Kami sudah sampai di tempat yang kami tuju. Soto Lamongan Favorit aku. Kak Satria selalu tahu di mana tempat favorit aku. Sebenarnya banyak kenangan di kedai soto lamongan ini, dengan teman-temanku dulu. Dengan Arkan dan keluarganya juga sih, tapi ya sudah lah semua sudah berlalu. Memang bunda dan abahnya Arkan suka makan di sini. Kadang mereka mengajakku tanpa Arkan atau dengan Arkan. Bunda dan abah sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, jadi tanpa Arkan pun aku sering diajak bunda dan abah pergi.
Untungnya sih tempatnya sudah beda sekarang. Sudah direnovasi, dan tambah luas. Tidak salah pemiliknya cepat merenovasi tempat ini. Setiap hari tidak pernah senggang, setiap hari pasti ramai sekali orang makan di sini, dari baru buka sampai mau tutup.
“Tempatnya kok tambah luas ya, Kak?” tanyaku.
“Iya, ini baru direnovasi enam bulan yang lalu. Kemarin sempat tutup dua bulan, karena harus renovasi semuanya. Itu kata pemiliknya,” jawab Kak Satria.
“Kakak juga sering ke sini?”
“Iya, sama Pak Leo kadang di sini, mampir makan siang, kalau pas Pak Leo enggak pulang makan siang di rumah, karena masih banyak pekerjaan.”
“Aku jadi kangen Nadia.”
“Dia mau masuk SMP tahun ajaran depan.”
“Lama sekali aku enggak ketemu Nadia.”
“Pengin main ke sana?”
“Nanti saja, Kak. Kita makan dulu, yuk? Aku sudah lapar.”
Aku turun dari mobil Kak Satria. Kak Satria berjalan di sebelahku, menggandeng tanganku. Aku biarkan dia menggandengku, toh dia akan jadi suamiku nanti. Aku harus membiasakan itu, karena aku enggak mau kalau aku menolaknya, nanti disangka aku belum bisa menerima Kak Satria.
Kami duduk berdampingan, sambil menatap keluar, menikmati pemandangan taman buatan yang ada di sebelah kedai, dan sambil menunggu pesanan yang datang. Aku melihat sekitar ruangan kedai soto yang menyimpan banyak kenanganku dengan Arkan. Meski semua sudah berbeda, seperti keadaanku dengan Arkan, tapi kenangan itu masih lekat di sini. Hampir setiap hari kalau makan siang pasti di kedai ini dengan Arkan. Dan, tempat ini tidak jauh dari bengkel milik Arkan.
Rindu.
Tiba-tiba kata itu terbesit di kalbu. Tapi, untuk apa aku merindukan seseorang yang sudah jauh di masa laluku, sedang di depanku ada masa depan yang cerah, yang harus aku raih untuk menjadikan aku bahagia. Orang itu adalah Kak Satria, yang sudah berhasil memenangkan hatiku, meski hatiku masih berpihak padanya. Ya, pada Arkan.
“Oma, aku mau lagi ... boleh kan, Oma, Opa?”
“Iya, kamu mau lagi? Enak kan sotonya?”
“Enak. Daddy sama Mommy juga sering ke sini.”
“Iya, ini kan tempat favorit keluarga kita, Sayang. Sebentar opa pesankan lagi, ya?”
Aku mendengar suara mungil anak kecil yang masih cadel bicaranya. Sepertinya lucu anak itu, meski aku belum melihat paras wajahnya, tapi suaranya menggemaskan sekali. Aku mencoba menengok ke arah sumber suara anak kecil yang menggemaskan sekali. Dia sangat tampan, hidungnya mancung, matanya tajam, wajahnya kebule-bulean. Gemas sekali aku melihat pipinya yang penuh seperti bakpao. Aku jadi ingin menggigitnya, atau mencubitnya. Mirip squisi sekali pipinya. Menggemaskan.
Anak kecil itu berhadapan dengan seorang perempuan yang ia panggil dengan sebutan oma. Wanita berjilbab abu-abu itu duduk di hadapannya. Tempat duduknya tepat di belakang kami. Anak itu melihatku, dan menyapa ku dengan senyuman manis. Lucu sekali, ingin aku mencubit pipinya dan menciumi pipinya. Andai saja aku dulu sudah menikah dengan Arkan, mungkin aku sudah punya anak seusia dia.
“Oma itu?”
Anak kecil itu menunjukkan jari kepadaku, dan bilang dengan omanya. Aku masih melihat anak kecil itu seperti ingin omanya melihat ke arahku.
“Kak, lihat itu anak lucu sekali. Menggemaskan sekali, ya?”
Aku juga menunjukkan anak kecil itu pada Kak Satria, dan Kak Satria menoleh ke arah anak kecil yang aku tunjukkan tadi.
“Itu, Ca? Sepertinya kakak kenal?”
“Siapa?”
“Sebentar, Ca. Aku sering sih lihat anak itu, aku juga sering ....”
Kak Satria sejenak terdiam, mengingat-ingat siapa anak yang menggemaskan itu.
“Oma, itu ....”
Kembali anak itu menunjuk ke arahku, supaya omanya menoleh ke arahku.
“Siapa, Fran?”
Perempuan yang di sebut oma itu akhirnya menengok ke arah aku dan Kak Satria. Sedang Kak Satria masih diam, mungkin sedang berpikir siapa anak itu.
Deg ...
Ya Tuhan, itu Tante Nisa? Jadi itu cucunya Tante Nisa?
“Ica, Satria?”
“Tante Nisa?”
“Ah ya benar, aku pernah ketemu, dia anaknya Arkan, Sayang, aku baru ingat,” ucap Kak Satria.
“Arkan?”
“I—iya,” jawab Kak Satria sedikit bingung dan gagap.
Aku tahu, Kak Satria mungkin mengerti dengan perasaanku saat dirinya menyebut nama Arkan. Ya, aku memang masih berontak hatinya kalau mendengar nama itu. Nama seseorang di masa laluku yang membuat separuh, bahkan seluruh hidupku hancur.
Mukaku mungkin terlihat menciut saat mendengar nama Arkan. Hatiku berdebar, namun sakit, seperti tersayat. Jadi anak yang menggemaskan itu anaknya Arkan?
“Ica ....”
Tante Nisa mendekatiku. Aku hanya tersenyum dan menunduk sopan padanya. Dengan basa-basi menyapa Tante Nisa juga.
“I—iya, Tante ....”
“Kamu pulang kapan, Ca?”
“Seminggu yang lalu.”
“Hei, nama kamu siapa? Lucu sekali kamu, Nak?”
Untuk melupakan keteganganku dan kecanggunganku karena aku bertemu mantan calon mertua, akhirnya aku meleburkan rasa tegang dan canggungku dengan menyapa anak kecil itu dengan berjongkok di depannya, dan kata Kak Satria anak ini adalah anak dari Arkan. Pantas wajahnya kebule-bulean? Dia mirip dengan Om Leon, tidak seperti Arkan dan Thalia.
“Aku Zhafran, Tante ...,” jawabnya dengan suara yang menggemaskan.
“Oh Zhafran?”
“Tante siapa?”
“Nama Tante, Frischa, Sayang. Zhafran bisa panggil Tante Ica,” ucapku dengan memperkenalkan diriku.
“Oke, Tante ...,” jawabnya dengan lucu.
“Bunda kangen kamu, Ca.”
Bunda? Bunda masih menyebutkan dirinya dengan sebutan bunda di hadapanku? Sungguh lucu sekali. Atau mungkin memang bunda sudah sayang sama aku, dan masih menganggap aku seperti anaknya? Harusnya tidak usah seperti itu. Dengan perbuatan anaknya yang terlalu membuatku jatuh, harusnya tidak usah seperti itu.
“Tante, Ica juga kangan.”
Aku bangun dan berdiri di depan Tente Nisa. Aku melihat matanya sudah berkaca-kaca dengan menatapku. Mungkin Tante Nisa kangen, dan masih merasa bersalah dengan diriku. Tapi, menurutku, yang sudah ya sudah, tidak usahlah dibahas lagi. Toh aku juga masih terus belajar melupakan hal yang menyakitkan itu, meski aku masih belum bisa sempurna melupakannya.
“Tante? Kamu tidak mau manggil tante bunda lagi?”
“Bukan seperti itu, Tante. Aku hanya ingin suasana baru saja.”
“Ca, bunda sudah anggap kamu seperti anak bunda sendiri. Kamu dua tiga tahun menghilang, papa dan mama kamu juga tidak ada kabar. Maafkan bunda soal itu.”
“Sudah, Tante. Jangan bahas itu. Semua sudah berlalu, kami sudah memaafkan semuanya. Lagian Ica sebentar lagi mau menikah sama Kak Satria,” ucapku.
“Jadi Kalian?”
“Iya, kami sudah tunangan satu tahun yang lalu, kami tunangan di Jepang, dan mungkin tahun ini kami akan menikah,” jawabku.
Memang seperti itu apa adanya. Kami sudah sedikit demi sedikit mempersiapkan pernikahan kami. Mau apa menunda, lebih cepat lebih baik, bukan? Supaya aku cepat melupakan Arkan dan semua tentangnya.
“Benar begitu, Satria?”
“Iya, Tante.”
“Kok Leo gak bilang kalau kamu tunangan dengan Ica?”
“Saya bilang kok, mungkin Kak Leo tidak memberitahukan tante,” jawab Kak Satria.
“Abah, lihat ini siapa?”
Tante Nisa merangkulku, dan memperlihatkan aku pada Om Arsyad yang mungkin dari Toilet sehabis memesankan soto untuk Zhafran.
“Ica? Kamu Ica, kan? Masyaallah ... Ica ... Abah kangen kamu, Nak. Kenapa kamu tidak pernah kasih kabar kami? Kami kehilangan kontak kamu dan mama papa kamu.”
Dengan Reflek Om Arsyad memelukku. Beliau juga masih menyebut dirinya abah di depanku. Padahal aku sudah tidak mau lagi menyebutnya dengan sebutan abah, pun dengan Tante Nisa, aku tidak mau lagi menyebutnya dengan sebutan bunda.
Bukan aku marah atau pun dendam. Ini lebih ke rasa menghargai saja sih. Mana mungkin aku menyebut bunda dan abah terus, apalagi kalau suatu hari aku dipertemukan Thalia dan Arkan sedang bersama Tante Nisa dan Om Arsyad. Itu nantinya bakal ada hati yang kacau, dan bahkan terluka.
Thalia. Siapa lagi kalau bukan dia yang merasa tidak enak hati kalau aku menyebutnya masih dengan sebutan bunda pada Tante Nisa dan Om Arsyad.
“Ica juga kangen sama Om. Om apa kabar? Sehat, kan? Tante juga sehat, kan?” tanyaku.
Abah mengernyitkan dahinya. Mungkin dia sedikit tidak percaya aku memanggilnya dengan sebutan om.
“Kenapa om manggilnya? Enggak mau manggil abah lagi?”
“Bukan gitu, Om. Ya sekarang kan sudah beda, Om. Pangin suasana baru saja sih,” jawabku.
“Abah sudah anggap kamu seperti anak abah sendiri, Ca.”
“Ya, enggak apa-apa, Om. Om mau anggap Ica apa. Tapi, Ica enggak mau manggil abah lagi. Maaf mungkin Om jadi tersinggung, ini yang lebih baik om, tante. Takutnya nanti ada salah paham kalau Ica masih panggil Abah dan Bunda.”
Om Arsyad mengangguk, mungkin beliau mengerti apa yang aku maksud. Aku ingin melupakan semuanya, jadi apa salahnya aku memanggil mereka tidak dengan panggilan saat dulu aku jadi calon menantunya.
Kecewa, ada sih rasa itu. Tapi, semua sudah selesai, dan aku sudah mau memulai hidup baru lagi dengan Kak Satria.
“Om, Tante, kami makan dulu, sudah datang pesanan kami.”
“Oh iya, Ca. Silakan.”
Aku kembali duduk di tempat dudukku. Posisinya masih sama, aku duduk bersebelahan dengan Kak Satria. Aku melihat wajah Kak Satria sedikit ditekuk. Mungkin dia tidak enak hati melihatku masih akrab dengan orang tua Arkan. Bukan aku masih mengakrabinya, tapi lebih ke manjaga sopan santun saat bertemu orang yang lebih tua. Bukan berarti orang itu sudah menyakiti kita lantas aku bersikap acuh dan marah dengannya.
“Jangan diambil hati ya, Kak? Karena aku bersikap seperti itu pada mereka. Aku cuma basa-basi saja sih, enggak lebih. Masa aku harus jutek? Enggak sopan, kan? Lagian aku kan sudah melupakan semuanya, aku ingin memulai dari awal, dan dengan kamu aku mau memulainya, Kak,” ucapku dengan menggenggam tangan Kak Satria.
“Iya, aku paham kok, Sayang. Ya, aku cemburu saja, mereka masih mau kamu memanggil mereka dengan sebutan bunda dan abah.”
“Aku kan enggak mau, Kak. Lagian, aku ini siapa? Sudah bukan siapa-siapanya lagi kok. Ya,kan?”
“Iya, sih?”
“Jangan cemberut lagi dong, Kak? Lagian aku ini sudah mau jadi istri kamu, kan? Kamu serius mau nikahin aku? Enggak akan ngecewain aku, kan?”
“Iya, Sayang. Masa aku mau ngecewain kamu. Sudah makan dulu sotonya? Katanya kangen soto lamongan?”
“Iya, kangen banget.”
Senyuman Kak Satria yang mungkin membuat aku jatuh cinta dengannya. Manis, dan terlihat tulus sekali. Aku berharap Kak Satria sosok yang tidak akan mengecewakan aku. Dia benar-benar tulus mau mencintaiku, dan menjadikan aku wanita satu-satunya untuk dirnya. Semoga Kak Satria tidak punya masa lalu yang rumit dengan wanita lain saat dulu.
Ponsel Kak Satria berdering. Kak Satria mengambil ponsel dari saku kemejanya. Dia melihat siapa yang menghubunginya.
“Aku angkat ini sebentar ya, Sayang?” pamit Kak Satria.
“Oke, silakan.”
Aku membiarkan Kak Satria keluar dan menerima telefonnya. Entah dari siapa, mungkin dari kantor atau dari mana aku gak tahu, dan aku gak mau tahu. Itu urusan dia, dan aku tidak mau pusing mengurusi itu.
Tak lama Kak Satria kembali duduk di sebelahku, dan menikmati makanannya. Aku melihat wajah Kak Sartri tampak kebingungan setelah menerima telepon dari seseorang, yang entah siapa orang itu.
“Kenapa, Kak?” tanyaku.
Tapi, Kak Satria tidak meresponnya. Dia diam saja, sambil mengunyah makanannya. Tidak bisanya Kak Satria seperti ini. Atau mungkin ada masalah dalam pekerjaannya?
“Kak?”
“Eh iya, Ca. Kenapa?”
“Kakak kenapa? Ada masalah?”
“Ca, nanti malam kakak ada urusan di Bandung. Maaf, kakak enggak bisa ajak kamu jalan nanti malam. Ini sangat mendadak, Ca. Urusan itu, emm ... proyek di sana,” ucap Kak Satria dengan agak gugup dan kebingungan.
“Iya enggak masalah, kalau memang kakak ada pekerjaan di sana. Ya kakak pergi saja. Kan ini urusan pekerjaan, bukan lainnya?” jawabku.
“Enggak apa-apa kalau aku tinggal kamu? Aku dua hari sepertinya di sana, atau tiga hari.”
“Iya, enggak apa-apa, Kak.”
“Tapi ....”
“Tapi apa, Sayang?”
“Nanti kalau aku kangen kamu gimana, Kak?”
“Kan bisa video call, Sayang ....”
“Iya, Sih.”
Ada yang aneh dengan Kak Satria. Dia seperti gugup saat pamit untuk pergi ke Bandung. Ini hanya perasaanku saja, atau bagaimana, aku pun tidak tahu. Semoga saja sih dia benar ke Bandung urusan pekerjaan, bukan yang lain. Kenapa aku merasa ada yang aneh dan ada yang lain?