"Hai, Teteh Rima," sapa Satya sambil maju mendekati Zein dan Rima.
"Hai," jawab Rima dengan senyuman manis. Tak peduli yang lainnya masih sedikit syok dengan kehadirannya, Rima tetap melambaikan tangannya dengan semangat.
"Udah, jangan centil. Buruan, ngumpet lagi," desis Zein yang membuat wajah Rima merengut.
Hantu centil itu melipat tangan di depan d**a. Menirukan gerakan Zein yang semakin merasa kesal.
Suara tawa Triska dan Ary, akhirnya diikuti dengan tawa yang lainnya pula.
"Biarin aja, Bang. Mungkin Rima bingung mau ngumpet di mana. Mobil Abang kan nggak ada," sela Triska sambil menepuk lengan kiri Zein, mencoba menenangkan hati kekasihnya.
"Nggak bisa begitu. Mbak Dinar sampai lemas kan. Kasihan," tukas Zein.
Sejenak hening. Semuanya bingung hendak melakukan apa.
"Teteh, ikut sama aku aja, yuk," ajak Satya sambil maju mendekati Rima.
Kemudian, dia menarik ujung lengan gaun Rima yang menjuntai. Mengajak hantu bermata bulat itu untuk mengikuti langkahnya ke kamar.
"Mbak Dinar, ayo, kita masuk," ajak Ayu yang dibalas anggukan lemah Dinar.
Ary dan Chandra membantu menuntun Dinar yang masih lemah. Ayu dan Tia tetap tinggal di dalam kamar Dinar. Mereka merasa masih sedikit takut dengan sosok Rima yang muncul tiba-tiba.
Sementara itu, Ary, Chandra dan Ivan merebahkan diri di atas karpet ruang tengah. Sedangkan Triska bergegas masuk ke kamar mandi.
Zein kembali lagi ke teras. Duduk di kursi sambil memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri setelah tadi sempat merasa kesal dengan Rima.
Mobil SUV berwarna putih mendekat dan masuk ke car port. Parkir di sebelah mobil milik Ary.
Rama keluar sambil bersenandung lagu yang tidak jelas. Menghempaskan b****g ke kursi di sebelah Zein yang masih memejamkan mata.
"Kok sepi? Pada ke mana?" tanya Rama sambil membuka sepatu.
"Yang perempuan pada ngumpul di kamar mbak Dinar. Yang lainnya di ruang tengah. Kalau Satya, lagi pacaran sama Rima," jawab Zein sambil membuka mata. Seulas senyuman terukir di wajah saat menyadari wajah Rama yang memucat.
"Santai euy. Nggak usah panik gitu," seloroh Zein.
"D-dia masih di sini?" tanya Rama sambil celingukan.
Zein tidak menjawab. Dia hanya menggendikkan bahu dengan senyuman melebar. Membuat Rama mulai merinding.
"Bang, katanya mau mandi?" tanya Triska yang berdiri di pintu depan.
"Iya, ini mau. Kutinggal dulu, ya," ucap Zein sambil bangkit dari kursi. Merangkul pundak Triska dan jalan masuk ke dalam rumah.
Selama beberapa menit Rama masih bergeming. Kemudian, dia bergegas masuk ke dalam rumah, menutup dan mengunci pintu. Tidak menyadari bila Rima berdiri di dekat jendela.
Hantu perempuan bergaun cempaka itu mengikuti langkah Rama memasuki kamarnya yang berada di bagian paling belakang rumah.
Gerakannya terhenti saat tatapannya bersirobok dengan sepasang mata tajam milik Zein yang sedang berdiri di depan kamar mandi.
Pria berambut cepak itu menggeleng-geleng. Mengangkat dagu dan memberikan kode agar Rima tidak masuk ke kamar Rama.
Hantu bermata bulat itu menghentakkan kaki sambil bersungut-sungut. Melayang pergi dan menembus dinding depan.
Sejenak dia berdiri di teras sambil memegang buket bunga kesayangan. Menatap langit malam yang dihiasi banyak bintang. Berharap ada keajaiban yang bisa membuatnya hidup kembali.
***
Irwan menatap layar televisi dengan pandangan menerawang. Film romantis yang sedang ditonton itu membuatnya mengingat sosok sang istri.
Mengenang pertemuan mereka yang tidak disengaja di kantor tempat mereka bekerja dulu.
Sosok Rima yang mungil dan berparas manis itu, sejenak mengingatkannya pada sosok sang adik, yang saat itu sedang berjuang sebagai pejuang devisa di negeri seberang.
Semenjak pertemuan pertama itu, Irwan seolah sulit untuk melupakan Rima. Seringkali dia mencuri-curi pandang ke arah gadis bermata bulat yang sangat ramah dan ceria.
Pria berkumis tipis itu tidak berani untuk mendekati Rima, apalagi untuk mengungkapkan perasaan sayang di dalam hati.
Sosok Rima yang sangat populer di tempat kerja mereka, membuat banyak pria yang mendekat dan hendak menaklukkan hati gadis bertubuh mungil tersebut.
Irwan sendiri tidak menyangka bila akhirnya bisa mendekati Rima. Saat itu dia dibantu oleh Yani dan Jihan, dua sahabat Rima.
Kebetulan, kedua gadis tersebut tinggal di kosan yang sama dengan Irwan. Rima yang sering berkunjung ke tempat kedua sahabatnya itu, lambat laun menyadari bila Irwan telah menaruh hati padanya.
Hal itu diungkapkan oleh Yana, saat mereka sedang berkumpul di kamar kosannya.
Irwan yang kebetulan sedang melintas, mendadak menghentikan langkah dan mencuri dengar percakapan ketiga gadis tersebut.
"Masa sih?" ucap Rima.
"Ihhh, dibilangin teh nggak percaya!" sahut Yana.
"Atuh da kang Irwan nggak pernah ngomong apa-apa sama aku. Manalah aku tahu kalau dia naksir sama aku," jawab Rima.
"Kamu sendiri, kumaha?" tanya Jihan.
Mendadak hening. Irwan mengintip dari balik jendela yang gordennya tidak menutup sempurna. Ketiga gadis itu tampak duduk membelakanginya. Pandangan mereka terarah ke televisi yang sedang menayangkan sinetron.
"Aku... sebenarnya juga suka sih sama kang Irwan. Dia berbeda dari yang lain. Kalem, tenang, berwibawa," ujar Rima yang disambut ledekan kedua sahabatnya.
Sementara Irwan nyaris saja melangkah masuk ke kamar dan hendak menyatakan cinta pada Rima. Untunglah di detik-detik terakhir dia sadar, dan bergerak menjauh.
Menyandarkan tubuh ke dinding kamar sebelah. Menenangkan hatinya yang seolah hendak bersorak.
Seulas senyuman tercipta di wajahnya yang dihiasi cambang tipis. Tidak menyangka ternyata Rima juga memiliki perasaan yang sama dengannya.
Lamunan Irwan terputus saat menyadari sosok yang dirindukan itu sudah hadir. Rima duduk di sebelah kiri dan menyandarkan kepala di bahunya.
Isak tangis Rima membuat Irwan menggeser tubuh hingga mereka bisa berhadapan. Tangannya bergerak mengusap wajah Rima yang pucat pasi. Menyusut air mata istrinya dengan ujung jari.
"Kenapa, Sayang?" tanya Irwan dengan lembut.
"Akang, neng pengen hidup lagi," jawab Rima dengan suara berdengung.
Irwan terdiam dan sesaat tertegun. Bingung hendak berbuat apa. Akhirnya pria bertubuh kurus itu menarik tubuh Rima dan memeluknya dengan erat.
Tangan kanannya bergerak membelai rambut perempuan yang masih menjadi ratu dalam hati.
Perlahan isak tangis Rima menghilang seiring dengan kecupan dari bibir Irwan yang menyentuh setiap sudut wajah sang istri.
"Andai akang bisa menukar nyawa agar Neng bisa hidup kembali, pasti sudah akang lakukan sejak dulu," ujar Irwan dengan suara bergetar.
Dua makhluk berbeda alam itu saling beradu pandang. Rima mengusap wajah suaminya dengan penuh rasa sayang. Irwan mendekatkan diri dan mencumbui bibir istrinya dengan lembut.
Langit malam menjadi saksi penyatuan dua insan yang berbeda alam itu. Rinai hujan yang turun seolah melengkapi suasana syahdu yang membuat hasrat Irwan mengalahkan logikanya.
Bercinta dengan hantu istrinya menjadi satu-satunya cara untuk menunjukkan rasa cinta dan kesetiaan. Walaupun hal itu di luar nalar, tapi Irwan tidak peduli.