46-?Beautiful Eyes?

1718 Kata
_***_ Pada hakekatnya manusia itu makhluk lemah, namun karena memiliki hati dan pikiran untuk saling membantu, manusia bukan lagi dikatakan lemah. Kekuatan terhebat adalah saling bekerja sama dalam melewati kesulitan. Itulah seharusnya yang harus dilakukan manusia. _***_ Di sebuah ruangab sempit dengan bau obat-obatan yang menyeruak, terlihat dua orang pria yang mengenakan kemeja dan jaket kulit, mereka nampak tengah berbincang serius. Pria yang mengenakan kemeja itu melipat lengan kemejanya hingga tersisa sesiku. Dia kemudian memeriksa bagian lengannya yang sepertinya ada beberapa bagian yang tergores. "Lo ngapain dah kok bisa jatuh? Terus perempuan tadi juga siapa? Beneran lo tadi nabrak dia?" tanya pria yang merupakan kakak sang laki-laki yang terluka itu. Ia nampak khawatir jadi wajar memberondong pertanyaan kepada sang adik yang nampak bingung menghadapinya. "Kak Ar, tenang aja gue gak papa ini. Cuma lecet dikit juga," balas Kevin yang merasa bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan sang kakak. Mendengar jawaban sang adik, sang kakak pun spontan memandang wajah sang adik dengan tatapan datar. Sedangkan Kevin terlihat ketar-ketir melihat reaksi kakaknya itu. "Baik-baiik gimana. Coba nih .... " "Argh, Kak Ar!" Kevin sontak berteriak kesakitan begitu sang kakak menepuk kaki yang terluka. Nampaknya kakaknya yang dipanggil Kak Ar itu merasa kesal melihat sang adik yang pura-pura kuat. "Tuh kan, apa yang baik-baik aja coba," dengus sang kakak yang membuat sang adik menyengir sembari menahan rasa sakit akibat tabokan kakaknya itu. "Yah jangan ditabok lah, Kak. Jahat banget sih," keluh Kevin memasang wajah cemberut. Kakaknya masih memandang Kevin datar. Namun walaupun begitu, ia diam-diam memberikan cairan antiseptik untuk mengurangi rasa nyeri. "Lain kali hati-hati lah. Pasti ngebut kan tadi, udah tau hujan malah kebut-kebutan. Kalau lo lihat kondisi motor lo pasti nangis sih," ujarnya membuat Kevin membelalakkan matanya terkejut. "Nah kan baru inget kalau motor lo ditinggal," sahut kakaknya lagi menebak apa yang sang adik pikirkan. "Bukan itu, Kak. Itu ada yang lebih urgent," jawab Kevin dengan nada panik. Ia terlihat mencari sesuatu disaku celananya. "Kenapa? Lo cari apaan?" "Hape gue di mana, Kak? Penting ini aduh malah kelupaan tadi," kata Kevin yang masih berusaha mencari ponselnya yang entah pergi ke mana. "Nih." Sang kakak mengambil benda persegi panjang yang terkeletak di meja rumah sakit, kemudian memberikan handphone berwarna hitam itu kepada Kevin. Kevin dengan cekatan mengambil ponsel itu dan mencari sesuatu. "Kenapa? Lo mau hubungin keluarga orang yang lo tabrak?" tanya Ar dengan santainya melihat Kevin yang masih panik. Kevin tak menjawab, ia justru malah meletakkan ponselnya di telinganya. Nampaknya Kevin sedang menghubungi seseorang. Ar yang sedari tadi bertanya kepada Kevin pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk diam. "Hallo, Ken, Assalamu'alaikum." " .... " "Lo bisa ke Rumah Sakit Cempaka sekarang gak?" " .... " "Iya, Ken, lo tenang aja jangan panik oke. Lista sekarang di sini baik-baik aja kok." " .... " "Eh eh bentar, Ken! Lo tenangin diri dulu. Gue gak mau lo ke sini malah sebagai pasien." " .... " "Iya, hati-hati, Ken. Wa'alaikumussalam." Sambungan aku tutup begitu bunyi tuut tuutt terdengar. Aku kemudian meletakkan ponselku di meja kembali. "Siapa?" tanya Ar penasaran dengan sosok yang adiknya telepon itu. "Dia itu kakaknya cewek yang sama gue tadi, Kak. Ceritanya panjang sih nanti aja kalau udah sampe rumah Kevin cerita," balas Kevin kemudian tiduran kembali di tempat tidurnya. "Mau gak mau pasti lo harus cerita kalau sampai rumah. Kayak gak tau Abah sama Umi aja. Pasti nanti sepulang dari sini lo bakalan diintrogasi sih. Berdoa aja, Vin, semoga lo masih dibolehin naik motor." "Huhh iya juga sih, Kak, tapi untung aja cuma lecet. Gue yakin Abah sama Umi bakalan paham kalau nanti gue cerita," ucap Kevin setengah yakin Kevin memejamkan matanya, bukan untuk tidur karena ia masih menjawab pertanyaan kakaknya. Sepertinya ia merasa lelah karena kejadian tadi. "Malahnya nasib adikku ini. Kalau gini gue makin penasaran tentang cerita lo. Tapi mau bagaimana lagi. Gue tunggi cerita lo di rumah," tanggap Ar yang menatap adiknya dengan tatapan damai. "Ya udah lo istirahat dulu. Gue mau ke administrasi dulu. Kemungkinan lo pulang malem ini. Jangan coba-coba kabur lho!" Kevin menghela napasnya panjang. "Iya, Kak, lagian jalan aja gue pincang. Mau kabur ke mana." Ar terleleh geli mendapati adiknya yang berbicara dengan frustrasi. Sepertinya Kevin setelah ini akan dilarang pergi beberapa saat oleh kedua orang tuanya. *** Calista's POV Kepalaku terasa pening dan berat. Mataku pun terasa sakit. Untuk membuka kelopak mata saja rasanya tidak sanggup. "Ya Allah, apa mataku akan bermasalah lagi?" gumamku gemetar ketakutan. Tanpa sadar rasa hangat aku rasakan mengalir menuruni pipiku. Jujur bagaimana pun aku berusaha merasa kuat, masih ada rasa takut dalam hatiku jika indera pengelihatanku kembali diambil. Tapi mau bagaimana lagi ini bukanlah milikku, aku hanya dititipi oleh Allah. Dan disaat Allah mengambilnya kembali, aku harus ikhlas dan pasrah. "Dek, kamu gak papa kan? Adek, bangun yuk." Suara Kak Ken? Aku familiar betul dengan suara Kak Ken, tidak salah lagi Kak Ken ada di sini. Dengan keteguhan hati aku mencoba berusaha membuka mataku yang terasa berat. Perlahan tapi pasti aku mampu membuka sedikit demi sedikit kelopak mataku dan aku sangat terkejut ternyata masih ada cahaya yang berebut masuk ke mataku. Oleh karena itu artinya aku tidak buta lagi. Aku membuka mataku sepenuhnya dan kini mendapati Kak Ken tepat di depanku. Tanpa sadar air mataku mengalir lagi. Aku bisa melihat Kak Ken, aku bisa melihat lagi. "Dek, kenapa nangis? Apa ada yang sakit?" tanya Kak Ken panik. Aku masih terbengong dengan kegirangan di hatiku. Rasanya masih tak percaya jika Allah tak mengambilnya lagi. Bersyukur sekali rasanya. "Dek!" Kak Ken menepuk pelan pipiku dan seketika membuatku tersadar dan kembali fokusku ke dunia nyata. "Kak Ken?" ucapku untuk pertama kalinya dan aku yak menyangka suara yang aku keluarkan teramat kecil. "Alhamdulillah, Ya Allah, akhirnya kamu sadar juga, Dek. Kakak khawatir tau," ujar Kak Ken dengan raut cemas yang sangat ketara. Aku hendak tertawa namun tenggorokanku terasa kering sekarang. Aku hanya mengulas senyum. "Kak, Lista mau minum," ucapku bersusah payah agar bisa terdengar oleh Kak Ken. "Eh Ya Allah, ini ini minum dulu," balas Kak Ken gelagapan sembari memberikan segelas air putih. Aku tertawa tanpa suara kemudian meminum segelaa air itu hingga tandas. Dahagaku seketika sirna usai air yang aku tandaskan tadi telah melewati kerongkonganku. "Ahhh alhamdulillah," ucapku akhirnya suaraku kembali lagi. Kak Ken menghela napas lega. Aku yang melihat Kak Ken masih mencemaskanku pun tertawa. Ia yang sadar malah mrnatapku sedih. Entah apa yang sekarang ia pikirkan. Yang pasti ada sorot penyesalan di matanya. "Dek," panggil Kak Ken lirih. Aku yang tadinya ingin mengejek kakaku pun memutuskan untuk menunda. Sepertinya momen kali ini belum tepat. Entah apa yang ingin ia ungkapkan. "Kenapa, Kak?" Kak Ken memegang tanganku dengan lembut. Ia menunduk seperti orang yang baru saja melakukan kesalahan. "Maafin kakak." Mendengar permintaan maaf Kak Ken membuatku bertanya-tanya. Kenapa ia malah meminta maaf kepadaku? Apakah Kak Ken melakukan kesalahan kepadaku? Seingatku tidak ada. "Kenapa minta maaf, Kak?" tanyaku kembali. Wajah Kak Ken mendongak, matanya terlihat berkaca-kaca, sontak saja aku terkejut dan semakin bertanya-tanya ada apa dengan Kak Ken. "Kak Ken kok nangis sih? Kenapa, Kak?" "Maafin kakak udah bikin kamu jadi kayak gini," kata Kak Ken. Aku mendengarkan apa yang dikatakan Kak Ken. Aku tak akan memotong dan akan mendengarkan apa yang hendak ia jelaskan. "Maafin kakak, kakak lupa bilang ke kamu kalau motor yang kamu pakai itu lagi bermasalah," ungkap Kak Ken. Aku sekarang mengerti kenapa Kak Ken tiba-tiba merasa bersalah seperti ini. Aku lantas tersenyum mengusap tangan Kak Ken. "Gak papa, Kak. Bukan salah Kak Ken juga, ini udah takdir, Kak. Lista juga gak kenapa-kenapa kok, Kak. Oh iya tadi Lista diselamatin sama temen kakak itu. Lista gak tau namanya, yang pasti kalau gak ada temen kakak, Lista gak tau sih gimana kondisi Lista sekarang." "Kevin kah?" tanya Kak Ken kepadaku. Aku mengernyitkan keningku. "Yang ke rumah tadi namanya Kak Kevin?" Kak Ken tak menjawab. Ia masih terbengong entah apa yang ia pikirkan sekarang. "Kak Kevin gak kenapa-kenapa kan, Kak? Tadi Lista cuma inget waktu motor Kak Kevin nahan motor itu," ucapku melirih. Tiba-tiba rasa bersalah menyerang batinku. Saat itu aku ingat sedang mengendarai motorku seperti biasa. Namun tiba-tiba hujan mengguyur. Karena posisiku sekarang dengan rumah sudah lumayan dekat, aku menambah kecepatan agar segera sampai ke rumah tanpa kehujanan. Batu beberapa meter aku melaju dengan kecepatan tinggi, tiba-tiba ada seekor anak kucing yang tengah menyeberang jalan. Sontak saja aku terkejut saat itu. Kondisi jalan licin akibat hujan dan saat aku menekan rem dengan kencang, entah mengapa malah tidak bekerja. Remku blong. "Allahuakbar! Tolong!!" teriakku karena panik. Tidak ada satu orang pun ditempat itu dan motorku melaju begitu kencang. Aku terlampau panik karena tak mengerti apa yang harus aku lakukan. Bersamaan dengan itu, ada sebuah motor yang melaju berlawanan arah. Aku berteriak untuk memintanya minggir. "Tolong minggir!!! Rem saya blong!!" Entah ia mendengarnya atau tidak, yang pasti pengendara itu malah memelankan laju motornya. Aku hampir saja kehilangan keseimbangan akibat jalanan yang juga licin. "Loncat!!" Teriakan dari pengendara itu membuatku semakin panik. Apalagi ia malah berhenti dengan posisi menyimpang seolah ia hendak menghentikan laju motorku. "Bahaya!! Cepat!!" teriaknya sekali lagi. Karena aku tak bisa berpikir panjang, aku bergegas loncat dari motorku ke pinggir jalan yang tidak beraspal. Aku berhasil mendarat di tempat yang benar dan dengan posisi terkapar, aku melihat tabrakan motorku dengan motor pengendara yang berusaha menghentikan motorku dengan motornya. "Brakk!!" Jelas dipengelihatanku pengendara itu terpental jauh kemudian tersungkur. Tentu aku sangat syok melihat kejadian itu yang begitu cepat. Di sisa-sisa kesadaranku, aku melihat sosok pengendara itu terlihat susah payah untuk bangun. Ia lantas membuka helmnya dan betapa terkejutnya aku menyadari siapa pengendara tersebut. "Temennya Kak Ken?" Iyap, aku baru menyadari sosok itu yang aku temui di perpustakaan beberapa waktu lalu dan aku temui di rumah tadi. Kenapa ia bisa yang melakukan ini? Banyak pertanyaan yang menumpuk di kepalaku, namun tak sanggup aku ucapkan karena pandanganku semakin kabur dan tiba-tiba kegelapam menelanku. "Tadi bukan kecelakaan yang kecil," gumamku usai memutar kembali memoriku. Aku menatap Kak Ken yang juga menatapku sendu. "Kak, gimana keadaan Kak Kevin?" tanyaku mengutarakan satu pertanyaan besar yang kini sedang bersemayam di pikiranku Kak Ken tak menjawab. Ia masih menatapku dengan tatapan penyesalannya. Aku tak mengerti apa maksudnya, yang pasti aku berharap kondisinya baik-baik saja. Jika ia sampai terluka parah, aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Kejadian tadi berlangsung cepat dan tindakan Kak Kevin terbilang nekat. Aku sekarang hanya bisa berharap semoga ia baik-baik saja. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN