50-?Beautiful Eyes?

1514 Kata
_***_ Coba bukalah pandanganmu. Kita hidup di dunia mau tidak mau harus berdampingan dengan orang-orang jahat. Entah mereka berbuat jahat secara terang-terangan atau malah berbuat jahat secara diam-diam. Kita perlu waspada untuk bisa bertahan hidup. Tapi kita juga harus percaya bahwa Allah akan selalu melindungi kita. _***_ Tangga demi tangga aku turuni dengan perlahan. Usai aku dan Radif berbincang, kami memutuskan untuk segera pulang. Iya karena memang sudah tak ada urusan di sini, aku harus segera pulang. Aku juga harus mencari angkutan umum karena Kak Ken tak bisa menjemput. Oleh karena itu sebelum jam empat, aku harus sampai di halte. "Lo dianter Kak Ken?" tanya Radif di depanku. "Iya biasa lah," jawabku santai. "Lagian lo sih demen banget bikin orang khawatir. Pasti ada aja kejadian yang menyangkut nyawa. Inget, Tang, lo bukan kucing yang punya nyawa sembilan," ucap Radif yang membuatku tertawa terpingkal. "Ya mana gue tau, Dif. Gue juga gak mau kali celaka terus. Kalau gini terus bisa-bisa jantung gue yang kena," celetukku melontarkan candaan. Aku masih saja tertawa sedangkan Radif malah terdiam entah mengapa. Dia terus berjalan dan aku pun terus mengikutinya. Namun entah apa yang ia temui di depannya, mendadak ia menghentikan langkahnya. Aku yang tak menyadari pun harus menubruk tubuh tingginya. "Aduh! Ada apa sih, Dif!" seruku terkejut sekaligus kesakitan. Bukannya menjawab, ia malah menarik tanganku untuk bersembunyi dibawah tangga. Aku tadi yang terkejut dan hendak berteriak pun dibekap oleh tangan Radif. "Diem!" bisik Radif menggeram sembari melihat kearah karidor yang akan kami lewati. Aku ikut menelisik tatapan Radif. Yah tentu saja aku penasaran ada hal apa yang menyebabkan Radif memaksaki bersembunyi. Dan betapa terkejutnya aku ternyata di sana ada dua orang siswi yang tampak berbincang. "Era? dan ... " "Helen." Mendengar jawaban Radif membuatku spontan menutup mulutku. Aku tak menyangka Helen akan berbincang bersama Era. Aku hanya merasa ini bukanlah hal yang baik untuk Helen. "Mereka ngapain?" tanyaku masih tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku. Radif mengendikan bahunya. "Siapa yang menyangka?" ucap Radif menatap lurus tempat Era dan Helen berbincang. Entah mengapa hatiku menjadi gelisah ketika melihat mereka bersama. Ada pemikiran buruk yang kini aku rasakan. Dan juga aku masih merasa ini bukanlah keinginan Helen. Aku percaya Helen tak akan melakukan sesuatu yang buruk. "Lo pasti gak percaya kan?" Aku masih terbengong menatap mereka dari kejauhan. Aku rasa mereka sudah berkawan akrab. "Lo harus bisa menerima kenyataan kalau sahabat lo bakal berbalik menyerang lo," celetuk Radif membuatku langsung menatapnya tajam. "Enggak! Helen bukan orang kayak gitu! Ini pasti cuma salah paham aja, Dif!" sangkalku membentak Radif dengan berbisik. Ia nampak terkejut mendengar responku. Namun kemudian ia menatapku intensif. Aku tak mengerti ia menyimpan apa, tapi sepertinya ia selalu mencoba meyakinkanku kalau Helen tidak seperti yang aku ketahui. "Kenapa sih lo kayak percaya banget sama yang namanya persahabatan?" tanya Radif. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaanya. Rasanya tak masuk akal ia menanyakan hal itu kepadaku. "Gue percaya karena mereka yang selalu ada di saat gue susah. Gue udah buktiin sendiri mereka mau nerima gue apa adanya," balasku menatap lurus kepada Era dan juga Helen. "Cih, lo gak tau apa yang sebenernya mereka rasakan, Tang." Aku kembali menatap Radif tak percaya. Apakah ia tak percaya dengan yang namanya persahabatan? "Dif, gue gak tau apa yang terjadi dengan persahabatan lo, tapi lo gak bisa menggeneralisir semua orang. Lo gak bisa mengangkap persahabatan itu hanya omong kosong," kataku yang semakin kesal dengan pemikiran Radif yang entah mengapa menjadi seperti ini. Radif malah tersenyum sinis menatap ke arah lain. "Gue sedang mencoba berpikir realistis, Tang. Gue tau gak ada salahnya percaya dengan persahabatan, tapi lo gak boleh menaruh kepercayaan penuh kepada mereka kalau lo gak mau terjebak dengan perasaan lo sendiri." Aku kini hanya bisa terpaku menatap Radif yang tengah serius. Entah mengapa perkataannya seolah memecut hatiku. Tanganki mengepal kuat. "Mungkin ucapan lo bener. Tapi ini kehidupan gue, gue akan selalu percaya dengan yang namanya persahabatan." "Meskipun lo dihianati sama sahabat lo sendiri?" tanya Radif dengan senyum sinis dan mengangkat satu alisnya. "Lo harus realistis, Tang. Lo hidup di dunia bukan di syurga. Gak semua orang bisa memperlakukan lo dengan baik. Lo juga harus inget Allah Maha Membolak-balikkan hati. Kalau lo selalu menyangkal adanya orang jahat di sekitar lo, mungkin lo bakalan mati di tangan orang yang lo percaya," lanjutnya Lagi-lagi aku hanya bisa terpaku mendengar ucapan Radif. Sebenarnya aku masih percaya dengan namanya ikatan persahabatan, namun seperti ucapan Radif itu kita juga harus berpikir realistis bahwa seseorang bisa sana berubah seiring berjalannya waktu. "Termasuk lo?" tanyaku spontan. "Mungkin saja. Gue gak yakin bakalan selamanya kayak gini, pasti ada saatnya nanti gue menemui titik terendah untuk berubah. Dan gue ingetin sekali lagi, Helen yang sekarang bisa saja sudah berubah menjadi sosok yang tak akan terpikirkan lagi oleh pikiran lo." Aku sudah tak sanggup membantah. Namun satu hal yang masih aku pegang teguh dan harus aku pegang teguh adalah keberadaan ikatan murni persahabatan terlepas dari berubahnya seseorang. Mungkin ucapan Radif sekarang hanya ingin memprovokasiku untuk tidak percaya lagi dengan yang namanya persahabatan. "Gue bakalan buktiin kalau sahabat sejati itu ada!" seruku kepada Radif. Ia nampak tersenyum remeh kembali. Sepertinya ia memang sudah tidak percaya dengan yang namanya sahabat sejati. Aku tersenyum membalas tatapan remeh yang Radif berikan. "Gue emang gak tau apa lo pernah dihianati sahabat lo sendiri, tapi gue bakal yakinin lagi bahwa sebenarnya sahabat sejati itu ada." "Oke gue tunggu hasil lo, Tang," jawab Radif membuatku sedikit merasa ringan. Entahlah aku tak tau mengapa kini hatiku malah terasa senang. Aku lantas tersenyum menatap keberadaan Era dan Helen. Ini semua memang salah gue. Gue bakal bawa lo ke jalan yang benar, Len. *** Aku terus berjalan menyusuri karidor sekolah di temani Radif yang masih ada di sampingku. Setelah perbincangan tadi selesai, Era dan Helen pun tanpa kami sadari sudah pergi dari tempatnya juga. Ada rasa lega di hatiku melihat mereka sudab bubar, namun masih ada sedikit kekhawatiran terkait apa yang sebenarnya mereka perbincangkan. "Kalau jalan lihat-lihat woy!" seru Radif yang membuatku terkejut. Pandanganku yang sedari tadi menatap ubin pun terangkat. Aku baru menyadari ada sebuah kursi yang melintang di karidor. Aku melihat kaki Radif menghalau kakiku untuk melangkah. "Eh makasih, Dif," ucapku kemudian menghindari kursi yang melintang itu. "Masih kepikiran soal tadi pasti," tebak Radif. Tebakannya tepat. Aku masih memikirkan bagaimana jika apa yang aku pikirkan menjadi kenyataan mengenai Helen dan Era. "Kalau lo percaya harusnya gak perlu khawatir sih," celetuk Radif yang membuatku tersadar. Aku sudah mrmpercayainya, tidak seharusnya aku ragu. "Oh iya akhir-akhir ini gue lihat-lihat Wendya sering sendirian gak sama lo. Ada masalah lagi kah?" Oh iya, ya Allah saking fokusnya adek kepada Helen hingga aku melupakan Wendya. Sungguh buruk sekali aku hingga melupakannya. Padahal aku juga harus meminta penjelasan dari Wendya mengenai kenapa ia seolah menjauhiku. "Gue juga gak tau, Dif, tiba-tiba Wendya kayak sengaja ngasih jarak ke gue. Gue tanya berulang tapi dia gak jawab jujur. Gue kan bingung harus kayak gimana," curhatku mengenai pandanganku terhadap Wendya. Radif lantas menghela napas berat. Ia sepertinya sama pusingnya denganku. "Huh, perasaan masalah lo gak abis-abis deh, Tang. Kayaknya lo emang kurang peka sama sekitar." Aku seketika menoleh kearahnya. Apa maksud dari kurang peka sama sekitar? Apa aku tidak peka dengan perasaan Wendya. "Kenapa sih, Dif, coba jelasin deh. Gue gak paham apa yang gue gak peka," bujukku mencoba memintanya menjelaskan apa yang ia pikirkan. "Biar lo tau sendiri deh, Tang. Gue capek mengelihat masalah lo nambah mulu." Sontak saja aku langsung menghadang langkahnya. "Ayolah, Dif, kasih tau gue. Masa lo mau kayak Kan Ken sih," ucapku dengan merentangkan tanganku menghadang laju jalannya. Akhirnya ia berhenti melangkah. "Emangnya kakak lo kenapa dah?" tanya Radif akhirnya. "Kak Ken gak ngasih tau gue. Padahal gue yakin dia tau apa yang sebenernya terjadi sama temen-temen gue. Dia selalu bilang kslau gue harus cari tau sendiri biar bisa cepet dewasa. Jadi ayolah, Dif, kasih tau gue clue-nya aja deh gak papa. Otak gue udah buntu dari kemarin mikirin masalah ini," balasku menceritakan peristiwa di mobil kemarin. Bukannya menjawab, Radif malah tergelak. Ia nampak tertawa puas sembari menunjuk-nunjuk wajahku. Aku yang diperlakukan demikian pun semakin cemberut. "Radif ihh malah ketawa!" "Hahaha bener kok apa yang Kak Ken bilang. Kalau lo gak bisa mecahin masalah lo sendiri, gimana bisa dewasa coba," jawab Radif masih dengan tawaan kesenangannya itu. "Aaa Radif ayo dong kasih tau gue clue-nya aja deh," bujukku kembali. Aku harap ia mau memberi tahuku walaupun hanya sebuah kalimat saja. Aku sudah berpikir berulang kali, namun tak menemukan hasil apapun. Semuanya terasa seperti benang kusut yang harus aku gunakan untuk menjahit. Radif seketika terdiam dan menatapku serius. Aku yang menyaksikannya pun memiliki firasat baik. Sepertinya Radif memang termakan bujuk rayuku. Ia pasti akan memberikan petunjuk. Kami sama-sama terdiam. Ia masih menatapku serius sedangkan diriku hanya bisa berharap-harap cemas ia mengatakan petunjuk itu. "Gak lo harus cari tau sendiri, Bocah!" ucap Radif sembari menyentil keningku kemudian ia berlari menjauhiku. Sepersekian detik aku mencoba menela'ah apa yang Radif lakukan hingga aku pun tersadar telah dibodohi olehnya. "RADIFFFF!!! AWAS LO YA!!" teriakku mengejar Radif yang sudah berada jauh dari tempatku. Awas saja kau Radif, kau akan dapat ganjarannya! TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN