55-?Beautiful Eyes?

2216 Kata
Ikutilah kata hatimu karena di sanalah kamu akan menemukan keinginanmu sesungguhnya yang harus kamu turuti. _***_ Radif's POV Seusai aku menyeret Helen menuju tempat yang lumayan jauh dari tempat Bintang dan Wendya, aku pun melepaskannya. Ia nampak terkejut melihatku yang mau-maunya menyeretnya sampai sejauh ini. Namun sepertinya ini waktu yang tepat untukku menyadarkanya. Hitung-hitung itu tadi sebagai bentuk pencegahan untuknya berbuat lebih lagi. Karena akan semakin sulit memperbaiki hubungannya dengan Bintang jika sampai Bintang mengetahui Helen yang mengancam Wendya. Aku percaya sekarang Wendya tidak akan mengungkapkan kejadian sebenarnya, jadi sebelum semua terlambat aku harus menegurnya. Tapi sepertinya tak akan mudah meyadarkan sosok seperti Helen. Apalagi ia kini malah sudah bergauk dengan Era. Butuh gertakan untuk bisa menyadarkannya. "Len, Gue tahu lo selama ini memengaruhi Wendya supaya jauh dari Bintang kan? Dengan begitu lo bisa deket lagi sama Lista. Cih, pemikiran lo kekanak-kanakan banget sih, Len. Plis lah kita udah mau lulus pikiran lo masih kayak gitu," sungutku merasa emosi dengan ucapan Helen yang sembarangan. Kini langkah Helen terhenti mendengar penuturanku. Sudah aku duga ia pasti akan terkejut rencananya yang diketahui olehku. "Pasti si Wendya itu kan yang ngasih tau lo? Dasar tukang ngadu!! Cih!" ucap Helen tanpa berbalik kemudian hendak meneruskan langkahnya. Aku tersenyum menyeringai. Sebelum ia melangkah jauh, aku harus membeberkan fakta mencengangkan. "Udah gue duga lo bakalan bilang gitu. Sayangnya lo salah. Justru orang yang ngasih tau gue adalah orang yang baru-baru ini lo percaya," lanjutku berusaha memprovokasinya. Langkahnya kembali terhenti tanpa kata. "Hahaha bener apa yang ada di pikiran lo, Len. Orang yang ngasih tau gue itu Era!" (Flashback On) Satu hari sebelum kejadian Pada waktu bel pulang sekolah terdengar, aku bergegas untuk pulang. Namun saat aku sedang berjalan menuju parkiran, ada pesan dari papa yang memintaku untuk ke ruangannya. Karena tak mau berbasa basi lagi, aku kemudian berbalik menuju kantor papa. Sesaat sebelum aku sampai di ruangan kepala sekolah, aku melihat sosok yang kukenal dari kejauhan. Ia berjalan berlawanan arah denganku. Aku sempat berhenti sejenak memikirkan sesuatu. Sampai saat jarak kami sudah dekat, tak ada tanda-tanda sosok tersebut bereaksi. Tak seperti biasanya ia mengabaikanku. Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan. Saat kami berpapasan, aku membisikan sebuah perkataan yang sejak lama ingin aku tanyakan. "Apa hubungan lo sama Helen?" bisikku tepat di depan telinganya. Langkahnya terhenti dan aku pun ikut berhenti. Ia nampak tertawa pelan mendengar pertanyaanku. Sepertinya ini memang yang ia harapkan. "Udah gue duga lo bakalan kasih pertanyaan itu, Fau," jawabnya dengan seringaian tipis. Aku tak menunjukkan ekspresi apapun. Membiarkannya bertingkah sesenangnya kali ini. Karena jika aku menanggapi dengan amarah pun akan percuma. "Jadi lo udah nyiapin jawaban dong," serobotku ikut menanggapi tingkah sinisnya. Sosok itu membalikkan badannya sehingga kini kami saling berhadapan. Pandangannya sinis dan senyuman menyeramkan tercetak di sana. "Apa urusan lo sama Helen? Sekarang lo udah pindah haluan ke Helen? Gak ke Bintang bintang lo lagi?" Tanganku mengepal kuat. Rasanya amarahku sudah meletup-letup mendengar ucapan remehnya itu. Jika saja ia bukan cewek, mungkin aku sudah melayangkan bogem tanganku diwajahnya. Tapi aku harus sabar, belum waktunya untuk melampiaskan emosi. "Lo pasti menghasut Helen kan?" Ia tertawa keras. "Lucu banget dah. Ngapain gue repot-repot ikut campur masalah mereka. Apa untungnya buat gue juga. Tapi emang bener sih sekarang Helen sedang berusaha menghancurkan orang-orang yang deket sama Bintang," jelasnya membeberkan informasi yang memang ingin aku dapatkan. Dan sekarang tentu sudah jelas semuanya. "Jadi bener rusaknya hubungan Bintang sama Wendya itu karena ulah Helen?" "Ups keceplosan. Sepertinya gue udah berbicara terlalu banyak. Gue harap sih cewek pengemis perhatian itu bisa jauh-jauh dari gue. Gue masih ada urusan, bay-bay Fauzan-ku." Era pergi begitu saja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Sedangkan aku hanya diam membiarkan ia pergi, toh semua informasi yang aku butuhkan telah aku ketahui. Dan aku sepertinya harus cepat mencegah semuanya menjadi semakin rumit. Aku merasa tak tega melihat Bintang yang di jauhi sahabat-sahabatnya. Cukup aku saja yang merasakan pahitnya dijauhi orang-orang yang dipercayai. (Flashback Off) "s**t!!" umpat Helen merasa kesal telah dihianati Era. Nampaknya akan ada perang dunia ketiga antara Helen dan Era. "Udah gue bilang kan, lo salah bergaul dan langsung mempercayai Era. Era itu perempuan licik dan juga egois." Helen sejenak tal menjawab apapun, namun kemudian tanpa kata berlari meninggalkanku. Aku mengerti bagaimana perasaan Helen sekarang. Ia pasti sedang sangat kecewa dengan Era. Era memang sudah keterlaluan. Namun aku melakukan ini demi kebaikannya juga, aku tak ingin Helen menjadi seperi Era. Aku harap ia menyadari kesalahannya dan bisa kembali menjadi Helen yang dahulu. Menjadi Helen yang mengerti artinya sahabat dan selalu setia kepada temannya, terlepas dari apa yang telah ia lakukan dahulu. "Huh, bertengkarnya cewek tu emang nyeremin ya," gumamku dengan menghembuskan napasku lega. Tanpa kuduga hari ini penuh kejutan. Banyak kejadian diluar ekapektasiku yang terjadi. Aku sepertinya bisa merasakan kisah persahabatan Lista akan membaik. Awalnya aku juga tak menyangka ucapanku kepada Wendya tadi, ternyata mampu mempengaruhinya. Mengingat tindakan Wendya yang cukup berani tadi di kelas. Tentu itu sebagai bukti nyata bahwa kini ia mengikuti kata hatinya. (Flashback On) Hari ini aku berencana untuk menghentikan Helen. Aku harus membuatnya sadar akan tindakannya tersebut. Namun aku harus menemukan momen yang tepat. Pelajaran pertama adalah bahasa indonesia. Sepertinya akan sulit untuk berbicara langsung dengan Helen, karena ia terlihat sangat menempel dengan geng centil yang baru-baru ini sangat dekat dengannya. Pandanganku tak sengaja menangkap ke bangku Bintang dan juga Wendya. Nampaknya mereka masih saling menjaga jarak. Sepertinya pengaruh Helen kepada Wendya itu membawa dampak besar kepada Wendya. Entah ancaman apa yang Helen tujukan kepada Wendya hingga Wendya sampai tidak bisa berkutik untuk menentangnya. "Cewek tu kayaknya suka memperumit masalah dah. Tapi wajar sih cewek kan lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Huhuhu untung gue terlahir sebagai cowok," gumamku dengan lirih agar teman sebangkuku Dito tak mendengarnya. Sewaktu aku menuju ke kantin pada jam istirahat, tiba-tiba saja ada seseorang yang memukulku dari belakang. Aku kira ada seseorang yang berniat jahat kepadaku namun ternyata itu ulah Bintang yang membalas dendamnya. Lucu sekali ia menimpuk punggungku dengan buku n****+ yang tidak seberapa tebal. Ia mengatakan kata-kata yang membuatku terus terkekeh geli sepanjang berjalan menuju kantin. Dia pikir n****+ sekecil itu akan membuatku jera. Hahaha tentu saja tidak. Dan seketika itu juga aku mendapat ide untuk menjahilinya sekali lagi. Selepas dari kantin, aku berusaha mencari keberadaan Bintang namun nihil aku tak menemukannya di mana-mana. Karena sudah terlalu lelah, aku pun memutuskan untuk menyerah. Namun saat aku hendak kembali ke kelas, aku melihat sosok Wendya yang terlihat tengah terduduk dalam lamunnya. Tanpa basa-basi aku mendekat ke arahnya itu. "Wen?" Ia nampak berjengit terkejut menyadari kehadiranku. "Eh Radif? Mau nyariin Lista?" jawabnya dengan gugup. Aku menggeleng. "Kayaknya gue ada perlu ngomong dikit deh sama lo." Aku membaca gerak-gerik Wendya yang sepertinya sedang cemas. Aku menduga ini ada hubungannya dengan ancaman yang Helen sampaikan kepadanya. Sepertinya aku harus sedikit ikut campur di sini. "Ah iya boleh silahkan ngomong aja." "Gue saranin ikuti kata hati lo, Wen. Bukannya gue mau ikut campur urusan lo, tapi dari pada semua kekhawatiran ngebuat lo gak tenang, lebih baik omongin secara baik-baik. Jujur sama perasaan lo sendiri. Gue yakin Bintang bisa ngerti apa yang sedang lo rasain," ucapku enggan bertele-tele. "Maksudnya? Aku gak paham sama apa yang kamu omongin," jawab Wendya yang kebingungan. "Lo lagi bingung sama perasaan lo kan? Lo sebenernya masih peduli, cuma lo berusaha menghindar dan nutupin rasa peduli lo sama Bintang karena sesuatu kan?" Raut wajahnya menampakkan keterkejutan. Sepertinya ia sudah paham dengan apa yang aku bicarakan. Aku menghela napas pelan. "Apa iya ikatan persahabatan kalian cuma sekuat ini? Gimana bisa rasa kasih sayang sebagai sahabat yang udah lebih dari satu tahun kalian bangun bisa terkalahkan oleh sebaris kalimat ancaman?" "Gue sebenernya gak mau ikut campur, cuma gue udah muak dengan arti persahabatan yang selalu Bintang bangga-banggakan. Jujur aja gue gak percaya dengan yang namanya persahabatan, tapi Bintang selalu berusaha buat ngeyakinin ke gue kalau sahabat sejati itu ada. Dan gue nggak nyangka persahabatan yang selama ini Bintang bangga-banggakan ternyata sebenernya serapuh ini. Lo mau ngecewain Bintang yang selalu membangga-banggakan persahabatan kalian? Kalau gue jadi lo sih gue udah ngerasa jahat banget sih," lanjutku berusaha menyadarkannya akan arti persahabatan yang aku tahu dari Bintang, padahal aku sendiri tak terlalu percaya arti persahabatan itu sendiri. Wendya nampak terus terdiam dan menunduk sepanjang aku mengutarakan pendapatku. Sepertinya ia menyadari apa yang sedang ia lakukan. "Emmm bentar lagi bel, gue mau ke kelas dulu. Sukses ya buat persahabatan kalian," seruku sebelum meninggalkan Wendya sendirian. Semoga apa yang aku ucapkan bisa menjadi pertimbangannya untuk melangkah. Dan benar saja baru juga aku memasuki kelas, bel sudah berbunyi. Mata pelajaran selanjutnya adalah matematika yang artinya jangan sampai terlambat masuk kelas, kalau tidak bisa-bisa menyesal sepanjang mata pelajaran berlangsung. "Woy, Dif, cepetan masuk kelas!" seru Dito yang sudah bersiap duduk ditempatnya. Aku terkekeh geli mendekati mejaku. "Rajin amat, Bro, biasanya suka nelat masuk kelasnya." "Idih gue ogah banget ya jadi 'santapan' Bu Pika. Gue aja sampe nahan laper biar gak telat masuk kelas," jawab Dito dengan bergidik. "Trauma lo yah, hahaha." "Bukan lagi trauma, Dif, udah phobia kali gue." Aku lantas tertawa keras menyadari Dito yang sampai kapok terlambat mengikuti kelas Bu Pika. Tak bisa dipungkiri hukuman akibat terlambat masuk kelas cukup membuat semua orang jera. "Assalamu'alaikum, Anak-anak!" Seorang wanita baru saja memasuki kelas. "Wa'alaikumussalam, Bu!" jawab kami serempak. Baru juga diomongin, Bu Pika pun datang. Memang Bu Pika ini adalag guru terdisiplin di SMA ini dan namanya pun sudah melegenda di kalangan siswa, jadi tak heran jika semua akan siswa akan bersiap sebelum bel berbunyi. "Apa kabar kalian semua?" tanya Bu Pika lagi seperti biasa berbasa-basi terlebih dahulu kepada siswanya. "Baik, Bu." "Alhamdulillah, Bu." "Bagus kalau gitu udah siap kuis kan anak-anak?" ujar Bu Pika yang sontak membuat satu kelas terkejut. Aku mengangkat tanganku ingin bertanya. "Maaf, Bu, bukannya kuisnya udah minggu kemarin? Dan hari ini tidak ada pemberitahuan kuis, Bu? " Teman-teman satu kelasku pun ikut menanggapi. "Iya, Bu, gak ada kuis." "Masa dadakan sih, Bu?" "Jangan kuis lagi, Bu." Begitulah beberapa tanggapan keluhan yang mereka sampaikan. "Tenang ... tenang .... ibu bercanda anak-anak. Kalian kelihatan tegang begitu," kata Bu Pika membuat seisi kelas merasa lega. Jujur saja aku juga tidam belajar apapun untuk matematika hari ini. Aku terlalu malas memecahkan persoalan angka itu. "Ibu bikin saya jantungan," tanggap Dito yang wajahnya tadi semoat memucat. "Hahaha makanya anak-anak santai aja wajahnya. Kita hari ini belajarnya santai-santai aja kok. Tapi sebelum itu kita absen dulu ya." "Baik, Bu!" Bu Pika pun mulai mengabsen kembali. Terdengar tak biasa memang, namun begitulah ciri khas pembelajaran Bu Pika. Walaupun ada di jam terakhir, sebelum mengawali pembelajaran ia selalu melakukan pengabsenan teelebih dahulu. "ADILLA BRIANI?" "Hadir, Bu!" "AMANDA KRISTIA?" "Hadir, Bu!" "BANI SYAPUTRA?" "Hari ini tidak masuk, Bu, dikarenakan sakit," jawabku sebagai penanggung jawab kehadiran. "CALISTA BINTANG?" Eh iya ngomong-ngomong Bintang, aku belum melihat ia memasuki kelas. Aku menoleh kepada bangku Bintang yang masih kosong. "Heh?! Bintang kemana dah?" gumamku. "Tumben banget Bintang telat. Lo ketemu Bintang tadi dikantin?" tanya Dito yang sama terkejutnya denganku. Aku menggeleng. Sedikit cemas apabila nanti ia telat masuk kelas dan merasa ganjil kenapa ia belum memasuki kelas. Padahal ia sudah tau kalau jangan sampai telat mengikuti kelas Bu Pika. "Calista gak hadir? Tapi kok ada tasnya?" tanya Bu Pika kembali. Suasana sejenak hening dan aku yang merasa cemas tak bisa memikirkan apa-apa untuk menyelamatkan Bintang. Kemudian ada seseorang yang mengangkat tangannya. "Calista tadi izin ke saya mau mengambil obat ke UKS, Bu. Sepertinya ia masih ada di UKS." Aku sejenak berpikir sepengelihatanku tadi Bintang terlihat sehat-sehat saja. Bahkan ia masib mampu memukulku. Tapi kenapa? Jika orang sakit, tak mungkin bisa mengeluarkan tenaga sekuat itu. Aku menoleh kepada sumber suara dan ternyata itu adalah Wendya. Pemikiran liarku seketika muncul. Apa mungkin Wendya mengarang cerita karena ia ingin menolong Bintang? Tapi sepertinya ia tadi masih bimbang teehadap perasaannya sendiri. Tak lama setelah itu, ada seseorang yang mengetuk pintu. "Masuk!" teriak Bu Pika mempersilakan sessorang itu untuk masuk. Dan ternyata itu adalah Wendya. Ia nampak berkeringat banyak dan berwajah pucat. Sepertinya ia memang sakit. Tapi mengapa ia tadi malah repot-repot membuang tenaga untuk memukulku. "Permisi, Bu," ucapnya kemudian mendekat kepada Bu Pika. "Loh kamu udah baikan, Calista?" tanya Bu Pika yang masih mampu aku dengar. Melihat perubahan raut wajah Calista membuatku berpikir lain. Bukannya menjawab, sepertinya ia malah terkejut menghadapi pertanyaan Bu Pika. "Tadi Wendya sudah menjelaskan kalau kamu ke UKS ngambil obat pusing kan. Ibu kira kamu akan absen dan istirahat di UKS." Yash! Kayaknya gue tau sebenae Rnya alasan yang Wendya berikan tadi itu hanyalah karangannya saja. Entah mengapa aku bisa semakim yakin begitu melihat Bintang yang nampak memasang raut bahagia sepanjang ia berjalan menuju tempat duduknya. Namun siapa yang tahu kan? Aku harap itu pertanda baik untuk hububgan mereka. Jika benar Wendya memilih mendengarkan suata hatinya, akan semakin mudah mereka untuk saling berbaikan. Aku harap seperti itu. (Flashback Off) "Sepertinya Bintang akan semakin membanggakan sahabat sejati dan berusaha keras mengubah pandangan gue akan persahabatan." Aku terkekeh sendiri menyadari ucapan Bintang yang sangat ia yakini itu sepertinya akan mengubahku sebentar lagi. Aku kemudian melangkahkan kakiku untuk pulang. Sudah cukup aku mencampuri urusan banyak orang hari ini. Hahaha jika Dito tau apa yang sudah aku lakukan, pasti ia akan mengejekku. Karena mencampuri urusan orang lain itu bukanlah diriku. Tak apalah selagi baik. Lagi pula aku sudah muak melihat Bintang si cewek periang itu selalu murung sendirian. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN