Aku berbaring di tempat tidur bersama dengan Dik Dara. Sedang membicarakan tentang Om Reza, dia itu masih SMP tapi juga semangat sekali membicarakan cowok ganteng. Katanya dia habis lihat Om Reza lari-lari pagi ini di sekitar mess khusus bujangan. Saat dia memang sengaja melewati mess itu dalam perjalanan ke sekolah. Dik Dara memang kebanyakan modus.
“Tapi orang seganteng Om Reza dan sebaik Om Reza masa' playboy sih, Kak?” Tanyanya menghadap ke arahku.
“Semua orang ganteng selalu berpeluang punya pacar lebih banyak.”
“Kenapa gitu?”
Kupandang wajahnya kesal. Masih polos saja sok kenal laki-laki Adikku ini. Aku juga polos tapi kan masih mending.
“Ya, mana ada orang udah jelek tapi pacarnya banyak? Orang cuek pacarnya banyak juga ada? Kok gaya sekali, kok ada yang mau juga. Oke jelek bukan masalah, orang cuek itu kok ada yang mau. Bisa kena stroke punya pacar cuek.”
Dik Dara hanya memasang wajah plonga-plongo. Dia tidak tahu apa yang aku bicarakan. Dia yang lemot atau aku yang salah menjelaskan.
“Ah yang penting Om Reza ganteng.”
Aku langsung menoleh lagi pada Dik Dara. Dia itu masih suka nonton Tayo tapi kok ya sudah suka sama laki-laki. Lebih dewasa lagi kan.
“Terus tadi Kakak pulang bareng Om Reza gimana? Seneng dong.”
Tersenyum. Aku ingat kalimat-kalimat manis dari Om Reza dengan garis wajah yang semakin membuatku melayang itu. Seolah lupa dengan julukannya di Yonif ini, mafianya perempuan Jogja.
“Om Reza gombalin Kakak,” ucapku menutup wajah dengan bantal.
“Apa?” Dik Dara langsung mengambil posisi duduk dan wajah yang tidak percaya.
“Iya, dia gombalin Kakak.”
“Tanpa rekaman, hoaks.”
Memang Dik Dara ini bawaannya su'udzon terus denganku. Ini bukan hanya sekali, dia selalu saja begitu meskipun aku terkadang su'udzon juga padanya tapi tidak sesering dia. Sekali dua kali ucapanku lebih bisa dipercaya daripada dia. Entahlah dia itu keturunan siapa.
“Nggak percaya ya sudah!”
“Tapi seriusan?”
Aku hanya menghela napas.
“Om Reza gombalnya gimana?”
Mengambil posisi duduk dan siap untuk menceritakan pada Dik Dara.
“Kak?”
Panggilan Ayah barusan justru membuatku mengurungkan niat untuk menceritakan yang terjadi antara aku dan Om Reza pada Dik Dara. Ayah masuk ke dalam kamarku masih dengan pakaian dinasnya, pangkat dan atribut yang masih melekat, kecuali sepatu yang sudah berganti dengan sandal rumah. Ayah memang baru saja pulang, setelah tadi sibuk ke sekolahku, beliau melanjutkan tugasnya ke kantor.
“Kenapa, Yah?”
“Serius tadi yang namanya Byan?” tanya Ayah bahkan belum sempat duduk di tepi tempat tidurku.
Sekarang lihatlah bagaimana antusiasnya Dik Dara begitu mendengar Ayah membahas Byan. Sebelumnya dia pernah bertanya padaku tentang bagaimana Byan itu sampai aku berani berduel dengannya. Eh, sekarang Ayah malah bahas Byan di depan Dik Dara, sudah jelas dia akan dapat informasi cuma-cuma.
“Malu-maluin kan, Yah? Ya begitulah Byan. Nggak tahu malu, usil, suka bikin onar. Padahal bukan dia yang harusnya jadi pemimpin upacara, harusnya Dirga yang lebih kelihatan rapi dan berwibawa.”
Ayah membenarkan posisi duduknya. Beliau tersenyum sambil melepas beberapa atribut.
“Bukan itu yang Ayah tangkap dari Byan.”
“Maksudnya?”
“Dia pemberani, Kakak dengar dia ngomong apa sama Ayah?”
“Sedikit.”
“Dia loh memperkenalkan diri dengan baik walaupun tidak di tempat yang baik. Dia bilang kalau sewaktu-waktu Ayah butuh informasi tentang Byan biar tidak perlu lagi cari informasi tentang dia.”
Aku melengos. Aku memang dengar kalimat itu.
“Kan kalau dia nanti jadi pacar Kakak, otomatis Ayah butuh informasi tentang dia. Tentang dia namanya siapa, anaknya siapa, anak baik-baik nggak, cuma sayang tadi yang kelewat itu alamat rumahnya.”
“Hah?”
Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang Ayah katakan. Jika Ayah lain memproteksi anak perempuannya dengan baik, sampai begitu selektif tentang laki-laki yang mendekati putrinya, Ayah justru dengan mudahnya menganggap Byan pemberani, seolah luluh oleh Byan padahal mereka baru pertama kali berbicara hari ini.
“Sekarang anak SMA mana yang berani menghentikan seorang Danyon hanya untuk perkenalan semacam itu kalau dia memang tidak benar-benar serius ingin mendekati Kakak?”
Ayah seolah menantangku dengan pertanyaan itu. Ya, memang aku akui tidak akan ada yang berani semacam itu apalagi untuk tujuan ingin mendekati putri seorang Danyon. Kecuali kalau memang dia tentara atau polisi, pasti berani melakukan apa yang dilakukan Byan tadi.
“Dia cukup keren. Ayahnya pilot kan? Luar biasa. Pantas aja namanya penguasa udara yang gagah dan berani.”
Dengan binar mata kagum itu Ayah memuji Byan. Rasanya tak banyak yang pantas dipuji dari Byan. Memang apa hebatnya dia? Baiklah soal keberaniannya tadi, aku akui dia cukup pemberani.
“Dia cukup keren. Ayah suka.”
Lantas Ayah pergi meninggalkan kamar, tapi baru sampai di depan pintu yang terbuka, Ayah menoleh pada Dik Dara.
“Dik Dara kalau belum 17 plus belum boleh pacaran!”
“Tapi Kakak belum 17 juga boleh.”
“Tunggu 17 tahun dulu semuanya. Nanti kalau Byan mau jadi pacarnya Kakak, harus sudah punya KTP. Itu syaratnya!”
Dahiku mengernyit. Oh God, kenapa harus Byan? Om Reza saja lah yang sudah jelas-jelas punya KTP. Tunggu, ini mau daftar jadi pacar apa mau pilihan gubernur kok syaratnya harus punya KTP dan usia di atas 17 tahun? Ada-ada saja Ayah itu. He he he.
“Makin penasaran dengan yang namanya Kak Byan. Seganteng apa dia sampai bisa meluluhkan Ayah?” gumam Dik Dara langsung menerima tempeleng dariku.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Masih berpikir tentang pendapat Ayah mengenai Byan sambil memandang langit-langit rumah. Apa spesialnya Byan?
Memang kuakui sejak dia membuatku jengkel, aku selalu memikirkannya meski atas dasar kejengkelanku. Dia tidak pernah enyah dari pikiranku, tapi saat dia mendekat dengan kemanisannya, aku semakin mengingatnya. Bagaimana cara dia mengenalkan diri pada Ayah juga terkesan unik. Kok ada manusia semacam Byan yang menggunakan strategi unik dalam mendekatiku.
“Maaf tapi itu belum membuatku jatuh cinta,” batinku mulai memejamkan mata membiarkan Dik Dara bertanya-tanya tentang Byan.
Dreeettttt....
Ponsel di meja kecil samping tempat tidurku berdering. Jangan-jangan Ipeh yang mau curhat tentang laki-laki pujaannya. Aku tidak mengerti siapa yang dimaksud, setahuku dia kagum pada Byan dan Dirga. Dia juga tidak mengatakan nama laki-laki itu. Dia hanya selalu menyebut dengan “Bosku” dan nada yang cukup manis.
Seperti kemarin dia telepon hanya untuk bilang, “Aduh, Ra. Bosku nge-tweet lagi hari ini buat cewek, manis sih tapi kok asem ya buat aku.”
Aku hanya terkekeh kecil kemarin. Dia selalu saja menelpon hanya untuk satu dua tweet yang pahit.
Kuangkat ponselku dan ternyata aku salah, bukan Ipeh tapi nomor tidak dikenal. Menelponku ternyata sudah dua kali, mungkin saudara jauh yang ganti nomor. Biasanya kan begitu.
Mengucap salam tapi tidak ada jawaban. Baiklah, mungkin dia non Islam jadi tidak menjawab salamku. Tapi semakin aneh ketika aku tanya, “ini siapa?” tetap tidak mau menjawab.
“Ara, lihatlah keluar rumah.”
Suaranya semacam aku kenal, tapi karena rasa kantukku. Aku tidak mau berpikir apalagi mengingat siapa pemilik suara serak-serak banjir ini.
“Sudah?”
Aku berjalan gontai menuju ke luar rumah. Masih ada yang berjaga di depan rumahku. Om-om itu melihatku berjalan malas, mereka pasti ingin bertanya kenapa aku tiba-tiba keluar rumah.
“Kita sudah memandang bulan dan bintang yang sama.”
Dahiku mengernyit. “Saya bicara dengan siapa ya?”
“Aku cuma mau bilang bahwa aku akan berusaha untuk menjadi pacarmu mulai besok, disaksikan oleh bulan dan bintang beserta langit Jogja.”
Mataku terbuka lebar. “Ini Byan?”
“Laporan Observasi tentang kamu akan aku kumpulkan dalam tiga hari.”
Dia benar-benar tidak peduli dengan tebakanku. Itu tandanya memang benar dia, bukan aku berhalusinasi.
“Kamu ngomong apa kumur-kumur?”
“Ayah kamu ada? Bisa bicara dengan beliau?”
“Kamu dapat nomorku dari mana?”
“I'm a stalker.”
“Byan!” bentakku karena dia tidak ingin mengatakan sesuatu yang lebih jelas, sampai Om-om tentara di depan sana memandangku bingung.
Byan terkekeh di seberang sana. “Jangan lari, nanti aku capek ngejarnya.”
“Hah?”
“Iya, aku sudah bisa mendapatkan nomor teleponmu, berhasil mengenalkan diri sama Ayahmu, jadi jangan lari, nanti aku bisa ngalahin Lalu Muhammad Zohri.”
Apa pula maunya?
“Bilang pada Ayahmu aku akan segera menghubungi beliau.”
“Hah?”
“Selamat tidur, Ara. Aku yakin sebelum kamu terlelap setidaknya satu detik saja wajahku terngiang dalam memorimu.”
“Hah?” Aku sampai tidak bisa berkata-kata dengan apa yang dikatakan Byan.
“Hah heh hoh! Sekarang terserah kamu mau menyimpan nomorku atau tidak karena yang lebih penting dari sekedar menyimpan nomorku adalah kamu simpan aku di hatimu.”
Lantas telepon tertutup tanpa mendapat jawaban salam dariku. Menggeleng kecil lalu masuk ke kamar lagi, masih dengan mata yang kian menyipit. Memang sudah ngantuk sekali.
Merebahkan tubuhku, menatap langit-langit dan iya ada bayangan wajah Byan yang lewat sekian detik dalam memoriku. Aku langsung terbangun lagi.
“Astaga, makhluk gaib itu kenapa selalu muncul?” gumamku kesal.
Aku kembali mengingat perkataan Byan yang terakhir. Tentang aku mau menyimpan nomornya atau tidak karena yang lebih penting adalah membuatku jatuh cinta. Dari ungkapannya, aku tahu dia bukan laki-laki biasa, dia punya cara dan taktik tersendiri dalam mendekatiku. Dia juga cukup gigih dengan mengatakan itu padaku. Senyumku mengembang karenanya.
“Ah, apa pula ini?” teriakku ketika tersadar dari lamunan tentang Byan. “Sadar, Ara!” memukul kecil kepalaku. Byan tetap menyebalkan sekali, jadi jangan ada pikiran untuk luluh, aku harus teguh.
Benar, malam ini, Byan berhasil membuatku tidak bisa tidur karena semua yang dia lakukan hari ini. Benar-benar baik kalimat dan wajahnya terlintas di pikiranku. Jika boleh kukatakan sepertinya dukun yang dipakai Byan begitu kuat sampai aku harus memikirkan dia malam ini. Semacam tak ada Dirga atau Om Reza yang gantengnya selangit. Ah, apalagi Om Reza yang tampan sekali, sniper, seragam yang indah, sayang citra Playboynya masih melekat sempurna.