Bagian 7

1023 Kata
“Aku baru saja berpisah dengannya, Bas. Bahkan sekarang aku bingung harus pergi ke mana. Aku tidak memiliki tempat tinggal,” jawab Clarissa bingung. “Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku saja?” Seketika, Clarissa yang mendengar diam dan menatap Bastian lekat. Rasanya aneh ketika dia yang baru mengenal Bastian harus menginap di rumah pria tersebut. Otaknya masih terus berputar, mencari jalan untuk masalahnya. “Aku juga tinggal sendiri di rumah. Jadi, aku rasa kalau ada kamu, rumahku menjadi tidak sepi lagi,” ucap Bastian sembari menatap Clarissa penuh harap. Namun, Clarissa mulai menggeleng dan tersenyum tipis. “Tidak usah, Bas. Aku akan pergi ke panti asuhanku saja. Aku benar-benar tdiak mau merepotkan kamu. Lagi pula, kamu baru mengenalku dan tidak baik memasukan orang asing di rumah kamu,” jawab Clarissa dengan tatapan lembut. “Namun, aku rasa kamu orang baik. Jadi, aku tidak takut kalau kamu akan menyakitiku,” sahut Bastian santai. Clarissa tertawa kecil dan menggeleng tidak percaya. “Aku rasa kamu salah. Aku adalah orang jahat yang bisa saja melukai kamu,” ujar Clarissa dengan tatapan kejam yang dibuat-buat. Bastian hanya tertawa menanggapi ucapan Clarissa. Matanya masih asyik menatap wanita tersebut dan enggan beralih sama sekali. Rasanya, dia merasakan hal lain ketika melihat wajah Clarissa yang jelas begitu cantik bak dewi. Membuat manik matanya betah dan enggan beralih meski hanya sejenak. Clarissa menahan mual yang kembali datang. Dia memilih menidurkan kembali tubuhnya dan menatap ke atap rumah sakit lekat. Memikirkan akan di bawa ke mana anaknya setelah ini. Dia sendri tidak memiliki rumah dan panti asuhan tempatnya tinggal dulu bukanlah tempat yang benar untuk didatangi. Dia enggan membuat bunda yang mengasuhnya menjadi sedih dan kepikiran. “Clarissa,” panggil Bastian lirih, membuat Clarissa menatap ke arahnya. “Kamu tidak berniat memberitahukan ini dengan suami kamu?” tanya Bastian lirih. Dia takut kalau ucapannya salah dan malah menyakiti hati wanita tersebut. Seketika, Clarissa tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Bibirnya masih bungkam dengan senyum tipis, sangat tipis dan bahkan Bastian yang di depannya saja tidak menyadari senyum tersebut. Senyum penuh luka yang membuatnya hampir menitikan air mata. “Kenapa, Riss?” tanya Bastian dengan tatapan lekat. “Tidak perlu,” sahut Clarissa cepat. “Aku masih cukup mampu merawatnya.” Bastian membuang napas pelan dan berdecak kecil. “Aku tahu kamu mampu. Aku tahu kamu orang yang kuat. Namun, bagaimanapun mantan suami kamu berhak tahu kalau dia akan memiliki anak.” “Aku bilang tidak perlu ya tidak perlu, Bas,” tegas Clarissa dengan tatapan serius. Seketika, hening. Bastian yang mendengar hanya diam dan menatap Clarissa dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara marah, kesal dan kecewa. Clarissa yang melihat hanya diam dan enggan berekspresi sama sekali. Bastian membuang napas pelan dan melembutkan tatapan. “Jangan bersikap egois, Riss. Jangan berusaha memisahkan anak dari ayahnya,” lirih Bastian seakan merasakan luka yang begitu sakit. Clarissa tertawa kecil mendengar ucapan Bastian. Egois? Rasanya terlalu jahat ketika seseorang mengatakan bahwa dirinya egois. Dia bahkan hanya mencoba mengobati luka yang sejak lama membuatnya tampak begitu bodoh dan tidak berharaga sama sekali. “Aku bukannya egois, Bas. Aku hanya mencoba membuang semua lukaku,” lirih Clarissa membuat Bastian menatap dengan penuh tanya. “Aku juga yakin bahwa dia tidak pernah mengharapkan bayi dalam kandunganku.” “Maksudnya?” Bastian mengerutkan kening semakin dalam. Clarissa menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Dia menatap pria di depannya dengan luka yang tidak ditahan sama sekali. “Karena sekarang dia sudah bahagia dengan kehidupan barunya. Dia bahagia dengan wanita lain yang juga tengah mengandung anaknya,” jelas Clarissa membuat Bastian semakin diam dengan mata melebar. “Aku hanya mencoba melindungi anakku dari luka yang sama. Dibuang dan tidak dipedulikan sama sekali,” tegas Clarissa dengan tangis yang perlahan turun. Aku mau anakku hidup dengan baik dan bahagia, batin Clarisaa lirih. ***** Sendiri. Itulah yang Aiden rasakan. Matanya menatap rumah megah tempatnya tingggal, mengamati setiap benda yang sudah disusun Clarissa sejak lama. Dia bahkan engan mengubahnya sama sekali. Baginya, apa yang mantan istrinya lakukan adalah hal sempurna dan tanpa cacat. Aiden menatap bingkai foto dirinya bersama dengan Clarissa, terlihat bahagia dengan tawa lebar. Tangannya mengepal melihat foto yang masih terpajang di depannya. “Asih,” teriak Aiden dengan rahang mengeras. Entah mengapa, rasanya terlalu sakit ketika melihat figura sang istri. Mbak Asih yang tengah sibuk memasak di dapur langsung berlari dan menghadap tuan besarnya yang lebih sering memaki dari pada memuji. Rasanya, dia sendiri seperti engggan bekerja di rumah Aiden lagi. “Buang foto itu,” perintah Aiden sembari menunjuk foto pernikahannya. “Aku tidak mau wanitaku salah paham dengan foto itu.” Mbak Asih hanya mengangguk lemah. Dengan cepat, dia menuju ke arah foto di depannya dan menurunkannya. Kakinya segera melangkah ke arah gudang rumah tersebut dan memasukannya di sana. Jujur, jika harus membakar, dia tidak akan sanggup. Itu sebabnya Asih memilih menyimpan dan menatap wajah mantan istri tuannya lekat. Aiden membuang napas pelan dan mulai duduk. Berulang kali dia menarik napas dan kembali mengeluarkannya, berharap kemarahannya akan menghilang seketika. Sampai dering ponsel membuatnya mengalihkan pandangan. Tangannya dengan cepat meraih benda pipih yang terletak tidak jauh darinya dan segera mengangkat panggilan tersebut. “Halo, Sayang,” sapa Aiden sembari menahan emosinya. “Sayang, kamu di mana?” terdengar suara manja dari Elvina di seberang. “Aku di rumah. Kenapa?” jawab Aiden tanpa semangat sama sekali. “Aku mau kamu datang ke rumah. Aku tidak mau sendiri. Aku takut,” keluh Elvina dengan suara yang masih terdengar manja. Aiden membuang napas pelan dan memutar bola mata kesal. “Malam ini aku tidak bisa datang, Sayang. Aku lelah karena banyak sekali yang harus aku kerjakan,” ucap Aiden dengan suara lembut. Dia takut penolakannya akan membuat Elvina marah. “Namun, aku mau kamu datang ke sini. Anak kamu rindu sama papanya. Dia mau tidur dan dipeluk sang papa,” keluh Elvina kembali. Seketika, Aiden yang mendengar mengulas sneyum tipsi dan membuang napas pelan. “Baiklah. Aku akan ke sana sekarang juga,” putus Aiden. Elvina yang mendengar bersorak riang. Aiden yang mendengar menggeleng pelan dan berdecak kecil. Dia mulai mematikan panggilan dan melangkah keluar rumah. Rasanya dia juga enggan berada di rumah yang pernah ditinggalinya dengan Clarissa. Rumah yang meninggalkan banyak sekali kenangan. “Setelah ini aku akan menjual rumah ini dan pindah ke rumah yang baru. Aku enggan mengingat Clarissa yang tidak pernah bisa memberiku anak,” gumam Aiden sembari menjalankan mobil. Aiden mulai keluar dari rumah dan menuju ke rumah Elvina, wanita yang sudah mampu meraih hatinya selain Clarissa. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN