sampai bertanya pada petugas di dalam kereta, memastikan bahwa tidak ada lagi penumpang di dalamnya. Sampai dua kali aku mondar mandir bertanya, sosok Sita belum juga ku temukan. Ckk ... kemana gadisku ini? Menunggu di salah satu sudut ruang di stasiun, aku memutuskan menghubungi Syauki, si bungsu kesayangan keluarga papa Rio. "Mbak Sita ada kasih kabar Ki?" semburku sampai lupa mengucap salam. "Belum, kenapa mas?" "Ini mas lagi di stasiun mau jemput Sita, tapi mbakmu malah gak muncul. Kali aja kasih kabar ke kamu, gak jadi naik kereta atau gimana? Ponselnya gak aktif." sambungku lagi sedikit cemas. Bahkan tanpa sadar kakiku bergerak tak beraturan untuk menutupi rasa gugup yang mendadak merambat naik. "Paling juga repot mas, atau lupa ngecas. Atau nambah nginep sehari lagi di rumah Mama. Lebay banget deh." cibir Syauki tak ada sungkan-sungkannya sama sekali. "Ckk.. bukan lebay, tapi emang kami udah janjian hari ini." decakku sambil menatap langit yang siang ini agak mendung. Sebelas dua belas lah dengan hatiku yang ikut mendung karena kealpaan Sita. "Mbak Sita itu udah gede mas, kalau ada apa-apa pasti kasih kabar kok." jawab Syauki yang memang ada benarnya juga sih. "Ya wes lah, tak telpoy Shila aja. Kali aja dia lebih tau dari kamu. Assalamualaikum." pamitku lantas menutup panggilan bahkan sebelum mendengar balasan salam dari calon adik iparku itu. Aku memejamkan mata sejenak demi meluruhkan gelisahku akan keberadaan Sita. Beberapa hari ini sudah dibuat tak sabar dengan keputusan yang akan Sita ambil terkait pengakuanku. Setelah sedikit tenang aku kembali menekuni layar ponsel dan mencari nomor Shila, sahabat sekaligus adik kedua Sita. "Assalamualaikum Shil." "Wa'alaikumsalam Icaaaaal..." pekiknya terdengar ceria dari ujung sana. "Lagi dimana?" tanyaku berbasa-basi. Aku bangkit berdiri menjauhi tempat dudukku tadi karena ada rombongan remaja yang baru masuk area ruang tunggu. Dari penampilannya saja sudah bisa aku tebak kalau mereka akan berwisata jarak jauh. "Di Surabaya lah, emang mau dimana lagi?" jawab Shila santai. "Hmm ... Shil, ada kabar dari Sita nggak?" tembakku tak sabaran. "Sita? Mbak Sita kan maksudnya?" ulang Shila memastikan. Aku mengambil napas dalam-dalam, ya kali si Shila ini sampai lupa kalau Sita yang kami kenal adalah Sita yang sama. “Iya Shila, Sita mbakmu satu-satunya. Anarasita.” “Kenapa mbak Sita?” Laah… ngapa dia balik bertanya sih? Sabar Ical sabar, orang sabar jodohnya lancar. Batinku menenangkan diri. “Aku gak bisa hubungi Sita sejak semalam. Padahal kami janji bertemu di stasiun hari ini, sepulang dia dari Jogjakarta. Makanya sekarang aku tanya kamu Shila, kali aja kamu tau.” jawabku dengan nada setenang mungkin. “Ooh.. mbak Sita ke Jogja, pantesan kemaren siang dia telpon aku nanyain minta dibawain oleh-oleh apaan.” sahut Shila masih jauh dari inti pertanyaanku. “Jadi? ada kabar lagi dari Sita setelah kemaren siang itu? harusnya siang ini udah nyampe Malang loh dia.” jawabku kali ini dengan nada bicara lebih serius. “Sekhawatir itu kamu sama mbak Sita ya Cal?” Kan… Shila malah mengalihkan pembicaraan yang sama sekali gak berhubungna dengan keberadaan Sita saat ini. “Please Shil, aku cuma butuh clue buat hubungin Sita. Kamu ada nomor siapa gitu di Jogja yang bisa aku hubungi. Saudara dari mama? temen kantor Sita? atau siapa gitu?” tuntutku semakin tak sabaran, bahkan tak menjawab pertanyaan terakhir Shila. “Nggak ada Cal, sorry aku sibuk. Bye.” “Tapi Shil, aku bel—” Tut… tut… tut… Belum selesai aku bicara, ternyata Shila sudah memutus sepihak panggilan dariku. Ya sudahlah, mungkin Shila memang sedang sibuk, jadi nggak bisa aku telepon terlalu lama. Tapi ya masa iya, sibuk terus tiap kali aku bahas tentang kakaknya. Ckk.. antahlah. Aku hanya menggeleng pelan dengan tingkah kekanakan Shila. Selang sedetik kemudian aku memutuskan berjalan cepat menuju mobil yang aku parkir di sebelah utara stasiun. Tak langsung pergi, di dalam mobil aku masih sibuk berselancar dengan gawai canggihku. Tujuannya bukan lagi menghubungi orang-orang terdekat Sita, tapi aku sibuk mencari jadwal penerbangan paling cepat menuju Jogjakarta hari ini. Perasaanku semakin kacau balau. Dari pada aku frustasi dalam ketidakpastian, lebih baik aku mendatangi sumber dari kekhawatiranku langsung kan? Jadi, setelah mendapatkan tiket pesawat yang aku pesan secara online, cepat-cepat aku melajukan mobil ke arah bandar udara Abdulrachman Saleh. Tujuanku hanya satu, Jogjakarta. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN