Tak hilang akal, Nadia menggigit bibir Keanan dengan sangat kencang, berharap sekali lelaki itu melepaskan pagutannya.
Berhasil. Aksi pemaksaan yang Keanan lakukan akhirnya bisa terlepas. Dengan menyentuh bibirnya yang terasa bau anyir karena darah, Keanan tersenyum sinis.
Menatap wajah Nadia yang terlihat memerah, antara menahan emosi dan juga malu. Genangan air mata, hampir jatuh di pipi mulus sang istri. Enggan meminta maaf, Keanan malah pergi meninggalkan ruangan, untuk menemui direktur --papanya.
Suara pintu yang ditutup dengan sangat kencang oleh Keanan, seketika membuat Nadia terkejut. Tubuh itu lunglai, dan terjatuh ke lantai. Air mata yang ia tahan sejak tadi, akhirnya tumpah juga.
Ciuman pertama miliknya, meski dilakukan oleh orang yang ia cintai, tetap membuatnya pilu karena lelaki itu melakukannya dengan kasar dan penuh paksaan.
Nadia menutup wajah dengan telapak tangan. Tak peduli saat ini ia berada di mana, tangisan itu semakin menjadi. Bukan perlakuan seperti itu yang ia harapkan dari suaminya. Meskipun ia tahu kalau Keanan tidak mencintainya, tapi ia berharap, minimal lelaki itu bersikap baik dan lembut kepadanya.
***
"Iya, Pa? Ada apa Papa panggil aku?" Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, lelaki itu langsung masuk ke dalam ruangan milik sang direktur.
"Kamu tuh, Keanan, kaya orang enggak punya sopan santun saja. Walau pun ini ruangan Papa kamu, kamu 'kan bisa ketuk pintu lebih dulu sebelum masuk?" protes Pak Hari pada putranya.
"Iya, Pah, maaf."
Keanan baru sadar, seperti juga dirinya ketika sang istri masuk ke dalam ruangannya tiba-tiba, mungkin begitu perasaan papanya saat ini.
"Duduk dulu!" Pak Hari menyuruh sang putra duduk di sofa, sedang pria paruh baya itu masih setia dengan layar terang yang berasal dari laptopnya.
"Nadia mana?" tanya Pak Hari dari balik meja.
"Enggak tahu," jawab Keanan berbohong.
"Kok enggak tahu? Kamu tahu dari Nadia 'kan kalo Papa panggil?"
"Iya, tapi Nadia cuma titip pesan itu doang terus pergi."
Pak Hari menatap lekat sang putra. Menelisik apakah ada kebohongan yang tersirat di raut wajahnya.
"Ngomong-ngomong, Papa ada apa sih panggil aku ke sini?" Kembali Keanan menanyakan hal yang belum terjawab. Berusaha mengalihkan pandangan sang papa --yang kini berjalan menghampirinya.
"Besok, klien kita, Mr. Richard datang dari Inggris," ujar Pak Hari, duduk di depan Keanan.
Lelaki itu masih menyimak maksud dari pembicaraan papanya.
"Mengenai hubungan kerja sama kita dengan perusahaan miliknya yang ada di dalam dan luar negeri, beliau sudah setuju. Dan meminta kita untuk menyerahkan surat perjanjian kerja sama kepadanya untuk ditanda tangani."
"Sayangnya, Mr. Richard hanya tiga hari di Indonesia, dan ia tidak berkunjung ke Jakarta. Beliau tengah menikmati waktu liburan bersama keluarganya di vila miliknya di Bali."
"Terus maksud Papa apa?"
"Papa tidak bisa menemui Mr. Richard karena hari senin ada meeting dengan para pemegang saham. Jadi, mau tidak mau, kamu sebagai wakil Papa, pergi menemuinya di Bali."
"Loh, besok 'kan masih hari sabtu, Pa. Papa masih sempat dong untuk bertemu sama Mr. Richard-nya?" tanya Keanan.
"Mr. Richard bersedia bertemu kita di hari minggu sore, sehari sebelum ia kembali ke Inggris," ungkap Pak Hari.
Keanan nampak berpikir. Sekali-kali me-refresh otak dan pikiran, sepertinya bukan sesuatu hal yang buruk.
"Ya ... enggak masalah."
"Ya sudah, Papa minta kamu menyiapkan diri kamu dan juga Nadia segera. Tiket sudah Papa persiapkan untuk kalian berdua. Besok pagi jadwal keberangkatan pesawat kalian."
"Apa, Pah? Nadia?" pekik Keanan.
"Iya, Nadia. Kamu akan pergi dengan istri kamu."
"Aku enggak mau!" sungut Keanan.
"Apa alasan kamu tidak mau?"
"Pa, apa harus ada alasan untuk penolakan aku?"
"Ya harus lah. Kamu ini gimana sih? Kemarin kamu sendiri yang bilang, kesalahan Papa memindahkan Nadia ke bagian keuangan membantu Bu Cika, tapi sekarang Papa mau meminta Nadia untuk menemani kamu, kamu malah menolak."
"Ya ... itu karena?"
"Karena apa?" Pak Hari menatap curiga sang putra.
"Enggak apa-apa. Terus, Nadia belum tahu kalo Papa mau menyuruh dia nemenin aku?" Kembali mengalihkan pembicaraan.
"Belum."
"Kok belum dikasih tahu?"
"Nanti Papa kasih tahu, kalo dia datang ke rumah."
"Nadia mau ke rumah, kapan? ngapain?"
"Sore ini. Papa mau ada perlu sama Nadia."
Keanan tidak menanyakan lebih jauh, ada keperluan apa sang Papa dengan istrinya itu. Pikirnya tidak jauh dengan urusan pekerjaan.
"Keanan?" panggil Pak Hari, menatap lekat wajah sang putra.
"Iya?"
"Bibir kamu kenapa? Kamu abis berantem?"
***
"Happy weekend!" seru Nadia kepada teman-teman satu divisinya.
"Happy weekend juga, Mbak."
Semua staf divisi keuangan, memang selalu kompak. Memiliki atasan seperti Bu Cika sebagai manajer dan juga Nadia sebagai wakilnya, membuat mereka betah bekerja di perusahaan itu.
Mereka semua tahu, status serta posisi Nadia di PT. Darmaputra corp itu. Sebagai seorang menantu pemilik perusahaan, tidak membuat Nadia besar kepala. Gadis itu tetap rendah hati dan juga friendly, menyenangkan untuk diajak berteman.
"Jangan melihat aku siapa di sini. Aku pun sama seperti kalian." Itulah yang dikatakan oleh gadis berusia dua puluh tahun itu, ketika pertama kali bekerja di perusahaan papa Keanan.
Di usianya yang menginjak angka delapan belas tahun, baru saja melepas seragam abu-abu, Nadia diminta oleh Pak Hari untuk membantu putra bungsunya itu.
Hinga sekarang setelah dua tahun bekerja, dengan kinerja bekerja yang semakin baik, Nadia dipercaya untuk membantu Bu Cika sebagai asistennya, di divisi keuangan. Salah satu divisi penting di perusahaan, yang tidak semua orang mudah menduduki posisi di sana. Apalagi bagi gadis seusia Nadia, dengan basic ilmu yang tidak ia miliki sama sekali. Karena ia baru meneruskan jenjang pendidikan kuliahnya ketika sudah berusia dua puluh tahun, melalui jalur eksklusif.
"Kami pulang dulu yah, Mbak Nad?" seru teman-teman satu divisinya bersamaan.
"Iya, hati-hati."
Nadia yang baru keluar dari ruangan manajer, mendapati teman-temannya itu sudah bersiap hendak pulang. Hari itu, mereka semua bebas dari lembur. Sehingga bisa menikmati waktu weekend mereka dengan leluasa dan hati yang gembira tentu saja.
Nadia kemudian turut melangkahkan kaki, di belakang para karyawan yang sudah mendahuluinya. Menuju mobil yang ia parkiran di depan gedung.
Melewati para petugas yang mendapat giliran shift sore hingga malam hari, tersenyum dan sedikit membungkukkan tubuh demi menghormati orang yang lebih tua usianya.
Mobil sedan berwarna putih, mengeluarkan suara alarm ketika Nadia menekan tombol kunci mobil dari jarak sedikit jauh. Membuka pintu, dan menyalakan mesin mobil. Tanpa menunggu lama, gadis itu melajukan kendaraannya membelah jalan raya menuju kediaman Darmaputra.
Hari itu Dara tidak pulang bersamanya. Saat istirahat tadi, temannya itu sudah mengatakan jika sore ini kekasihnya akan datang menjemput. Secara kebetulan karena Nadia pun tidak bisa mengantar Dara pulang. Janjinya dengan Nyonya Ranti, membuatnya ingin segera sampai. Ada hal apakah yang membuat dirinya disuruh datang ke rumah besar.
Rasa penasaran, tentu saja menghinggapi relung hatinya. Apa ini semua ada hubungannya dengan kehidupan rumah tangganya dengan Keanan? Apakah kedua orang tua angkatnya itu sudah tahu perihal hubungan sembunyi-sembunyi, yang suaminya lakukan, mengingat tadi siang kekasih suaminya itu datang ke perusahaan? Dengan pakaian minim, yang digunakan oleh Maura, tentu akan membuatnya menjadi pusat perhatian.
"Ah, aku tidak mau memikirkannya. Kita lihat saja, ada apa." Gadis itu berbicara sendiri. Ia tidak ingin berspekulasi lebih jauh.
Bayangan kejadian saat Keanan mencium paksa dirinya, selalu hadir kembali jika ia harus mengingat suaminya. Tak ingin larut sebetulnya. Tapi apa mau dikata, meski pun ia berusaha menepis semua, tetap saja bayangan itu kembali menjadi sebuah rangkaian slide di dalam otaknya. Di mana panasnya Keanan melakukan aksi tadi membuat Nadia berkhayal, seandainya saja ada perasaan cinta di dalam aksi itu, mungkin akan lain perasaan pilunya kini.
***