13-?Beautiful Eyes?

1254 Kata
_***_ Dia hanya sekedar peduli. Janganlah mudah luluh, wahai hati. Aku tak mau harapan berlebih dan membuat hati terlampau perih. _***_ Calista's POV "Aku mau nawarin kamu buat publish tulisan kamu di platform digital," kata Wendya yang langsung membuatku terperanjat. "Heh? Gue nggak mau, Wen. Nggak pede lah." "Hey Lis, santai aja lah lagian aku baca ceritamu itu sangat menarik tau," ujar Wendya lagi mencoba memengaruhiku agar menerima tawarannya. Aku tak bergeming tetap teguh pada pendirianku. Aku belum berani untuk menampilkan karya tulisku untuk umum. Belum ada motivasiku untuk melakukan hal itu. Aku menulis hanya untuk menyalurkan hobiku saja. "Yah aku nggak bisa maksa sih, cuma pengen nawarin aja gitu siapa tau mau." Aku kembali terfokus kepada Wendya. "Emangnya lo juga gitu?" tanyaku yang entah mengapa menjadi penasaran. Dia mengangguk pertanda jika ia memang menulis di platform digital. "Udah agak lama sih kalau aku gabungnya. Mungkin 2 tahun yang lalu," jelas Wendya. Aku terperangah mendengar penuturan Wendya. "Hah seriusan?!" Bahkan mataku mungkin saja terlihat akan keluar. Aku tak menyangka sudah selama itu Wendya tekun dalam dunia kepenulisan. "Biasa aja kali, Lis. Makannya aku ngajak kamu gitu loh. Lumayan ada wadah buat hobi kamu biar berkembang," jawab Wendya mencoba meyakinkanku. "Emmm maaf banget keknya gue belum tertarik deh, Wen. Besok kalau gue udah tertarik dengan tawaran lo itu, gue kabarin deh yah," jawabku menolaknya secara halus. Entah mengapa aku belum terlalu tertarik dengan tawaran mempublikasikan ceritaku. "Ah gitu, nggak papa sih. Tapi aku percaya nggak lama lagi kamu pasti mau," tebak Wendya dengan tawa. Aku ikut tertawa seiring dengan tawaan Wendya yang menurutku lucu. "Yeee lo lagi latihan jadi cenayang yah." "Kagak lah, amit-amit deh." *** Author's POV Suasana sebuah ruangan bernuansa abu terdengar riuh oleh polah sang penghuni. Tapakan kaki yang tak henti berjalan membuat suara lantai berdecit. "Lista! Cepetan kakak keburu telat!" Teriakan menggelegar dari depan kamar tersebut terdengar seiring paniknya sang penghuni kamar mencari sesuatu. "Iya, Kak, bentar ini lagi .... " jawab sang penghuni menggantungkan jawabannya. Matanya langsung berbinar begitu melihat kearah kolong ranjang yang terdapat sebuah benda tipis tergelak di sana. Dengan tangan pendeknya ia mencoba mengambil benda itu, namun sayang sekali tangannya tak kunjung sampai. "CALISTA BINTANG PRADANA." Gadis itu tampak gusar menyadari sang pemanggil yang sudah meradang kesal. "Iya, Kak. Bentar banget ini!" balas gadis berbaju abu-abu putih itu. "Huaaa nggak nyampe lah," keluhnya yang sedari tadi mencoba menggapainya namun tak kunjung bisa. Gadis itu tampak berpikir cepat dan mengambil sapu ijuk yang ada di sudut kamarnya. "Alhamdulillah," ucap syukurnya begitu sebuah buku bersampul coklat telah ada dipeluknya. Selepas itu ia bergegas keluar dari kamarnya dan menemui sang pemanggil yang kemungkinan sudah sangat kesal. *** " Baiklah anak-anak sebelum kita akhiri kelas hari ini, silakan kumpulkan tugas minggu kemarin terlebih dahulu." Seorang ibu guru meminta kepada para muridnya untuk segera mengumpulkan tugas yang ia minta. Satu persatu murid segera menyerahkan buku tugasnya di meja guru. Saat semuanya hampir menyerahkan tugasnya, seorang siswa memberikan intrupsi kepada gurunya tersebut. "Ibu," panggil siswa berambut rapih sembari mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Iya, Radif?" "Maaf, Bu, buku tugas saya ketinggalan. Nanti saya kumpulkan waktu pulang sekolah deh, Bu," ucap murid bernama Radif itu. Sang guru nampak berpikir dulu sebelum menjawab. "Oke Ibu tunggu sampai jam 4 nanti," putus guru perempuan itu memberikan kelonggaran waktu untuk Radif. Guru perempuan itu menghitung jumlah buku itu terlebih dahulu. Raut wajahnya nampak berseri. "Bagus, ini tinggal Radif aja berarti. Oke Radif tugas kamu akan ibu tunggu. Ya sudah kalau begitu kita tutup pembelajaran kali ini dengan bacaan hamdalah terlebih dahulu." "Alhamdulillahirabbil'alamin ... " seru para murid yang nampak berbahagia begitu pembelajaran berakhir. "Akhiru kalam wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Terimakasih, Bu, sampai jumpa," ucap para siswa yang kompak bak sedang paduan suara. Setelah guru perempuan itu keluar, segera saja di susul keluar para murid yang antusias menggendong tas ransel masing-masing. "Eh, Dif!" Seruan panggilan membuat pria yang bernama Radif menoleh. "Nih sapu tangan lo." Sebuah tangan terulur memberikan sebuah sapu tangan kepadanya. "Hiii udah buat lo aja, masih kebayang ingus lo kemarin," tanggap Radif bergidik dan tak mau menerima sapu tangan tersebut. "Yeee gue udah cuci susah-susah juga masa nggak mau lo terima," omel seorang gadis yang mengulurkan sapu tangan itu. Rautnya nampak kesal, wajar saja sih. "Udah buat lo aja, itung-itung itu kenang-kenangan dari gue," ujar Radif sembari menggendong tasnya bersiap untuk pulang. "Kenang-kenangan?" "Iya, udah lah ya gue mau ngambil tugas dulu," kata Radif yang langsung melenggang pergi. "Radif!!!!" *** Calista's POV Saat aku mengembalikan sapu tangan Radif yang kemarin ia pinjamkan kepadaku. Aku malah tak mendapat sambutan baik. Bukannya berterimakasih karena sudah dicucikan bersih, ia malah menolak menerimanya. Bahkan ia malah berdalih untuk kenang-kenangan saja. Aih yang benar saja ia mengatakan hal itu dengan mudah. Yang lebih parah adalah ia malah langsung pergi meninggalkanku. Padahal aku belum sempat menanyakan beberapa hal kepadanya. "Aihh Radif!!!" Aku teriaki sekeras apapun ia pasti tak akan berbalik kepadaku. Ia orangnya keras kepala. "Ya udah deh gue tungguin aja. Dia kan juga masih harus mengumpulkan tugasnya ke Bu Ndari." Aku kembali ke tempat dudukku yang mejanya masih berserakan. Berbanding terbalik dengan meja teman-temanku yang sudah bersih kinclong dengan perabotan sekolah. "Huft." "Lis, yok pulang." Suara Wendya terdengar di sampingku. "Lo duluan aja deh, Wen. Gue masih mau ngomong sama Radif," ucapku. Tubuh Wendya bergeser menghadapi. "Kamu mau ngapain? Berduaan?" Ucapan Wendya seketika membuatku bergidik. Aku baru sadar jika nanti apabila aku berbicara dengan Radif, pasti hanya berdua apalagi sekolah sudah selesai otomatis akan sangat sepi. "Ah lo tunggin gue aja deh yah," putusku setelah berpikir ulang. Wendya mengangguk kemudian mendudukkan diri di kursi sebelah tempatku berkemas. "Nggak lama kan ya?" tanya Wendya lagi. "Kayaknya sih enggak. Dia cuma ngambil tugasnya aja," jawabku sekenanya. Aku menunggu sekitar sepuluh menit hingga pandanganku menangkap sosok Radif yang sedang berlari di depan kelas. Ia sepertinya baru saja sampai. "Woy Radif!" Radif menengok ke arahku melalui jendela. Kemudian ia berjalan mundur dan berhenti di depan pintu kelas yang terbuka. "Kenapa?" ujarnya keheranan. Ah sepertinya ia kelupaan akan kata-katanya kemarin. "Habis Lo ngumpulin tugas, cepet ke sini lagi," perintahku. Raut wajahnya menyiratkan rasa bingung, namun ia tetap mengangguk kemudian melanjutkan langkahnya menuju ruang guru. *** Saat aku tengah mengobrol dengan Wendya mengenai kematian sebuah cerita n****+, tiba-tiba seseorang menggebrak pintu. Brak. "Astaghfirullah!!" Sontak saja aku dan Wendya terkejut bukan kepalang. Dan ternyata ia adalah sosok Radif. "Kenapa?" tanyanya tanpa rasa bersalah. "Kaget lah! Lo mah nggak bisa biasa," omelku begitu kesal dengan tingkah Radif yang sembrono. "Bukan itu. Kenapa lo minta gue ke sini?" jawab Radif sepertinya sedang terburu-buru. "Lo mau ngomong apa kemarin?" tanyaku to the point. Aku tak mungkin menahan terlalu lama Radif karena kulihat ia sedang tak tenang. Radif nampak berpikir sekejap kemudian baru paham dengan apa yang aku maksud. "Ah yang kemarin di makam kan?" tanya Radif mencoba memastikan. Aku hanya mengangguk menunggu jawaban yang akan ia berikan. Sedangkan Wendya yang ada di sampingku seperti juga sama penasarannya dengan apa yang terjadi di antara kami. Aku menjamin Wendya pasti akan mewawancaraiku mengenai masalah ini. "Gue sebenernya nggak akan lama lagi di sekolah ini. Setelah apa yang Papah gue katakan ke elo, gue pun akhirnya memutuskan untuk pindah dari sekolah ini," seloroh Radif yang nampak berbicara dengan beban di setiap katanya. Aku sempat terbelalak dengan keputusan yang ia ambil. "Lo serius?" tanyaku memastikan telingaku tak salah mendengar. "Iya gue serius. Gue nggak pernah mau menyakiti orang-orang terdekat gue," ungkap Radif yang seketika membuat hatiku sakit. Apakah kehidupan yang ia jalani selama ini selalu berakhir seperti ini? TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN