53-?Beautiful Eyes?

2111 Kata
Kita memang tidak pernah bisa mengerti perasaan orang lain, namun kita bisa memberikan kesempatan orang lain untuk mengekspresikan perasaannya. _***_ Author's POV Di suatu sekolah yang luas, suasana di suatu kelas yang tadinya ramai mendadak sunyi. Kini terlihat seorang pria paruh baya memasuki ruangan itu dengan tenang. "Selamat pagi, Anak-anak!" Para siswa yang telah terduduk rapi di bangkunya masing-masing pun dengan serempak menjawab, "selamat pagi, Pak!" Sosok guru itu pun kemudian terduduk di bangku guru yang berada di pojok kiri depan kelas. Ia nampak mengeluarkan beberapa buku dari tas jinjingnya. "Baik anak-anak karena pagi ini kalian sangat bersemangat, mari kita kerja kelompok!" ujar sang guru heboh sedangkan muridnya terlihat biasa saja. Nampaknya dari sekian siswa di kelas itu, kebanyakan tak antusias dengan namanya kerja kelompok. Terbukti dari raut wajah mereka yang terlihat lesuh mendengar penjelasan sang guru. Di sisi lain, dua orang siswi yang duduk di sudut kelas terlihat tak saling bereaksi. Yang satu maaih sibuk dengan bacaan yang ada di meja dan yang satu lagi tengah terbengong menatap pintu kelas dengan tatapan kosong. "Stttt hey!" Seorang siswa yang duduk dibelakangnya berusaha memanggil siswi yang terbengong tadi. Ia menggoyang-goyangkan kursi dengan kakinya yang panjang itu. Setelah beberapa lama, akhirnya siswi itu tersadar dan spontan berteriak. "Ya Allah gempa!!" Sontak saja semua yang ada di kelas itu menatap ke arahnya. Tatapan aneh yang mereka hujam membuat sang siswi itu kembali tersadar begitu menengok ke belakangnya. "Eh maaf, Pak. Radif ngisengin saya," pekik siswi itu mengadukan tingkah temannya kepada guru yang nampak bersiap melontarkan kemarahan. "Kalian ini ada-ada saja. Saat ini sedang pelajaran, jadi kamu Lista kembalikan fokusmu ke sini!" tegur sang guru yang masih menulis di papan tulis. "Baik, Pak." Akhirnya siswi itu pun pasrah dan menatap sinis kepada sosok siswa yang masih cengengesan di belakangnya. "Awas ya lo, Dif!" bisik Lista memperingatkan Radif. Radif yang diperingatkan seperti itu tak merasa bersalah. Ia memandang ke arah lain seolah mengabaikan apa yang Lista ucapkan. Akhirnya kini semua kembali fokus ke papan tulis. Di sana guru itu sedang menuliskan beberapa kalimat di sana. "Baik anak-anak. Ini ada beberapa tema untuk puisi yang kalian buat, kalian bisa pilih salah satu tema ini. Tiap kelompok terdiri dari dua orang dan terserah kalian untuk kelompoknya. Esok hari harus sudah di kumpulkan di meja bapak ya!" "Baik, Pak!" Setelah semua mengerti tugas yang harus dikerjakan, mereka pun mulai ribut mencari teman yang hendak ia ajak untuk berkelompok. Kebanyakan dari mereka memilih teman sebangku, karena sudah pasti mereka sudah berteman baik. "Kalau gitu bapak tinggal dulu ya. Kalian silahkan berdiskusi sampai jam mata pelajaran ini selesai dan ingat jangan ribut. Kalian paham?" ucap Guru bahasa indonesia itu sebelum pergi. "Paham, Pak!" Selepas itu ia pergi meninggalkan kelas yang sudah mulai ribut kembali. Begitulah suasana kelas apabila tidak ada guru yang memantau, pasti ada saja keributan yang ditumbulkan. Calista's POV Pagi ini perasaanku terasa tak enak. Entah mengapa sepertinya akan ada sesuatu yang mengguncang diriku hari ini. Tapi aku berharap itu hanya perasaanku saja. Aku sebenarnya sudah mulai lelah dengan konflik di sekolah ini. Teman ceritaku sudah menjauh dariku entah karena apa. Ingin rasanya memutar waktu untuk mencari tahu apa penyebab masalah ini bermula. "Huh ... " Tanpa sadar aku menghela napasku keras. Aku tahu sekarang itu sudah memasuki jam pembelajaran, tapi aku belum mendapatkan semangat untuk belajar hari ini. Saat aku sedang menyelami pikiranku lebih dalam, kursiku tiba-tiba bergoyang. Sontak saja aku mengira itu gempa bumi. Aku lantas berdiri dan menjerit melontarkan "gempa bumi". Aku terkejut mendapati tatapan seluruh orang yang ada di kelas ini menatapku aneh. Pikiranku mulai berjalan kembali. Sepertinya tidak ada gempa di sini. Kalau pun ada, pasti semua orang sudah panik. Telingaku menangkap tawa tertahan yang berada tepat di belakangku. Aku menoleh dan mendapati sosok siswa yang menahan tawanya dengan menyembunyikan wajahnya. Sudah pasti ini ulahnya. Tidak salah lagi! Wajahku memerah karena masih menjadi pusat perhatian. "Maaf, Pak, maaf semuanya," ucapku kemudian menunduk dan terduduk kembali. Sebelum itu, aku menatap tajam ke arah Radif yang sudah menetralkan ekspresinya. Matanya sempat tertangkap pandanganku, namun kemudian ia alihkan dengan cepat. "Awas kau, Radif! Tunggu pembalasanku!!" ucapku di dalam hati. Setelah diperingatkan oleh Pak Hendra, aku kembali fokus ke pelajaran. Aku baru menyadari ternyata tugas hari ini adalah membuat puisi yang harus dilakukan berkelompok dua orang. Ketika membaca tulisan di papan tulis, tiba-tiba ada sesuatu yang terpikirkan olehku. Aku menoleh kepada teman sebangkuku yang tengah sibuk mencatat. Sepertinya ini waktu yang tepat untukku mencoba mendekati Wendya kembali. Aku harap bisa memperbaiki keadaan saat ini. Setelah itu aku membuka buku tulisku dan ikut menulis apa yang tertulis di papan tulis sebelum bergerak mendekati Wendya. *** Suasana kelas kembali ramai, kursi dan meja di kelas sudah tak tersusun rapi kembali. Seperti biasa kebanyakan dari mereka berpindah-pindah sesuai kelompok mereka. Aku kemudian menghadap kearah Wendya yang terlihat sedang menyibukkan diri. Aku tahu sebenarnya ia sedang mencoba menghindari interaksi denganku. "Wen ... " Panggilanku langsung direspon olehnya. Ia menoleh kearahku dengan raut wajah yang tak mampu aku artikan. "Lo mau gak sekelompok sama gue?" tanyaku tanpa basa-basi lagi. Ia terlihat hanya terdiam yang sepertinya sedang menimang-nimang keputusannya. Aku harap ia mau dan tidak menolak lagi. "Sekalian kita ngerjain event cerita untuk bulan bahasa nanti," tambahku berusaha mempengaruhinya untuk mengiyakan ajakanku. "Emmm aku ... aku gak bisa, Lis. Kamu cari yang lain aja ya dan tentang event bulan bahasa itu sepertinya aku juga gak bisa," jawab Wendya membuatku sontak mendidih kembali. Aku berusaha menekan emosiku mendengar kalimat penolakannya itu. "Wen, lo kenapa sih?" tanyaku lirih dengan pandangan menunduk. Sakit rasanya mendengar kalimat penolakan itu. Aku sudah terlalu lelah mendengarnya terus berusaha menghindariku. Tanpa sadar pandanganku terasa kabur dengan air yang menumpuk di pelupuk mataku. Aku menangis? Rasa sakit terus mengalun di dalam hatiku. Sepertinya ini pertanda aku masih tak terima semuanya menjauh dariku. "Maaf, Lis," jawab Wendya dengan lirih namun masih mampu aku dengar. Aku mengelap pipiku yang sudah basah kemudian menatap Wendya lama. Sepengelihatanku sepertinya ia menjauh dariku bukan karena keinginannya sendiri. Apakah sebenarnya ada orang luar yang memintanya untuk menjauh dariku? Tapi siapa? Memikirkan hal itu, semangat perlahan tumbuh. Sepertinya memang seperti itu. Dari matanya aku bisa melihat masih ada ketulusan di sana. Sepertinya aku harus memaksanya berbicara tentang perubahan sikapnya akhir-akhir ini. Aku menghirup udara dengan kasar. Kemudian menatap Wendya tajam. "Oke kalau gitu, Lo boleh nolak permintaan gue asalkan lo kasih alasan yang bisa gue terima. Kalau lo gak ada alasan itu, gue anggep lo setuju. Dan tolakan lo hanya gue anggep angin lalu aja. Lo bisa temuin gue sepulang sekolah untuk jelasin alasan lo." "Gue yakin ada sesuatu yang lo sembunyiin," lanjutku melirihkan suaraku. Wendya nampak terdiam mendengar ucapanku. Sepertinya ia memang merasa tertohok dengan perkataanku itu. Seperti yang gue duga, sikapnya akhir-akhir ini itu sebenarnya bertentangan dengan kehendak dia. Aku harap nanti ia mampu jujur di depanku. Entah kenyataan apapun itu, aku akan menerimanya. *** Setelah mata pelajaran bahasa indonesia berakhir, bel pertanda istirahat pun berbunyi. Aku kemudian bergegas keluar kelas untuk mendinginkan kepalaku di perpustakaan. Oh iya selama pembelajaran berlangsung, aku dan Wendya sama sekali tak berinteraksi dan mengerjakan tugas puisi itu. Aku memutuskan untuk menunggu penjelasan Wendya terlebih dahulu. Saat aku berjalan di karidor, suasana tengah ramai dan di depanku terlihat punggung seorang siswa yang sangat aku kenali. "Waktu yang tepat untuk balas dendam," ucapku kemudian berjalan cepat menyusul sosok itu. Setelah berada tak jauh darinya yang sedang berjalan, aku menyiapkan n****+ tebalku yang aku bawa. Brakkk ... "Argh!!!" "Rasain tu pembalasan gue!" teriakku kemudian berlari kencang meninggalkan sosok yang berteriak tadi. "Woy!! Tang!! Sialan lo ya!!" teriak sosok Radif menyumpah serapahi diriku. Aku yang berlari menjauh darinya masih cekikikan sendiri. Memang ide yang tepat untuk menimpuknya saat seperti itu. Rasanya senang sekali hatiku dan puas dendamku sudah terbalaskan. Aku menoleh sejenak melihat apakah Radif mengejar atau tidak. Namun sepertinya aman, tak ada tanda-tanda ada keberadaan Radif di sana. Namun baru juga berjalan beberapa langkah, tiba-tiba kepalaku tertabtak benda keras. Brukkk ... "Adoh .... " pekikku ternyata menabrak punggung seseorang. Dan benar saja, ada seorang berjaket denim yang tubuhnya aku tabrak. Seseorang itu mendadak berhenti dan aku sontak memundurkan langkahku. Sakit sih pasti. Sepertinya aku kualat karena menimpuk Radif tadi. "Aduh maaf, Kak!" kataku meminta maaf kepada sosok yang aku tabrak tadi. Orang itu tak menjawab, justru ia kemudian melanjutkan jalannya tanpa peduli aku yang menabraknya. "Badannya kokoh banget dah. Untung aja gak jatuh." Aku menatap seseorang itu yang semakin lama menjauh, kurasa aku belum pernah melihat sosok itu. Walaupun aku tak pernah melihat-lihat siswa siswi di sekolah, tapi aku merasa sosok itu asing. Sepertinya ia bukan siswa di sini. Tapi ya sudah lah bukan urusanku juga. Yang penting aku sudah mengucapkan maaf kepadanya. Kemudian aku melanjutkan langlahku menuju perpustakaan yang sudah ada di depan. *** Suasana perpustakaan begitu tenang. Pikiranku yang sedari tadi berkecambuk, seketika ikut tenang karena suasana di sini. Aku melihat hanya beberapa orang saja yang tengah sibuk membaca buku di meja perpustakaan. Aku menghampiri petugas perpustakaan yang berjaga. Aku mengeluarkan kartu perpustakaanku dan memberikan buku n****+ yang aku gunakan untuk menimpuk Radif tadi. Setelah di scan, buku itu pun di simpan kembali oleh petugas perpustakaan itu. Lalu aku berjalan masuk dan tenggelam di rak-rak buku yang begitu banyak. Aku menuju rak khusus n****+. Tak ada hal lain yang aku lakukan di sini selain membaca n****+. Aku sering menghabiskan waktu istirahat di sini. Selain mencoba mendinginkan isi kepalaku, aku juga berusaha menghibur diri dengan membaca n****+ fantasi kesukaanku. n****+ karya Tere Liye-lah yang aku cari. Di perpustakaan sekolahku hampir memiliki seluruh Serial Bumi: Petualangan Dunia Paralel. "Syukurlah kamu tidak tersesat di sekolah ini." "Hehehe alhamdulillah, Pak. Walaupun saya sempat kebingungan mencari perpustakaan di sekolah seluas ini." Saat aku sedang mencari buku incaranku, sayup-sayup aku mendengar percakapan dua orang. Aku mengintip dibalik rak. Dan ternyata ada Pak Hendra dan seseorang yang duduk berhadapan di balik rak n****+. Kurasa sosok yang berbicara dengan Pak Hendra itu adalah sosok yang aku tabrak tadi. "Kalau begitu apakah bisa kita langsung bahas saja?" tanya Pak Hendra. "Boleh, Pak, lebih cepat lebih baik." "Baiklah kalau begitu. Lagi pula event bulan bahasa akan dilakukan beberapa hari lagi. Kita perlu mematangkan event ini." "Ah jadi lagi berdiskusi tentang event bulan bahasa. Apa mungkin orang tadi akan jadi jurinya? Ah tapi gak baik juga aku nguping kayak gini sih. Hargai privasi itu nomer satu," bisikku berbicara dengan diriku sendiri. Kemudian aku pun membawa buku incaranku dan duduk di tempat membaca. Aku kemudian memulai membaca n****+ "Bintang" itu. Namun baru juga beberapa lembar aku membaca, bunyi bel pertanda pembelajaran di mulai kembali pun terdengar. Aku bergegas berdiri dan meletakkan kembali ke rak. Aku tidak boleh terlambat memasuki kelas karena setelah ini adalah mata pelajaran matematika. Mata pelajaran horor untuk semua siswa di sini karena selain materinya yang susah, sosok guru yang mengampu pun terkenal sadis dalam memberi soal. Aku tak mau jika nanti harus menerima hukuman mengejakan soal sulit di depan kelas. *** Sepertinya kini kekhawatiranku akan menjadi nyata. Saat aku telah sampai di kelas, pintu kelas telah tertutup. Yang artinya Bu Pika telah ada di dalam. Mampuslah aku akibat harus menyeberangi beberapa kelas yang lumayan jauh, aku menghabiskan banyak waktu untuk sampai ke kelas. Baru kali ini aku mengeluhkan luasnya sekolah ini. Kini aku hanya bisa pasrah mengetuk pintu kelas itu perlahan kemudian membukanya. Benar saja Bu Pika sudah duduk di meja guru menatapku yang baru memasuki kelas. Dengan takut aku menghampiri Bu Pika berharap hari ini mau mengampuniku. Saat aku telah sampai di dekat meja, aku tertunduk berniat meminta maaf. Aku merasa Bu Pika memperhatikanku. "Kamu sudah baikan, Calista?" Aku sontak mendongak terkejut mendengar pertanyaan Bu Pika. Aku tak mengerti apa yang ia maksud "sudah baikan"? "Tadi Wendya sudah menjelaskan kalau kamu ke UKS ngambil obat pusing kan. Ibu kira kamu akan absen dan istirahat di UKS." Mendengar penuturan Bu Pika, membuatku tersadar ternyata Wendya yang mencoba menyelamatkanku. Hatiku terasa berbunga. Aku lantas menatap ke arah Wendya yang sibuk dengan bukunya. "Alhamdulillah sudah baikan kok, Bu, makanya saya kembali ke kelas. Saya meminta maaf, Bu, telat memasuki kelas," jawabku dengan meminta maaf. "Iya nggak papa. Silahkan duduk dulu," kata Bu Pika mempersilakan aku duduk. Aku lantas tersenyum dan meninggalkan meja guru untuk kembali duduk di tempat dudukku. Sepanjang aku berjalan, aku menatap sosok Wendya dengan senyum tipis. Aku tak menyangka ia mau repot-repot berbohong demi menolongku. Seperti dugaanku, ia sebenarnya masih peduli kepadaku. Entah sesuatu apa yang membuatnya menyembunyikan rasa pedulinya itu, aku harus mengetahui alasannya merubah sikapnya kepadaku. "Terima kasih, Wen," ucapku lirih kepada Wendya yang sepertinya juga tengah tersenyum sangat tipis. Kemudian aku duduk kembali di sebelahnya dan mengikuti pelajaran kali ini. Aku harap tindakan berani Wendya membantuku kali ini merupakan pertanda baik untuk hubungan persahabatan kami. Tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN