48-?Beautiful Eyes?

1459 Kata
_***_ Jalinan persahabatan itu sangat rentan apabila tidak ada saling percaya satu sama lain. Ingatlah, kepercayaan yang kuat akan membawa umur panjang bagi sebuah persahabatan. _***_ Kutapaki satu persatu langkah menuju ke sebuah bangunan di seberang. Aku tak sendiri, ada sosok sahabatku di sampingku. Walau begitu keadaan sedari tadi hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kami terlalu fokus dipikiran masing-masing. Hanya saja aku merasa aneh dengan sosok Wendya hari ini. Terhitung sedari waktu makan siang tadi, ia mendadak menjadi pendiam. Aku tak tau apa sebabnya, namun sepertinya ia sedang memiliki pemikiran yang menganggunya. "Hey, Wen, kenapa?" tanyaku sudah merasa penasaran dengan apa yang Wendya pikirkan. Wendya tak menànggapi. Ia masih berjalan dengan pandangan menunduk. Karena tak ku jung ada sahutan, aku pun berbalik dan menghentikan langkah Wendya. "Aduh," ringisnya begitu ia menabrak tubuhku. "Eh maaf-maaf!" Aku menatap Wendya yang juga menatapku aneh. Ekspresinya kini tak terbaca olehku. "Wen, gue perhatiin lo semenjak ketemu sama Helen jadi sering ngelamun, ada apa sih?" tanyaku kepada Wendya. Jujur saja aku merasa tidak nyaman. Aku akan terus kepikiran jika ternyata ada kata-kataku atau kata-kata Helen yang menyinggung perasaannya tadi. Wendya akhirnya mendongak menatapku dengan tersenyum manis. "Enggak kok, Lis, aku lagi capek aja ini." Sejujurnya aku bisa membaca senyumannya dan tatapannya itu. Senyum itu ada, namun terasa hambar. Beda sekali dengan senyum Wendya biasanya. Dan tatapan Wendya nampak beda, seolah ada kekhawatiran di dalam sana. "Ah ya udah kalau gitu," ucapku kemudian meneruskan langkahku untuk menuju lab kimia. Wendya aku rasa juga melanjutkan langkahnya mengikutiku. Sepertinya jika aku bujuk sekalipun ia tak akan mengungkapkan yang sedang ia pikirkan. *** Jam pelajaran telah berakhir, sekarang waktunya untuk pulang. Aku segera berkemas memasukkan buku-bukuku. "Lis, gue duluan gak papa kan?" Aku menoleh kepada Wendya yang bertanya tadi. Sungguh semakin aneh saja. Ia biasanya akan bertanya aku akan pulang bersama siapa dan biasanya juga ia akan menungguku. "Ah gitu iya, Wen, hati-hati," balasku dengan ragu. Wendya kemudian tersenyum dan pergi begitu saja. Entah mengapa perubahan Wendya terasa ganjil. Aku tentu saja merasakan sekali perubahan itu. Aku hanya bisa berharap semoga Wendya selalu baik-baik saja. "Oy, Lis!" Aku berjengit terkejut mendengar suara Helen yang ada di dekat telingaku. "Astaga, Len. Ngagetin tau," seruku kepada Helen yang tertawa berhasil mengerjaiku. "Hehehe, lo gak pulang?" tanya Helen kemudian duduk di tempat duduk milik Wendya. Aku yang masih mengemasi barangku pun menjawabnya sembari memasukkan buku-bukuku. "Nanti, Len, gue nunggu kakak gue." "Owalah gitu. Sohib lo udah pulang ya?" tanya Helen membuatku menghentikan aktivitasku. Aku berbalik menatap Helen dengan mengangkat salah satu alisku. "Wendya maksudnya?" tanyaku merasa aneh dengan pertanyaan yang Helen ucapkan. "Iya siapa lagi kan." "Ah iya dia pulang duluan tadi. Kenapa?" balasku berbalik tanya. Entah mengapa aku memiliki firasat buruk mengenai hal ini. Bukannya aku su'udzon, tapi entah mengapa nada tanya yang Helen lontarkan tadi terkesan mengejek. "Oh kirain nungguin." Aku tak menjawab jawaban Helen itu dan berakhir dengan keheningan di antara kami. "Lo gak pulang?" tanyaku memulai pembicaraan kembali setelah hening beberapa saat. Raut wajah Helen nampak berubah mendengar pertanyaanku. "Ah bukannya gue ngusir, gue cuma tanya aja," jelasku mencoba menghindari kesalahpahaman. "Gue nungguin lo." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa ini malah membuat terasa canggung. "Eh gak perlu, Len, gue nunggu cuma bentar kok ini. Kak Ken udah otw ke sekolah." "Oh jadi gue gak boleh nungguin lo gitu?" tanya Helen lebih seperti memojokkan. Aku terkejut dengan balasan Helen. Ia sepertinya tersinggung dengan ucapanku tadi. Aku tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi padanya kini. Yang jelas ia lebih sensitif dari biasanya "Eh bukan gitu maksud gue, Len. Aduh." "Jadi setelah lo sekarang udah punya sohib si Wendya, lo lupain gue gitu?" ucap Wendya membuatku semakin kebingungan. Lidahku terasa keluh padahal aku ingin menjelaskan tidak benar apa yang ia ucapkan tersebut. Namun raut wajah Wendya membuatku ketakutan juga untuk menjelaskannya. "Gue gak nyangka lo orangnya kayak gitu, Lis," lanjut Helen membuatku semakin tak sanggup membalasnya. Aku masih syok dengan apa yang ada dipikiran Helen. Bagaimana ia bisa berpikir demikian. Padahal tak ada satu pikiran pun terbesit untuk meninggalkan Helen. Pikiranku menjadi kembali tertuju kepada sikap Wendya hari ini. Apa ia juga berpikir demikian? "Bintang." Atensi kami seketika teralihkan kepada sosok yang kini ada di depan kelas. Di sana ada sosok Radif yang memasang raut tak suka. "Ada apa, Dif?" tanyaku dengan lirih. Aku takut Helen semakin tersinggung akan tingkahku nantinya. Aku tidak tau sepertinya aku kini takut keada Helen. "Kak Ken udah nunggu di depan. Cepet pulang," ucap Radif dengan nada datarnya. Bimbang. Aku tak bisa langsung pergi begitu saja. Aku harus menjelaskan kesalahpahaman ini sebelum semakin panjang. Iya, aku harus menyelesaikannya sekarang juga. "Helen, maaf bukan—" "Apa perlu gue seret lo buat keluar?" Ucapan Radif seketika mengagetkanku. Ia memotong perkataan yang aku tujukan kepada Helen. Nadanya tegas dan suaranya keras. Aku menatap Radif yang nampak menahan emosi. Sebenarnya ada apa dengan dia. "Pulang," ucap Radif sekali lagi. Aku menoleh kepada Helen yang terlihat menatapku tajam. Sepertinya aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, namun Helen sudah menatapku dengan tatapan tak suka. Apa yang harus aku lakukan. Aku menghela napasku panjang. "Helen, maaf gue harus pulang sekarang," ucapku dengan nada pelan. Sepertinya akan lebih baik jika aku menjelaskan kesalahpahaman ini saat suasana hatinya sudah membaik. Aku kemudian berdiri dan mengambil tasku untuk kubawa pulang. Namun saat aku hendak menggendong tas, Helen mendadak berdiri dengan kasar. "Dasar musiman," ucap Helen kemudian pergi meninggalkanku begitu saja. Aku mematung di tempat. Entah mengapa ucapannya sangat tajam walaupun hanya terdiri dari dua kata. Rasanya hatiku sakit mendengar ucapan itu keluar dari mulut Helen, sahabatku. Aku juga tak mengerti air mata tak terasa sudah menumpuk di pelupuk mataku. "Tang," panggil Radif dengan lembut. Mendengar panggilan Radif membuatku tersadar. Satu tetes air mata menetes membanjiri pipiku. Dengan segera aku menghapusnya. Aku t*i ingin Radif mengetahuinya. "Huh. Ayok," ajakku kepada Radif yang masih mematung di depan kelas. Sepertinya kini aku harus bersiap menerima perlakukan tak disangka dari Helen. Aku berharap kesalahpahamanku dengan Helen dapat terselesaikan segera. Semoga. * ** Sepanjang perjalanan pulang aku terus terdiam. Setelah diberitahu Radif bahwa Kak Ken sudah menjemput, aku bergegas pulang bersama Kak Ken. Sedangkan Radif aku tak mekihatnya sedari aku sampai di lobi. Sepertinya ia langsung menuju parkiran. "Dek, kenapa? Ada masalah di sekolah?" tanya Kak Ken yang sadar dengan tingkahku yang tak biasa. "Emmm enggak kak," jawabku singkat. Pikiranku masih melayang kepada kejadian dimana Helen membentakku tadi. "Cerita aja gak papa kali, Dek. Siapa tau kakak bisa bantu." Aku pun menoleh kepada Kak Ken yang sedang menyetir. Aku masih menimang-nimang apakah aku harus bercerita sekarang atau tidak. "Kak, kenapa ya tiba-tiba sahabat kita malah jadi gak suka ke kita?" tanyaku memulai cerita dengan bertanya. "Mungkin kamu ngelakuin kesalahan? Atau kamu ngelakuim sesuatu yang gak disukai sahabatmu?" respon Kak Ken. Aku menggeleng. "Entahlah, Kak, padahal seinget Lista, Lista gak ngelakuin apa-apa. Bahkan kami baru bertemu lagi beberapa jam yang lalu." "Pokoknya aneh banget deh, Kak, hari ini tu. Wendya juga mendadak aneh tingkahnya hari ini. Cenderumg pendiem kalau sekarang, Kak. Lista jadi bingung sendiri harus kayak gimana," lanjutku. Kak Ken tampak berpikir. "Hemm sepertinya Kak Ken tau apa yang terjadi. Masalah persahabatan dan kesalahpahaman sih ini," ucap Kak Ken sok misterius. "Kasih tau Lista, Kak. Lista bingung," mohonku kepada Kak Ken. Namun sepertinya mustahil. Kebiasaan Kak Ken apabila aku curhat dengannya, ia memang selalu memberikan solusi namun hanya setengah saja. Ia selalu berdalih untukku memahami dan menemukan jalan keluarnya sendiri. Aku harus belajar dewasa dalam menyikapi masalah, katanya. "Sepertinya kamu sudah tau jawabannya, Dek," jawab Kak Ken terkekeh kecil. Aku hanya cemberut. "Tau gitu gak usah cerita," gerutuku. Kak Ken kembali terkekeh geli menyadari keputusasaanku. "Yang harus kamu lakuin adalah coba pahami situasi dan perasaan kedua sahabatmu." Aku menghela napas kembali. Aku rasa ini bukan hanya kesalahpahaman antaraku dengan Helen, melainkan juga kepada Wendya. Dan bisa jadi kesalahpahaman antara Wendya dan juga Helen. Ah, jika seperti ini membuatku semakin pusing saja. Harus memikirkan masalah ini dan juga harus memikirkan bagaimana menghadapi Wendya dan Helen esok hari. "Capek deh, Kak. Pengen angkat tangan aja deh rasanya," ucapku kepada Kak Ken yang masih menertawakanku. "Jangan nyerah dong, itu namanya perjalanan persahabatan. Wajar kali kayak gitu. Kamu sih mending ya cewek gak seekstrem cowok. Kalau kakak dulu sampai adu jotos tau," cerita Kak Ken membuatku bergidik. "Hihh jangan sampe ya Allah!" "Makannya sabar. Memperjuangkan sebuah persahabatan itu lebih sulit daripada memperjuangkan hati wanita yang sudah menjadi milik orang lain," celetuk Kak Ken yang sontak membuatku menoleh geli. "Bucin terus Kak Ken mah!" seruku menatap Kak Ken geli. Kak Ken malah semakin tertawa lebar dan tentu saja aku pun juga ikut tertawa. Tingkah Kak Ken yang demikian memang biasa dilakukannya. Di bisa menghiburku namun dengan caranya yang tak terduga dan tentu itu yang sefang aku butuhkan. 'Terima kasih, Kak.' Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN