Devan dari tadi sibuk menyaipkan makanan, karena baru saja makanan yang ia pesan sampai di rumah. Dia sesekali melirik ke arahku, dan mengisyaratkan makanannya sudah siap. Tapi, aku masih sibuk dengan telefon dari Kak Satria. Aku tahu dia sedikit cemburu, bahkan marah. Namun, dia berusha menahan dan terlihat baik-baik saja di depanku.
“Ca, makanannya sudah siap!” Akhirnya dia tidak tahan, dan mengeluarkan suaranya dengan teriak memanggil aku.
“Iya, sebentar lagi, Dev!” jawabku.
Kak Satria terdengar berdehem saat aku menyebut nama Devan. Aku tahu, Kak Satria juga cemburu denganku. Aku tidak peduli dengan kedua orang yang seakan-akan berlomba untuk mendapatkan aku. Bukan aku sok atau gimana, aku memang belum bisa membuka hatiku untuk mereka. Aku masih mencintai laki-laki di masa laluku. Iya, Arkan, aku masih sangat mencintainya. Aku menganggap Kak Satria adalah kakakku, dan orang kepercayaan papa dan mama untuk mengurus kantorku yang aku tinggal.
Sedangkan Devan? Dialah sosok teman sekaligus sahabat yang sangat baik. Yang sangat mengerti aku. Meski cintanya dia tak ku balas, dia tetap masih menjadi teman yang baik untukku. Dia selalu mengerti aku, dan selalu membuatku lupa dengan yang namanya patah hati karena Arkan.
“Ca, ada Devan di situ?”
“Iya, Kak. Kan biasa Devan di sini, Kak?”
“Sedang tidak ada orang tuamu, Ca. Jangan seperti itu, tidak baik laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan, hanya berduaan saja.”
“Kak, aku kan gak ngapa-ngapain? Ya seperti biasa, dia pagi, siang, sore, malam kan selalu di sini. Dia sudah seperti anaknya mama dan papa. Lagian aku gak ngapa-ngapain dengan dia kok. Kak Satria cemburu?”
“Iya, aku cemburu. Dia bisa dekat dengan kamu, sedangkan aku di sin, dekatnya dengan kantormu!”
“Idih ... kakakku ini, masa ngambek karena ada Devan di sini?”
“Dia suka sama kamu, jadi kakak cemburu!”
“Jangan seperti anak ABG dong, Kak? Aku sama dia satu kampus, berangkat dan pulang kuliah dengan dia terus. Ya kakak harusnya tahu, aku tidak mungkin pulang dan pergi sendiri. Mumpung ada tumpangan gratis, kan?”
“Ya sudah, terserah kamu, Ca. Ca, kamu belum mau ngasih jawaban aku soal minggu lalu? Saat aku menyatakan semuanya padamu?”
“Kak, beri waktu aku, ya? Ica kan lagi fokus kuliah, dan fokus melupakan Arkan. Aku mohon, kakak mengerti untuk ini.”
“Iya, kakak mengerti. Ya sudah, Ca. Sana makan dulu. Ingat, setelah makan, Dev suruh pulang.”
“Iya kakak.”
Aku mengakhiri pembicaraanku dengan Kak Satria. Aku sadar dia cemburu, tapi untuk apa cemburu, aku tidak mencintai dia atau pun Devan? Bukan tidak mencintai, aku belum bisa menerima cinta Kak Satria, apalagi Devan?. Aku tidak mau berpura-pura mencintainya. Dan, untuk Devan, aku hanya menganggap dia sahabatnya saja.
Aku duduk di depan Devan. Dia sudah mulai makan, mungkin karena dia lama menunggu aku mengobrol dengan Kak Satria. Dan, aku lihat-lihat wajahnya sedikit berubah, mungkin dia cemburu padaku. Tapi, aku yakin, paling dia sebentar saja bete-nya sama aku. Nanti juga moodnya kembali stabil lagi. Seperti itu setiap harinya, jika Kak Satria menelfonku. Tapi, nanti moodnya juga cepat kembali lagi kok.
“Ca, kenapa kamu enggak terima cintanya Kak Satria? Dia itu perfect lho. Sudah kariernya bagus, tampan, ya pokoknya seperti kriteria kamu lah.” Devan tiba-tiba bicara seperti itu denganku. Aku hanya tersenyum saja melihat raut wajahnya yang berbicara tanpa melihat aku, seakan dia itu sedang cemburu denganku.
“Aku belum bisa menerima cinta lagi, Dev. Kamu harusnya tahu, Dev, aku ke sini tujuannya apa,” ucapku.
“Ya ... yaa ... yaaa ... serah kamu deh, Ca. Aku capek lihat kamu enggak berhenti-berhenti cinta sama Arkan. Ca, dia sudah menikah, dan dia juga sudah membuat kamu malu di hari yang seharusnya itu hari bahagia kamu. Dia menyebutkan nama calon pengantin wanita itu Thalia, bukan kamu. Sudah dong, Ca ... dia kan sudah jelas menyakiti kamu, Ca ....” Devan memang kesal kalau aku lagi-lagi memikirkan Arkan, dan mengenang Arkan. Dia yang selalu mengingatkan aku, kalau cinta itu tidak semenyakitkan ini, jika kita mau move-on dan percaya akan datang cinta yang lebih indah lagi. Tapi, aku benar-benar belum bisa. Sama sekali belum bisa melupakan Arkan.
“Ca, lo sadar dong, lihat Kak Satria yang tulus mencintai kamu. Dia bela-belain ke sini, hanya untuk merayakan ulang tahunmu dengan seromantis itu, dan melamar kamu dengan cara yang menurut aku perfect sekali. Masa kamu belum kebuka juga pintu hatinya?” ucap Devan, seakan-akan dia bilang seperti itu tidak cemburu pada Kak Satria, padahal dia paling sensi sekali kalau aku sedang bercanda dengan Kak Satria, meski lewat telfon.
“Lalu kamu? Kamu kemarin bilang mencintaiku, kan?” tanyaku.
“Lupakan itu, Ca. Aku memang mencintaimu, tapi aku sadar, aku belum pantas untukmu. Kalau aku kriteriamu, mungkin dari SMP kita sudah jadian. Saat aku kirim surat cinta pertama untukmu. Tapi, kamu membalas, ingin jadi sahabatku saja. Ya sudah, aku turuti saja. Toh memang benar, kita sahabatan sampai sekarang, kan?” ucap Devan.
“Iya, aku lebih nyaman seperti ini dengan kamu, Dev. Maaf bukannya menolak, tapi aku sudah nyaman berteman dengan kamu dari dulu, dan aku hanya menganggap kamu sahabat, teman baik, teman curhat, dan tidak lebih dari itu semua,” ucapku. “Oh iya, Dev. Aku masih simpan surat dari kamu itu, tapi di rumahku, bukan di sini.” Aku memang menyimpan surat cinta pertamaku dari Devan, meski aku membalas surat dia dan aku bilang ingin jadi sahabatnya saja, aku masih simpan surat itu baik-baik. Surat yang kedua, dan ketiga dari Dev juga masih aku simpan.
“Sama, balasan dari kamu juga masih aku simpan, Ca. Lucu saja kalau ingat itu. Dan, entah kenapa aku sama sekali tidak mau berteman atau membuka hatiku untuk perempuan lain. Ya, mungkin karena memang aku sangat mencintaimu. Tapi, Cinta gak harus memiliki, kan?” ucap Devan.
“Ya, seperti itulah. Iya, Dev, cinta memang tak harus memiliki, meski cinta itu tak penah terganti dari hati kita. Tapi, aku sadar, Dev. Cinta itu saling, bukan sendiri,” ucapku.
“Iya, Ca. Mencintai sendiri memang sakit. Tapi, kalau jalaninnya enjoy, sakit juga lama-lama enak, gak kerasa,” ucap Devan dengan berkelakar.
“Dasar! Sukanya kalau ngomong seperti itu!” tukasku.
“Enak enggak makanannya?” tanya Devan.
“Enaklah, gratisan! Tinggal makan pula!” jawabku dengan berkelakar.
“Besok berangkat pagi, kan?”
“Iya, biasa kan, kamu jemput aku?”
“Hemb ... tapi setelah pulang kuliah, dan antar kamu pulang, aku mau kerja. Aku diterima kerja di restoran sini, jadi siang sampai malam aku kerja sekarang,” ucap Devan.
“Kerja? Kamu serius, Dev?” tanyaku. Aneh rasanya dengar Devan yang manja, yang selalu di beri orang tua, dan serba kecukupan, dia bilang besok mau kerja part time di Restoran. Aku salah dengar atau gimana ini? Dia juga kan kerja di perusahaan papanya? Cuma memang dia arogan, di kasih jabatan tinggi juga menyepelekan, sampai papanya curhat sama papa soal Dev yang seperti itu.
“Hei, jangan bengong! Iya, aku mau kerja. Bosan ah, dari siang sampai malam Cuma gitu-gitu aja, kan? Jadi ya cari kerja di sini,” ucap Devan.
“Kamu itu kemarin di kasih pekerjaan enak sama papamu, malah di sini jadi pelayan restoran, kerja part time lagi!” ucapku kesal.
“Huss ... sudah, aku mau kerja, oke!”
“Ya, sudah, enggak apa-apa. Tapi, kerja yang bener, ya? Ini di negara orang, jangan arogan!” tuturku pada Devan.
“Iya bawel! Sudah, habiskan makananmu!” ucapnya.
Aku senang sih, ada perubahan dalam hidup Dev. Dia tambah dewasa, dan sekarang dia juga sudah bisa tanggung jawab dengan tugas kuliahnya. Aku juga kaget, mendengar dia akan bekerja part time di restoran. Tadinya aku pikir, aku salah dengar, atau dia bercanda saja. Tapi, saat dia bicara serius, dan memperlihatkan email panggilan kerja dari restoran itu, aku jadi percaya kalau dia benar-benar mau kerja.