Duduk di kelas bisnis, membuat mereka nyaman berada di dalam. Perjalanan pesawat yang memakan waktu kurang lebih dua jam, Nadia nikmati dalam tidurnya yang tenang. Meski ia duduk bersebelahan dengan suaminya, tetap tak ada obrolan yang tercipta di antara mereka.
Begitu pun yang Keanan lakukan, semalaman tidak tidur membuat lelaki itu mengantuk. Ia pun menyusul sang istri kemudian.
Suara pemberitahuan dari kapten pilot membangunkan keduanya, ketika pesawat sudah akan mendarat.
Nadia membuka kedua matanya sembari menguap. Menutup mulut dengan salah satu tangan dan merapikan penampilannya yang terlihat berantakan karena tertidur.
Keanan yang melihat gerakan dari sebelahnya, hanya bisa memandang tanpa mengucapkan kalimat apapun. Ya, keduanya benar-benar saling membisu. Baik Nadia atau Keanan, sama-sama seperti menjaga jarak.
Pesawat mendarat sempurna. Nadia berusaha mengikuti langkah kaki suaminya yang panjang agar tidak tertinggal.
Begitu tiba di pelataran bandara, mereka sudah ditunggu oleh seorang lelaki paruh baya yang bertugas menjemput keduanya.
"Tuan Keanan!" serunya dengan selembar kertas di tangan bertuliskan nama putra bungsu Darmaputra tersebut.
"Iya. Pak Aji?"
"Iya, betul Tuan."
"Kenalkan, ini istri saya Nadia. Dia akan bersama saya selama di sini." Keanan memberi tahu lelaki bernama Pak Aji tersebut.
"Ah, iya. Baik, Tuan."
"Jadi, apakah kita bisa langsung ke hotel?" tanya Keanan.
"Tentu saja. Mari silakan!" Pak Aji memberi jalan pada Keanan dan Nadia untuk lebih dulu melangkah.
Mereka langsung menuju parkiran di mana Pak Aji memarkirkan mobilnya. Mobil langsung menuju ke hotel tempat mereka menginap selama dua malam. Rencananya jika pertemuan dengan Tuan Richard berlangsung tidak lama, mereka bisa balik ke Jakarta pada penerbangan malam.
"Pak Aji sudah menunggu kita dari tadi?" tanya Keanan ketika mobil baru mulai melaju.
"Enggak kok, Tuan. Saya baru aja sampai. 'Kan Tuan Hari sudah beri tahu penerbangan Tuan Keanan."
"Oh!"
Obrolan pun berlanjut dengan membahas topik yang cenderung santai. Nadia yang duduk di bangku belakang, hanya mendengarkan kedua lelaki itu mengobrol. Gadis itu lebih memilih melihat jalanan di luar yang mobil mereka lewati. Ciri khas Bali sudah mulai terlihat dari bangunan atau tugu-tugu yang berdiri di sepanjang jalan membentang.
Waktu baru menunjukkan pukul setengah sebelas. Sepertinya mereka akan menikmati waktu makan siang masih agak lama. Perut Nadia sudah mulai bersuara. Di pesawat ia memang mendapat jatah sarapan tadi, tetapi tidak ia makan. Alasan belum lapar yang membuat gadis itu tidak mengisi perutnya. Kini, ia menyesal sudah membuat cacing di dalamnya demo karena ingin diberi makan.
Entah bagaimana bisa perutnya berbunyi dan pastinya akan didengar oleh Keanan. Nadia menutup wajahnya, malu saat melihat ke arah kaca spion, tepat kedua mata suaminya juga melihat ke arahnya.
"Pak Aji, bisa minggir sebentar?" pinta Keanan tiba-tiba.
"Oh, bisa, Tuan!" Lelaki paruh baya itu kemudian sedikit mengurangi laju mobil dan parkir di pinggir jalan.
Nadia tidak mengerti apa yang hendak Keanan lakukan dengan meminta Pak Aji menghentikan mobilnya.
Lelaki itu keluar dari mobil dan berjalan ke belakang bagasi. Terdengar bunyi bagasi ditutup tak lama kemudian. Lalu Keanan pun membuka pintu mobil di mana Nadia duduk.
"Kenap—!" seru Nadia yang belum sempat menyelesaikan pertanyaannya, sebab sang suami sudah menyodorkan goodie bag berisi kotak makan, yang sepertinya Bi Darmi siapkan di rumah tadi.
"Aku sudah bilang untuk sarapan, tetapi kamu keras kepala." Setelah bicara seperti itu —tanpa menunggu jawaban dari sang istri, Keanan menutup pintu mobil dan duduk di tempatnya semula.
"Silakan lanjutkan, Pak Aji!"
"Siap, Tuan."
Mobil kembali melaju di jalan raya, di tengah cuaca pulau Bali yang selalu saja membuat Keanan terpesona karena keindahan alamnya.
Keanan memang sering berkunjung ke Bali untuk berlibur bersama kekasihnya —Maura.
"Ah, keputusannya semalam apakah sungguh keputusannya yang tepat? Mempertahankan rumah tangganya dengan Nadia, berarti ia harus meninggalkan kekasihnya. Apakah ia sanggup? Selama ini wanita itu sudah mengisi hatinya. Membuat hidupnya berwarna setahun belakangan ini. Menjadikan ia sosok lelaki dewasa dengan sikap sang kekasih yang juga dewasa.
Tak terbayangkan bagaimana kesehariannya nanti tanpa Maura di sisinya. Menjalani hidup rumah tangga dengan Nadia, tanpa ada rasa cinta di dalam hatinya.
Lantas, mengapa ia tidak mau mengabulkan permintaan Nadia untuk bercerai darinya jika ia tidak memiliki perasaan cinta pada gadis yang saat ini duduk di bangku mobil bagian belakang itu?
Ia sendiri tidak tahu, mengapa ia mengambil keputusan cepat tanpa berpikir sebelumnya. Yang Keanan rasakan semalam hanya, ia tidak rela jika Nadia berpisah dengannya dan tentu saja meninggalkannya.
Pikiran yang aneh, tetapi benar lelaki itu rasakan. Rumit yang ia buat sendiri. Tentu semuanya akan mudah kalau saja dirinya meng-iyakan permintaan Nadia semalam. Entahlah.
Keanan menarik napas dan membuangnya kasar. Sikapnya itu Nadia perhatikan sejak lelaki itu memberinya kotak makan berisi sandwich, sisa sarapannya tadi pagi di rumah.
Perjalanan dari bandara menuju hotel tempat Keanan dan Nadia menginap, tidak sampai satu jam.
Hotel yang sudah Anto reservasi, ternyata hanya satu kamar saja. Sang asisten pribadi Tuan Hari yang tahunya Keanan dan Nadia adalah pasangan suami istri, tentu saja berinisiatif memesan satu kamar, ditambah intruksi sang pimpinan —Tuan Hari, yang juga menyuruhnya demikian.
"Aku akan memesan satu buah kamar lagi untukku." Nadia akhirnya mengambil keputusan setelah tahu jika ia harus satu kamar dengan suaminya.
Namun, baru saja ia akan memesan satu buah kamar lagi, Keanan bicara.
"Apa karena sekarang aku adalah pria miskin dan kamu wanita yang kaya raya sehingga tak mau berada dalam satu kamar denganku?" tanya Keanan menyindir istrinya itu.
Tentu saja kalimat sindiran yang Keanan lontarkan membuat Nadia tersinggung. Bukan karena ia sakit hati atas ucapan suaminya yang mengatakan jika ia adalah wanita yang memiliki banyak uang karena mendapat warisan dari kedua orang tuanya, tetapi kalimat Keanan yang seolah mengatakan jika Nadia adalah wanita yang memandang segala sesuatu hanya dari materi saja, membuat gadis itu emosi.
Karyawan resepsionis memandang ke arah mereka. Meski Keanan bicara pelan, tetapi bisa dipastikan dua orang petugas bagian kantor depan itu mendengar kalimat yang suaminya ucapkan barusan.
Nadia sengaja mendekatkan wajahnya ke arah telinga Keanan dan berbisik. "Kamu sendiri yang sejak mula kita menikah, memisahkan diri dengan menempati kamar yang berbeda. Sekarang kamu seolah memutar balikkan fakta dengan melontarkan kalimat sindiran yang tak beralasan?" Nadia menjeda kalimatnya, kemudian melanjutkan.
"Jika sekarang kamu merasa kesepian sebab tak ada kekasihmu yang menemanimu tidur di malam hari, silakan bawa kopermu ke kamar yang sudah Mas Anto pesan. Aku duluan. Capek, mau tidur!"
Nadia melangkahkan kakinya cepat, meninggalkan area lobi, juga Keanan yang terdiam dengan menahan gemeretak giginya. Lagi-lagi ia kalah.
Nadia masuk ke dalam lift untuk membawanya ke lantai lima, tempat di mana kamarnya berada. Tak peduli di mana suaminya kini, ia tetap berjalan cepat menuju kamar.
Begitu dibuka, tampak sebuah kamar president suite yang sangat luas. Entah bagaimana bisa mertuanya itu memesankan sebuah kamar semewah itu.
Gadis itu pun masuk ke dalam kamar, tanpa menutup pintunya rapat supaya ia tidak bolak-balik ketika Keanan masuk nanti.
Nadia menaruh koper di walk in closet dan tas di atas meja nakas. Lalu, gadis itu pun memutuskan untuk merebahkan tubuh di atas kasur berukuran besar. Mencoba untuk tidur, sampai waktu makan siang tiba.
Meskipun di dalam pesawat tadi Nadia sudah tidur, tetapi tak sulit untuk memejamkan matanya kembali. Gadis itu ceroboh, membuat pintu kamar tetap terbuka karena menyangka suaminya akan menyusulnya masuk.
Namun, saat Nadia terbangun setelah tidur satu jam lamanya, sosok sang suami tak ada di dalam kamar yang pintunya terbuka.
***