"Komuk lo ngapa gitu banget deh." Vara mengerutkan alis saat melihat Elisha kembali lagi dengan wajah tertekuk dan mata merah. "Kenapa? Dijahatin dede Gala? Sampe mau nangis gitu."
"Keliliban doang ini," balas Elisha cepat. Dia kemudian melemparkan tasnya ke atas meja dan merebahkan diri di atas sofa dengan santai. Kedua matanya terpejam rapat. Memang benar, Elisha kelilipan di depan tadi. Tiba-tiba ada angin kencang yang membawa serta debu-debu halus. Elisha yang tidak siap langsung terkena getahnya di tempat. "Lo ada obat tetes mata nggak?"
Kening Vara berkerut. Dia kemudian membuka kotak obat yang berada di laci dan mengambil obat tetes mata yang dibutuhkan Elisha. Dia duduk di atas kepala sang sahabat. Tatapannya masih meragu. "Yakin cuma kelilipan doang?"
Elisha membuka mata, dia beringsut naik untuk merebahkan kepalanya di paha Vara. "Tetesin mata gue coba, dua kali. Perih banget soalnya."
"Gimana tadi pertemuannya? Udah dapat tanda tangan?" Tanya Vara setelah meneteskan obat ke mata Elisha.
"Boro-boro dapet tanda tangan. Yang ada malah gue kena serangan jantung!"
"Kok bisa?"
Elisha bangkit dari posisi berbaringnya, kemudian menyilangkan kaki dan menatap Vara lekat-lekat. "Lo inget cowok yang pernah lo ceritain ke gue? Cowok yang nelpon lo buat jemput gue yang lagi teler?"
Vara mengerutkan kening, kemudian mengangguk. "Ah, cowok ganteng yang mirip aktor Korea itu? Inget dong. Mukanya susah buat dilupain soalnya. Kenapa?"
"Ternyata cowok itu Gala, klien gue yang harusnya gue mintain tanda tangan hari ini!" Elisha mendesah frustrasi, sementara Vara menutupi mulutnya terkejut.
"Seriusan?" Dia kian mendekatkan posisinya dengan Elisha. "Terus gimana? Dia maki-maki lo dan permaluin lo balik? Atau lo mohon-mohon sambil minta maaf?"
Elisha menggeleng. "Katanya muka gue cuma mirip, terus dia pergi dengan ramahnya sambil melambaikan tangan. Gue langsung speechles di tempat." Elisha memandang Vara dengan sorot serius. "Apa lo pikir ini masuk akal?"
"Mungkin karena hari ini lo keliatan lebih cantik kali, ketolong make-up." Vara menggedikkan bahu. "Soalnya malam itu lo keliatan kayak nenek lampir sumpah."
Elisha refleks melempar bantal ke arah Vara. "Sialan lo!"
"Yaudah sih, disyukuri aja. Bukannya malah bagus?" Vara menarik turunkan alisnya. "Lo tinggal pura-pura nggak tahu aja dan bersikap profesional kayak biasanya. Oke?"
"Iya sih." Elisha mengangguk. "Tapi gue ngerasa agak bersalah aja."
"Sadar, Elisha." Vara maju dan menggoyang-goyang bahu sang sahabat kencang. "Lo bukan tipe orang yang bakal nyerah karena rasa bersalah. Yang penting tujuan lo naik jabatan bisa terlaksana dengan sempurna. Benar?"
Elisha buru-buru mengangguk, berulang kali. Sorot matanya kini menyala-nyala. "Bener. Yang penting gue bisa bikin Gala tanda tangan kontrak sialan itu, dan gue naik jabatan."
"Nah, ini dia Elisha yang gue kenal!" Vara tersenyum lebar dan menepuk kedua lengan Elisha dengan bangga.
***
Rahma selalu membayangkan kehidupan yang seperti ini. Dia yang menghabiskan waktu di dapur untuk mencoba beberapa resep makanan baru, kemudian datang ke kantor calon suaminya pada siang hari untuk memintanya mencoba masakan yang dia buat. Rahma sering membaca adegan ini dalam bangak n****+ bergenre romance, dan dia senang karena bisa mewujudkan fantasi-nya. Jika calon suami Rahma cuma pegawai kantoran biasa, dia pasti dianggap lebay karena datang di jam makan siang untuk memberikan bekal. Tapi, calon suami Rahma adalah pemilik perusahaan, jadi tidak ada yang berani protes secara terang-terangan. Paling-paling mereka akan bergosip di belakang, dan justru isi gosipnya hanya seputar bagaimana romantisnya Rahma dan Dana.
Ya, mereka memang hidup di zaman di mana kekayaan menjadi tolak ukur kebahagiaan.
Dengan senyum terkembang lebar, Rahma menaiki lift dan menyapa beberapa karyawan yang dia kenal. Nyaris setiap hari Rahma datang ke kantor Dana selama jam makan siang. Karena itulah, Rahma akrab dengan beberapa orang yang sering berpapasan dengannya.
Bunyi dentingan lift terdengar dan pintunya seketika terbuka. Dengan senyum terlukis lebar, Rahma melangkahkan kakinya menuju ruangan Dana. Sebelum itu, Rahma menanyakan keberadaan Dana pada sekertarisnya yang berada di meja depan. "Mas Dana ada?"
"Ada Mbak, silahkan masuk saja," balasnya ramah.
Sekertaris Dana adalah seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, memiliki wajah cantik dan berpenampilan modis. Namanya Kayla. Sejujurnya Rahma merasa was-was dan takut jika suatu saat Dana akan berselingkuh dengan sekertarisinya yang cantik, tetapi Rahma membuang pikiran itu jauh-jauh. Rahma tidak ingin memotong jalan rizki orang lain, jadi dia membiarkan. Selama
Kayla bersikap sopan dan hormat padany atau dengan Dana, Rahma tidak akan mempersalahkannya. Rahma memilih untuk mempercayai Dana.
"Kamu udah dateng?" Dana langsung berdiri dari tempat duduknya begitu melihat Rahma masuk. Senyum berlesung pipinya itu terlukis manis. "Seharusnya kamu nggak perlu dateng setiap hari. Bukannya kamu lagi sibuk sama persiapan resepsi pernikahan kita?"
Dana mengajak Rahma duduk di sofa yang berada di sudut ruangan. Dia mengambil alih paperbag dari tangan Rahma dan menaruhnya ke atas meja. Sambil duduk dengan tenang, Dana membuka paperbag itu dan mengeluarkan beberapa kotak bekal dari dalam sana.
"Nanti rencananya abis ini mau lihat desain undangan nikahan kita," Ada binar bahagia dalam sorot mata Rahma. Dia ikut duduk di samping Dana dan membuka salah satu kotak bekal berisi ayam semur kecap yang tampak gurih dan lezat. "Mas Dana nggak ada request mau desain undangan yang kayak gimana?"
Dana yang sedang mengambil sendok dan hendak menyuapkan nasi ke mulutnya melirik Rahma sekilas. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman. "Aku nggak masalah sih. Selama kamu suka, aku juga bakal suka,"
Rahma balas tersenyum lebar. Dia menatap Dana yang begitu lahap memakan masakan buatan Rahma. Meski dilihat dari samping, Dana tetap terlihat begitu tampan dan memesona. Dia memiliki hidung yang mancung, bibir yang tebal dan seksi, dan juga rahang tegas yang tampak jantan. Fisik Dana adalah sesuatu yang Rahma idam-idamkan. Dia adalah sosok pangeran yang kehadirannya seperti datang dari negeri dongeng.
Bertemu dengan Dana, adalah sebuah anugerah yang selalu Rahma syukuri seumur hidup.
***
Senin pagi yang mendebarkan. Elisha harus menghadap Pak Bram untuk menjelaskan masalah kemarin.
.
“Jadi, kamu nggak berhasil bikin Pak Gala taken kontrak?” Pak Bram berujar tanpa basa-basi sesaat setelah Elisha masuk ke rungannya. Raut wajah pria setengah baya yang nyentrik itu tampak menakutkan. “Kamu nggak mau naik jabatan ya? Masih betah jadi leader?”
“Bukan begitu, Pak. Saya sudah berusaha untuk meyakinkan Pak Gala, tetapi beliau menolaknya.” Elisha memberi alasan paling logis. Tentu saja dia enggak bisa bilang kalau belum bertemu dengan Gala kan?
Elisha akan sangat bersyukur jika Pak Bram melupakan project ini, sehingga Elisha tak perlu bertemu Gala dan mendapatkan alternatif lain untuk naik jabatan. Begitu lebih baik, kan? Memikirkan risiko yang harus Elisha tanggung jika Gala tiba-tiba mengenalnya saja sudah membuat bulu kuduk Elisha meremang.
"Coba lagi," balas Pak Bram, dingin. Begitu pula dengan tatapan matanya yang mirip monster yeti. "Kamu harus meyakinkan Gala bagaimana pun caranya, Elisha. Kalau tidak, saya akan memastikan kamu tidak naik jabatan setidaknya untuk empat tahun ke depan." Ancaman Pak Bram membuat bulu kuduk Elisha meremang. "Pantang menyerah bukan sifat kamu kan?"
Benar. Elisha nyaris tak pernah gagal menangani project yang diberikan padanya. Karena itulah, Pak Bram menaruh kepercayaan yang besar pada Elisha sehingga dia bisa menangani project sebesar ini. Tentu saja, Elisha tak ingin menodai citranya yang membanggakan. Birendra Loka Gala harus Elisha taklukan bagaimana pun caranya. Meski Elisha harus menggunakan cara paling kotor sekalipun.
“Baik Pak. Saya akan mencoba untuk menghubungi Pak Gala lagi dan memastikan beliau tidak akan menolak tawaran saya,” balas Elisha kemudian, dengan nada tegas. Semangatnya berapi-api. “Kalau boleh tahu, sekarang Pak Gala sedang ada di mana?”