"Keanan hentikan, jangan sampai benar-benar aku teriak sekarang!"
"Nadia, sudah aku katakan, teriaklah! Aku tidak takut ancamanmu." Masih menjelajah wajah sang istri yang kini memilih memejamkan mata —bukan untuk menikmati— hanya enggan menatap wajah suaminya yang teramat dekat.
Sapuan yang Keanan lakukan semakin mendekati bibir Nadia. Gadis itu benar-benar emosi sekarang. Permintaannya agar Keanan menghentikan aksinya, dianggap angin lalu.
"Kenapa tidak jadi teriak? Kamu turut menikmati bukan?" bisik lelaki itu di telinga sang istri.
"To-mmh ...?" Teriakan minta tolong yang Nadia lakukan, dibungkam oleh Keanan dengan begitu cepat.
Sontak saja hal itu membuat Nadia membelalakkan kedua matanya. Spontan tangan yang digunakan untuk menahan handuk, terlepas karena berusaha mencengkeram pundak sang suami, yang dengan kurang ajarnya —untuk kedua kali— melakukan hal yang tidak senonoh.
Nadia tidak diam. Seperti tadi siang, ia berusaha melepaskan diri dari pagutan yang Keanan mulai. Rencananya melepaskan diri dengan cara seperti kejadian di kantor, gagal. Sebab Keanan sama sekali tidak peduli dengan gigitan yang istrinya lakukan.
Rasa anyir darah yang terasa oleh mereka, tidak membuat Keanan menyudahi aksinya. Dengan tenaga yang ia keluarkan —menahan sikap berontak dari Nadia— lelaki itu membawa sang istri ke tempat tidur.
Dengan gerakan terburu-buru, Keanan mendorong Nadia ke atas tempat tidur, sehingga turut membuat tubuhnya juga jatuh di atas tubuh sang istri.
Pagutan itu akhirnya terlepas. Mengambil kesempatan, Nadia hendak berteriak namun kembali dicegah dengan cara yang sama. Tentu saja hal itu membuat Nadia emosi. Tanpa dipinta, air matanya pun menggenang.
Bukan karena ia sedih atau pun kecewa. Tetapi sejujurnya ia sedang merasa marah. Marah kepada Keanan dan juga kepada dirinya sendiri, yang begitu mudahnya bisa dipaksa oleh sang suami.
Nadia semakin emosi ketika Keanan berlaku lebih kurang ajar. Tangan kanan yang terbebas, hendak melepas handuk yang ia sangkutkan.
Belum sempat handuk itu lepas dari posisinya, terdengar suara ketukan pintu, yang mau tak mau membuyarkan aksi Keanan pada sang istri.
"Sial!" umpat Keanan sembari memukul kasur di dekat kepala Nadia.
Keanan bangkit dari posisinya. Setan benar tengah mengganggu jiwanya saat itu. Bagaimana bisa ia melakukan hal yang tidak baik pada Nadia tadi. Hampir saja ia akan menyesali perbuatannya, jika tidak ada orang yang tiba-tiba mengetuk pintu.
Demi melihat sang istri yang terdiam dengan menutup mata menggunakan lengannya, sembari terisak. Keanan yang akhirnya memutuskan untuk membuka pintu kamar.
Ketika pintu dibuka, tampak sesosok orang yang selalu ia sayangi sepanjang hidupnya, berdiri di depan pintu. Nyonya Ranti —ibundanya— yang mengetuk pintu tadi.
"Keanan? Kamu di sini juga?" Terkejut mendapati jika ibunya lah yang sudah menyelamatkan ia dari aksi yang akan berujung penyesalan.
"Iya, Ma. Tadi Keanan denger dari Papa Nadia mau ke sini, jadi aku nyusul ke sini deh."
"Oh, Nadia-nya mana?" tanya Nyonya Ranti.
"E-eh, Nadia lagi di kamar mandi, Ma," ucap Keanan berbohong. "Ada perlu apa memang, Ma?"
"Enggak ada apa-apa, mau ketemu aja. Tapi ya sudah, nanti aja sekalian makan malam. Ngomong-ngomong kok kamu di kamar ini, biasanya kamu ke kamar sendiri?" selidik Nyonya Ranti.
"Eh, Nadia 'kan sekarang udah jadi istri Keanan, Ma. Masa Keanan enggak boleh ke sini?"
"Yang enggak ngebolehin siapa? Mama 'kan cuma nanya. Ya udah, Mama balik ke kamar lagi deh."
Keanan bisa bernapas lega, ketika Mamanya beranjak pergi dari kamar Nadia. Kembali ia menutup pintu dan hendak kembali menemui sang istri.
Namun, baru saja berbalik, sebuah tamparan keras tepat mendarat di pipi sebelah kirinya.
Plak!
Dengan linangan air mata, Nadia berdiri di depan Keanan. Mata yang memerah campuran emosi dan juga kelemahan, tampak terlihat di kedua matanya.
"Nad, maafkan aku?" lirih Keanan berkata.
Nadia bergeming. Ia masih menangis. Handuk yang masih membelit tubuhnya terlihat kencang sekarang. Rasa marahnya terhadap Keanan seolah-olah sudah berada di ubun-ubun kepala.
"Belum puas 'kah kamu menyakiti batinku selama dua bulan ini?" tegas Nadia berkata.
"Nadia, ak—?"
"Sekarang kamu mau juga menyakiti tubuhku, Keanan?"
"Tidak, Nadia. Ak—?"
"Katakan apa yang kamu mau sebenarnya? Kamu mau tubuhku ini, iya? Apakah setelah kamu mendapatkan tubuhku lantas membuatmu puas?"
Kedua mata Nadia semakin merah, menyalang.
"Tak cukup 'kah kamu menjadikan kehidupan rumah tangga kita hanya sebuah mainan?"
"Bukan aku yang meminta kita menikah!" Keanan kini membalas.
Nadia memejamkan kedua matanya. Air mata itu kembali mengalir deras.
"Baiklah. Aku rasa sudah cukup bagi kita mempermainkan kesakralan pernikahan yang sah di mata Tuhan dan agama ini. Aku minta padamu untuk menceraikan aku sekarang!" teriak Nadia sembari menatap wajah suaminya, marah.
Keanan diam. Ucapan yang sebetulnya sudah biasa ia dengar dari mulut gadis di depannya itu, entah mengapa membuat ia tak rela kini.
"Jangan pernah harap!" Entah dorongan dari mana, balasan yang Keanan lontarkan —mengandung arti yang tersirat bagi siapa pun yang mendengarnya.
"Apa maksud kamu?" tanya Nadia melemah —heran.
"Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikanmu!"
"Kamu jangan gila!"
"Terserah kamu mau bilang apa. Sekali lagi aku katakan, jangan pernah bermimpi aku akan mengeluarkan kata cerai seperti yang kamu minta," teriak Keanan tak kalah keras.
Setelah mengatakan itu, Keanan beranjak meninggalkan kamar Nadia menuju kamarnya sendiri. Langkah kaki terlihat penuh emosi ketika keluar dari kamar istrinya itu.
Meninggalkan sosok sang istri, yang diam mematung —tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya tadi.
***
"Hai, Sayang! Apa kabar?" ucap Nyonya Ranti, ketika melihat Nadia turun dari kamarnya —mendekati kedua orang tua Keanan.
"Baik, Mah, Pah!" jawab Nadia mencium tangan keduanya dengan pelukan singkat.
"Mana Keanan? Tadi waktu Mama ke kamarmu, ada Keanan di sana, kamu-nya lagi di kamar mandi."
"E-eh, lagi ke kamarnya dulu, Mah. Iya, tadi kata Keanan Mama ke kamarku. Aku lagi mandi pas Mama cari." Tak tahu bagaimana Nadia harus menjawab. Berharap jika lelaki itu turun untuk ikut makan malam.
"Oh gitu. Ya sudah, kita tunggu Keanan dulu sebentar." Pak Hari yang bicara.
Beberapa menit menunggu, ternyata Keanan tak kunjung hadir. Ketiga orang yang sudah berada di ruang makan, jenuh menunggu. Begitu pun yang Nadia rasakan. Ia kesal dengan sikap lelaki itu yang tidak tahu diri.
"Mbak Nina? Bisa tolong panggil Keanan untuk turun?" pinta Nyonya Ranti pada asistennya.
"Baik, Tuan."
Wanita itu pun hendak berjalan menuju tangga, tetapi urung terjadi ketika sebuah suara mengagetkan semuanya.
"Enggak usah, aku udah turun. Maaf udah menunggu lama." Lelaki itu berjalan menghampiri meja makan dan mendekat.
Tak ada respon dari sang istri yang duduk di sebelahnya. Iseng Keanan malah mencium kening istrinya setelah sebelumnya mencium telapak tangan papa dan mamanya. Barulah respon itu ia terima, melihat kedua mata dengan bola mata indah itu —mendelik— menatap tak suka.
Namun hal berbeda justru ditunjukkan oleh Pak Hari dan Nyonya Ranti, kedua orang tua itu menatap keharmonisan pasangan di depannya, dengan senyum bahagia yang tampak di wajah tua mereka.
"Maaf yah, Sayang. Aku terima telepon dulu tadi."
Nadia tidak menjawab ucapan dari sang suami, hanya sebuah senyuman yang ia paksakan hadir di bibirnya.
Mereka pun akhirnya menikmati makan malam dalam suasana hangat yang terpaksa diciptakan. Nadia berusaha menjadi dirinya kembali ketika berkumpul dengan kedua orang tua angkat sekaligus mertuanya itu. Berusaha menjaga sikapnya —yang nyata sedang kesal— di depan mereka.
Hal yang sama pun ditujukan oleh Keanan. Lelaki itu sungguh pandai berakting. Begitulah kira-kira yang Nadia lihat. Berkali-kali ikut menimpali kalimat-kalimat yang istrinya ucapkan.
"Jadi Keanan, apa kamu sudah memberitahu istrimu mengenai pekerjaan yang Papa tugaskan ke kamu?" tanya Pak Hari, ketika mereka semua sudah selesai makan malam dan kini berada di ruang keluarga.
Nadia menatap Keanan, tak mengerti. Tugas apa yang papa mertuanya berikan pada sang suami yang melibatkan dirinya.
"Belum, Pah. Papa saja yang beritahu Nadia. Aku takut dia tak percaya."
"Ada apa yah, Pah?" tanya Nadia menghilangkan rasa penasaran.
"Papa meminta Keanan untuk bertemu klien di Bali. Dan Papa minta kamu untuk menemani suami kamu ke sana. Besok pagi kalian sudah harus berangkat. Semua tiket dan keperluan lainnya sudah Reno siapkan."
"Apa? Aku ke Bali? Sama Keanan?"
***