Bab 17 - Apa Ini Rindu?

2204 Kata
Kak Leo sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu soal Kak Satria. Di lihat dari cara bicaranya yang gugup tadi, buat aku sedikit curiga dengan Kak Leo. Apa benar Kak Satria ada urusan pribadi ke Bandung, atau urusan kantor? Mungkin aku harus tanya Tante Leli dulu, pasti Tante Leli tahu ke mana anaknya pergi. Aku mengambil ponselku, belum ada telefon atau pesan dari Kak Satria. Tumben sekali, biasanya dia paling tidak telat kalau saat jam makan siang, dia pasti ngabarin aku. Padahal, tadi aku chat dia dulu, pamit ke cafe Kak Rana, tapi sampai sekarang dia belum membalas chatku sama sekali. Aku mencoba mengirim pesan pada Tante Leli, basa-basi tanya kabar dulu, lalu kalau Tante Leli sudah membalas, baru aku merambat tanya soal Kak Satria. Belum ada respon dari Tante Leli soal pesan yang aku kirimkan. Aku benar-benar butuh kejelasan kalau sudah begini. Kejelasan soal Kak Satria yang akhir-akhir ini sering ke Bandung. Selama tiga bulan aku di sini, Kak Satria sudah sering sekali bolak balik bandung. Dengan alasan yang sama, urusan pekerjaan. Aku kembali ngobrol dengan Kak Rana dan Kak Leo lagi. Mereka benar-benar pasangan paling perfect menurutku, selalu kompak, dan masih terlihat seperti pasangan muda, padahal umur mereka sudah tidak lagi muda. Aku mendengar notifikasi pesan di ponselku, aku langsung membuka pesan balasan dari Tante Leli. “Kabar tante baik, Alhamdulillah. Bagaimana liburannya dengan Satria di Bali?” Seperti tersambar petir di siang bolong membaca balasan pesan dari Tante Leli. Bali? Liburan? Ini ada drama apalagi, sih? Kak Satria sampai setega itu bohong sama aku dan ibunya? Dia bilang sama aku ada urusan di Bandung dua sampai tiga hari, bahkan katanya bisa satu minggu. Sekarang Tante Leli bilang Kak Satria ke Bali, liburan sama aku? Ini drama apa coba? “Ica? Ada apa?” tanya Kak Leo. “Enggak apa-apa, Kak. Ini ada klienku yang agak rumit orangnya. Biasalah, Kak.” jawabku. Aku harus bisa terlihat baik-baik saja. Aku tidak mau terlihat seperti orang bodoh di depan Kak Rana dan Kak Leo. “Aku kira kamu kenapa? Kamu belum makan siang, kan?” tanya Kak Leo. “Belum lah, kan aku suruh Ica makan siang di sini bareng-bareng, Yah?” jawab Kak Rana. “Oh bagus, sudah siap makan siangnya, kan? Ayah sudah lapar, Bund,” ucap Kak Leo. “Sudah sepertinya, sebentar bunda lihat dulu.” Kak Rana masuk ke dalam, untuk melihat makan siang untuk kami sudah siap belum. Aku masih diam. Rasanya bingung dan gak tahu harus bagaimana. Apa aku harus tanya dengan Kak Leo soal Kak Satria? Etis gak sih aku tanya-tanya soal dia? Apalagi masalah pribadinya? Dan, tanyanya dengan orang lain lagi, bukan dengan Kak Satrianya? “Ca, kamu baik-baik saja?” tanya Kak Leo. “Ehm ... baik, memang kenapa, Kak?” jawabku. “Enggak apa-apa. Kamu mikirin Satria? Dapat chat dari dia?” tanya Kak Leo. “Dari ibunya, Kak. Tante Leli yang chat aku,” jawabku. “Chat apa? Soal Satria? Kakak boleh tanya kamu?” “Iya soal Kak Satria. Boleh, Kak. Silakan mau tanya apa.” “Satria pamit kamu ke Bandung?” tanya Kak Leo. “Iya, Kak. Ke Bandung urusan kantor. Katanya dua sampai tiga hari, bahkan bisa satu minggu, Kak,” jawabku. “Percaya kamu dengan pamitnya Satria yang seperti itu?” tanya Kak Leo. Aku reflek menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Kak Leo. Aku memang tidak yakin dan percaya kalau Kak Satria ke Bandung ada urusan pekerjaan. “Kamu gak percaya?” “Iya, Kak. Sejak Kak Satria ada proyek di Bandung, aku merasa Kak Satria sekarangb beda,” jawabku. “Proyek di Bandung itu sudah satu tahun yang lalu, Ca. Semua sudah selesai. Tapi, memang kadang kakak ke sana mantau dengan Satria, dan itu kakak langsung pulang, berangkat pagi, pulang malam, enggak sampai menginap di sana,” ujar Kak Leo. “Kak, selain Kak Rana, kakak tahu enggak Kak Satria pernah dekat dengan perempuan siapa lagi?” tanyaku. “Kamu kok tanya seperti itu sama kakak, apa Satria belum pernah cerita sama kamu?” “Paling ya soal Kak Rana saja, katanya dulu suka sama Kak Rana.” “Iya, kalau itu benar, tapi masa kamu tidak tahu kalau dulu Satria pernah tunangan? Tapi, tunangannya kabur, karena dia hamil duluan sama pacarnya. Ya enggak tahu sejauh mana hubuangan mereka sih, dan seperti apa. Karena, Satria juga terpaksa menerima perjodohan itu.” Pernah tunangan? Kak Satria enggak pernah bicara soal itu padaku. Dia bilangnya pertama jatuh cinta dengan Kak Rana saja. Tapi, masa iya? Dan, kenapa dia tidak pernah bilang kalau pernah dijodohkan, bahkan sampai bertunangan? “Ca, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Kak Leo sedikit khawatir. “Ica kenapa, Yah?” tanya Kak Rana. “Gak apa-apa, Kak, Ica baik-baik saja kok,” jawabku dengan mencoba santai agar terlihat baik-baik saja. “Ada apa, Ca?” tanya Kak Rana. “Enggak ada apa-apa, Cuma tanya Kak Satria saja, pernah ada masa lalu dengan perempuan mana lagi selain Kak Rana. Tapi, kata Kak Leo, Kak Satria pernah tunangan?” jawabku. “Iya memang pernah tunangan, dan Kakak sampai kena labrak mamanya Satria, sama calon mertuanya, dan tunangan Satria juga dulu. Tanya sama ayahnya Nadia,” ucap Kak Rana. “Iya seperti itu, Bundannya Nadia pernah di labrak sama ibunya Satria, dua kali malah ya, Bund?” ucap Kak Leo. “Iya, dua kali kalau gak salah sih?” jawab Kak Rana. “Jadi Kak Satria pernah tunangan? Kenapa dia enggak cerita sama aku ya, Kak? Dan, Tante Leli masa gitu? Ngelabrak Kak Rana? Terus tadi Tante Leli balas pesanku, balasannya membuat aku semakin bingung?” “Bingung bagaimana?” tanya Kak Rana dan Kak Leo. “Tante Leli malah tahunya Kak Satria di Bali, sedang liburan sama aku? Ini yang benar yang mana, Kak?” “Bali? Ini Satria kenapa kok jadi seperti ini? Kakak juga sedikit curiga dengan dia. Setelah proyek selesai, dia malah masih sering bolak-balik ke sana. Enggak tahu ada apa. Kamu coba bicara baik-baik setelah dia pulang. Soalnya kamu kan orang yang dekat dengan dia sekarang, dan kamu juga calon istrinya, kan?” Benar juga kata Kak Leo. Aku harus membicarakan ini dengan Kak Satria. Aku tidak mau ada kesalahpahaman atau apa pun. Sebentar lagi aku akan menikah dengan dia. Harusnya kami saling terbuka, bukan malah saling menyimpan rahasia. Seperti yang Kak Satria saat ini lakukan kepadaku. Dia sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu dariku, entah itu apa. “Ica juga enggak tahu, Kak. Tiga bulan setelah melamar Ica, Ica merasa Kak Satria makin aneh. Kadang sampai seminggu enggak hubungi aku, dan itu saat dia ada proyek di Bandung. Padahal sebelumnya enggak seperti itu. Dia selalu intens menghubungiku, setiap hari tanpa kenal waktu,” ucapku. “Kamu jangan kebawa emosi kalau bicara dengan dia, ya? Bicara baik-baik, minta penjelasan pada Satria, kenapa kok dia sampai bohongin kamu dan ibunya,” ujar Kak Rana. “Nanti Ica bicara dengan Kak Satria kalau dia sudah pulang, Kak. Ica akan bicara baik-baik. Kenapa Ica seperti ini ya, Kak? Kalau sudah mau serius dengan seseorang, ujungnya seperti ini. Dulu dengan Arkan, setelah aku sudah melupakan Arkan, dan bisa menerima Kak Satria, tapi malah Kak satria udah berani bohongan dengan aku?” “Jangan bilang seperti itu, Ca. Kalau misal Satria berkhianat di belakang kamu, berarti Allah masih sangat sayang sama kamu. Kamu ditunjukkan dengan cepat siapa Satria sebenarnya. Coba kalau posisimu sudah menikah? Sakit, kan? Kamu jangan terlalu memikirkan ini, toh kamu pun masih terus belajar untuk bisa menambah rasa cinta kamu sama Satria, kan?” tutur Kak Rana. “Iya, Kak. Tapi, rasanya kok gini banget hidup Ica, ya?” “Kakak enggak mau nyalahin kamu sih ya, Ca? Ya, kakak itu lihat Dev tulus sekali sama kamu, tapi kamu malah milih Satria, orang yang itungannya baru kamu kenal, ya belum lama lah, sedang kamu sama Dev? Kan udah dari SMP?” ujar Kak Rana. “Ih bunda jangan nyalahin perasaan Ica dong? Bund, namanya cinta ya gak bisa disalahkan, bunda kek gak tahu aja?” tukas Kak Leo. “Iya kek kamu, Yah!” “Kok ayah?” protes Leo. “Ayah pikir sendiri lah!” “Kok jadi bunda yang sewot?” “Ya kalau inget sewot sih, dikit.” Aku terkikik melihat mereka berdua yang malah baper sendiri. Aku yang tadinya mau galau karena Kak Satria, akhirnya tertawa melihat mereka berdebat. Mungkin karena mereka ingat dengan masa lalunya. Jadi mereka seperti itu. “Ica kok lapar, ya? Katanya mau ajak makan siang? Kalian malah ribut sendiri sih?” ucapku. “Oh iya, Kakak jadi lupa, ayo ke sana, makanannya sudah siap kok,” ajak Kak Rana. “Oke.” Ini pertama kalinya aku diajak makan siang bersama keluarga kecil Kak Leo dan Kak Rana. Dulu sering ke sini, tapi untuk kumpul seperti ini jarang, mungkin karena anak-anak Kak Rana masih kecil saat dulu, jadi enggak pernah seperti ini, paling seringnya menemani Nadia main sampai sore, atau sampai malam. ^^^ Selesai makan siang dengan Kak Rana, Kak Leo, dan keempat anak mereka, aku memenuhi janji Nadia, yang ingin ditemani beli buku. Hanya aku dan Nadia saja, karena Zifa dan kedua adiknya tidak mau ikut. Nadia memang dekat sekali denganku dari dulu. Sebelum aku kenal Arkan, aku sudah sering ke Cafe Kak Rana dengan temanku, waktu itu Nadia masih kecil, sering diajak Kak Rana ke cafe. Dan, dari situ aku sering bertemu Nadia. “Tante?” panggil Nadia yang duduk di sebelahku yang sedang mengemudikan mobil. “Iya, sayang, bagaimana?” tanyaku. “Kata bunda dan ayah, tante mau menikah sama Om Satria?” “Insya Allah, Sayang,” jawabku. “Kenapa milihnya Om Satria? Bukan Om Dev?” tanyanya lagi. “Kok Nadia bilang gitu?” “Ehm ... Om Satria kan sudah tua, sudah seusia bunda? Kok Tante mau sama orang yang udah tua?” Pertanyaan Nadia sedikit menyentil hatiku. Benar sih? Kenapa enggak Dev? Padahal jelas Satria kalah jauh dengan Dev. “Terus dulu, malah sama Om Arkan? Om Arkan kan enggak ganteng, gak seperti Om Dev? Om Dev baik lagi?” Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Nadia. Benar sih, lebih menonjol Dev daripada mereka berdua, tapi kenapa aku tidak bisa menerima Devan? Aku hanya menganggap dia sebagai temanku saja, bahkan sudah aku anggap seperti kakakku sendiri. Tidak lebih dari semua itu. Anak seusia Nadia saja sudah bisa menilai mana orang yang tampan, mana yang tidak? Tapi, aku? Lucu sekali aku. Aku sendiri tidak tahu, atas dasar apa aku memilih Kak Satria sebagai calon suamiku? Sedangkan hati ini pun masih ragu? Ditambah dengan Kak Satria yang semakin aneh. Terlalu berlebihan ingin memilikiku, hingga ingin cepat-cepat mengikatku dengan ikatan yang resmi, tapi sekarang dia malah seperti itu? Bohong dengan aku, dengan ibunya, dengan Kak Leo. Apa tujuannya coba? “Kemarin Om Dev kan ke cafe bunda, Tante? Tapi, Om Dev sama perempuan cantik, matanya sipit, kulitnya putih. Dan, Nadia tidak suka, soalnya orangnya enggak enak diajak ngobrol, Nadia juga enggak suka sama Om Satria,” ucap Nadia. “Kenapa enggak suka?” tanyaku. “Ya enggak suka saja? Sama Om Arkan juga?” “Terus? Sukanya sama Om Dev gitu?” “Iya, dia baik sih, sukanya beliin es krim. Kemarin saja ke cafenya bunda bawaain Es krim untuk Nadia dan Zifa? Tapi, Tante Jepang itu enggak suka kelihatannya,” ucap Nadia. “Itu Tante Aiko namanya,” jelasku. “Dia pacaranya Om Dev? Kalau iya, Nadia gak setuju!” tanya Nadia. “Tante gak tahu, Sayang? Yang tante tahu, Tante Aiko itu rekan kerjanya Om Dev. Itu saja sih?” jawabku. “Kok tante gak sama Om Dev saja? Cocok sama Om Dev daripada Om Satria, sudah tua!” seloroh Nadia. “Kamu itu ada-ada saja, Sayang? Ini mau ke gramedia saja? Terus mau ke mana lagi setelah ini? Mumpung tante lagi free hari ini?” tanyaku. “Ke pantai yuk? Sambil makan es krim?” pintanya. “Oke nanti kita ke sana.” Aku iyakan ajakan Nadia. Lagian aku juga kangen dengan dia, bertahun-tahun aku tidak bertemu dia. Sekarang omongannya sudah seperti orang dewasa saja. Mungkin karena didikan Kak Rana dan Kak Leo yang sedikit ketat, dan Nadia kan punya tiga adik, jadi dia lebih dewasa pikirannya dibandingakn Zifa. Aku tidak menyangka Nadia bisa bicara seperti itu. Dia bilang tidak suka Arkan dan Satria, juga Aiko. Dan, lebih lucunya, katanya aku lebih cocok sama Devan daripada sama Kak Satria. Enggak Cuma Nadia yang bilang sih? Ziva sahabatku saja sampai protes aku menerima lamaran Kak Satria. Kami sudah sampai di gramedia. Nadia memang hobi sekali membaca dari dulu, kalau diajak jalan-jalan pasti mampir ke toko buku, entah beli buku pelajaran atau buku cerita. Dan, ujungnya pasti minta es krim. Aku jadi ingat Devan. Kita sering pergi bertiga. Aku, Nadia, dan Dev. Kami jalan bertiga seperti bawa anak kita jalan-jalan waktu itu. Kenapa aku dari tadi inget Dev? Apa aku kangen? Tiga bulan dia benar-benar mendiamiku, enggak ada chat, telepon, bahkan video call. Biasanya dia tidak bisa sehari tanpa kirim chat, telepon, dan video call. Ini sudah tiga bulan, terakhir telefon dan video call juga bertukar pesan waktu aku baru sampai di sini. Apa ini rindu? Rindu dengan sahabat yang selalu ada menemaniku, di saat aku berada di titik paling rendah dalam hidupku. Ya, aku rindu sabahatku Devan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN