“Bintang... duh sadar dong cepetan. Aku bingung ini harus hubungi siapa.” Sonja bermonolog saat ini, di kamar rawat inap sebuah rumah sakit. Beruntung tadi polisi yang datang, membawa mobil patroli hingga bisa segera sampai di rumah sakit agar Bintang mendapatkan perawatan pertama.
Luka akibat tusukan pisau di perut Bintang sudah dijahit. Luka itu cukup dalam. Bahkan saat berada di IGD, Sonja baru sadar kalau lengan kirinya terluka akibat tadi sempat menangkis pisau salah satu pengeroyok. Baju yang dikenakannya pun terkena darah, entah darahnya dari lengan itu atau darah dari luka Bintang, dia tidak yakin. Karena tadi kan dia memeluk Bintang saat berada di mobil polisi.
Mungkin karena panik, dia tadi tidak merasa nyeri atau sakit. Baru sekarang terasa segala perih. Tenaga medis yang ada di ruang IGD itu segera saja membersihkan lukanya dan dibebat perban. Entah berapa jahitan yang dia terima pun dia tidak tahu. Lukanya sekarang terasa nyeri, apalagi lengannya jadi kebas harus dibebat perban. Nyeri, lebih nyeri saat tamu bulananya datang. Dan sekarang dia meringis menahan rasa sakit yang mendera.
Sonja mau tak mau membongkar ransel yang dibawa oleh Bintang. Mencoba mencari ponsel agar bisa menghubungi keluarga terdekat. Sayangnya dia tidak berhasil menemukan benda pipih itu.
Randu! Aku kan bisa menelpon Randu. Haaah tapi aku gak punya nomer ponsel Randu. Duuh gimana ini?
Sonja bahkan lupa kalau sepupunya, Mya, adalah sahabat Randu. Pasti Mya punya nomer ponsel Randu kan? Kepanikan yang melanda, seringkali membuat manusia hilang akal. Tapi dia ingat, kalau dulu pernah menyimpan nomer telepon rumah Bintang. Coba ditelponnya saja ibunya Bintang, agar dia bisa menelpon Randu dan memintanya ke rumah sakit. Dia tidak ada hubungannya dengan Bintang, semua karena alasan kemanusiaan saja hingga dia mau menolong Bintang, selain juga Bintang adalah adik dari lelaki yang dia suka.
Dengan satu tangan dia mencoba mengulir gawainya dan berucap syukur saat melihat nama Lies Bintang tertera di gawainya. Mengucap basmallah, Sonja coba menelpon ke nomor itu. Sungguh berharap agar tuan rumah segera mengangkat panggilan teleponnya. Di dering kelima, dia berucap syukur saat akhirnya panggilannya diterima.
"Assalamualaikum tante..."
"Waalaikumusalam. Siapa nih?"
"Saya Sonja, tante, semoga tante masih ingat. Saya teman Bintang saat kuliah, dulu pernah ke rumah tante." Sonja berusaha mengingatkan.
"Oooh iya, tante ingat, kamu gadis yang tinggi itu kan? Bagaimana kabarmu nak?" Terdengar sapaan ramah dari suara di seberang sana.
"Alhamdulilah saya baik tante, tapi ini saya sedang di rumah sakit menunggui Bintang."
"Haah?? Apa? Kenapa? Bintang kenapa? Dia kenapa nak?" Mendadak nada suara Lies menjadi panik saat mendengar kabar dari Sonja ada di rumah sakit menunggui Bintang, si bungsu. Jangan sampai lagi Bintang terlibat masalah. Bintang dan masalah sepertinya berteman akrab.
"Ini tante, tadi pagi pas saya sedang lari pagi, saya lihat Bintang dikeroyok beberapa orang preman. Ada yang bawa pisau juga. Perut Bintang tertusuk pisau tante. Lukanya cukup dalam tapi sudah dijahit dan diobati." Sonja berusaha menjelaskan dengan runut agar Lies tidak panik. Tapi seorang ibu tidak mungkin tidak menjadi panik jika terjadi sesuatu yang buruk pada darah dagingnya.
"Apaaa? Ya Tuhan? Terus sekarang bagaimana kondisi Bintang, nak? Aduuuh duuh kenapa sih dia selalu saja terlibat masalah?" Suara Lies terdengar panik. Dia jauh di kampung, sementara memikirkan anak bungsunya meregang nyawa di rumah sakit tanpa ada kerabat yang menemani.
"Bintang tadi membantu seorang ibu yang hendak dicopet tante, tadi si ibu yang jadi korban ikut ke rumah sakit. Jadi Bintang tidak mencari masalah kok tan, malah dia berusaha jadi pahlawan loh." Sonja membela Bintang, dari dulu dia sering dengar stigma bahwa Bintang adalah sumber masalah. Mungkin iya, tapi itu dulu, sekarang kali ini kasusnya berbeda.
"Sonja, tante sudah pindah rumah loh, ke kampung sejak Bintang lulus kuliah. Tante palingan baru bisa sampai situ besok pagi. Maaf ya nak... tante minta tolong untuk Sonja menemani Bintang ya sampai besok." Pinta Lies pada Sonja. Berharap gadis itu mau memberi secuil kebaikan untuk menemani Bintang.
Sonja menggaruk ujung hidungnya. Bukannya tidak mau, tapi ada beberapa hal yang dia harus kerjakan di rumah. Yang pasti, dia ingin istirahat, ingin tidur seharian di kasur empuknya. Bukannya tidur di rumah sakit menemani Bintang. Tapi dia tidak tega menolak permintaan Lies.
"Iya, tante. Saya akan tunggui Bintang." Jawabnya pasrah.
"Tante nanti akan telpon Randu untuk ke situ. Sebagai kakak, dia juga harus bertanggung jawab pada adiknya. Terima kasih Sonja." Lies bahkan tidak sempat mendengar jawaban Sonja karena terburu-buru, panik, hendak mencari tiket pesawat ke Jakarta di penerbangan paling pagi.
Randu? Eeh iya kok aku bisa mendadak lupa sih kalau Randu adalah kakaknya Bintang? Padahal kan tadi rencananya nelpon Tante Lies agar Randu saja yang menemani Bintang, kenapa aku malah terjebak di sini? Yaah, gagal sudah akhir pekan berada di kasur empuk.
Sonja meletakkan pantatnya di sofa yang tersedia untuk penunggu pasien. Kamar itu kelas satu, tapi beruntung sebelahnya kosong jadi masih agak lega. Sonja berusaha memejamkan matanya, mencoba beristirahat sebentar. Rasanya baru sebentar tertidur saat kemudian dia mendengar suara erangan dari brankar. Tergesa, Sonja segera menuju ke sisi samping Bintang. Coba bertanya ada apa.
"Ada apa, Bintang? Perlu apa? Aku panggil perawat ya." Bisik Sonja agar tidak mengagetkan Bintang.
"Mii... num..." Jawab Bintang lemah.
"Minum? Sebentar yaa." Sonja mengambil botol air yang tadi dibawanya. Beruntung dia juga membawa sedotan khususnya. Dengan telaten Sonja membantu Bintang untuk minum.
"Te... rima kasih, Sonja." Senyum dipaksakan muncul di bibir Bintang. Tapi sesaat kemudian dia mengaduh kesakitan.
"Bintang kenapa? Mana yang sakit? Aku panggil perawat saja ya?" Sonja berniat menekan tombol panggil perawat tapi Bintang mencegahnya.
"Tidak usah, Sonja. Aku cuma mau tidur. To..long bantu aku ganti posisi yang nyaman."
Sonja memeluk badan Bintang yang kekar untuk mencari posisi yang dirasa nyaman. Tapi bibir Bintang meringis, menahan sakit. Hingga rasa sakit itu juga menjalar ke dirinya. Tanpa terasa ada bulir air mata menetes dari sudut matanya.
Bintang melihat itu. Tangannya yang bebas tak ada selang, terangkat, mencoba menghapus air mata di pipi Sonja.
"Jangan menangis Sonja. Nanti cantikmu hilang." Sudah dua kali Bintang berkata seperti itu. Cantik. Berkata cantik padanya.
"Bintang, kamu tuh masih sakit kok ya sempat bercanda sih? Oh iya, adakah yang ingin kamu telpon untuk menunggumu di sini malam ini? Ibumu baru mau pesan tiket ke Jakarta, mungkin baru sampai di sini besok pagi. Sedangkan kakakmu, baru ditelpon. Aku tidak tahu apakah bisa ke sini atau tidak." Sonja berkata dengan nada lirih.
"Aku ingin kamu saja yang menemaniku ya Sonja." Pinta Bintang, memohon.
"Memangnya kamu gak mau ditunggu sama pacar?" Sonja bertanya heran.
"Aku gak punya pacar sekarang." Jawab Bintang dengan mata tertutup. Kepalanya pusing jika dia membuka mata.
"Bohong aah, player macam kamu tuh gak mungkin banget gak punya pacar sehari pun." Kata Sonja tidak percaya mendengar ucapan Bintang.
"Buat apa bohong sih? Sekarang aku memang lagi jomlo, kamu aja ya yang jadi pacarku. Gimana?" Kembali Bintang mengeluarkan jurus mautnya. Padahal sudah ada seorang gadis, tapi bukanlah dirinya yang mengejar-ngejar, melainkan gadis itu yang mengejarnya.
"Bintang.... sudah tidur saja ya, lama kelamaan kamu melantur." Jawab Sonja lembut, tangan kanannya mencoba mengelus kening Bintang agar segera tidur. Hal itu efektif dilakukan ibunya saat dia kesulitan tidur dulu.
Bintang tersenyum senang. Walau terasa sakit, tapi mungkin dia akan tidur dengan mimpi indah, karena ditemani oleh seseorang yang dia suka, diam-diam. Tapi Bintang tahu bukanlah dirinya yang dilihat Sonja, tapi lelaki lain.
***
spoiler :
"Ibu ingin kamu jadi pacar Sonja."
"Haa apa? Tidak mau bu. Untuk apa aku jadi pacar Sonja?"
"Karena kita berhutang budi padanya. Hutang nyawa! Adikmu bisa tetap hidup karena ada andil Sonja."
"Kalau begitu, kenapa bukan Bintang saja yang menjadi pacar Sonja, bu?"
"Karena Sonja jatuh cinta padamu! Bukan pada adikmu! Sedari dulu, ibu tahu gadis itu sudah jatuh hati padamu!"