58-?Beautiful Eyes?

2052 Kata
Ingatlah jangan sampai terlupa untuk mengatakan maaf apabila membuat kesalahan, mengucap terimakasih ketika menerima bantuan dan meminta tolong apabila ingin meminta bantuan. Karena jika terlambat, penyesalan akan datang pada akhirnya. _***_ Di sebuah perpustakaan yang ramai, terlihat dua orang perempuan berkhimar masih tenang tak tergangu oleh keadaan perpustakaan yang semakin ramai. Keduanya sibuk menatap layat lsptop namun sesekali juga salah satunya menulis di sebuah buku. Jam dinding telah menunjukkan pukul 11.12. Waktu sepertinya berlalu begitu cepat bagi mereka. "Eh udah jam sebelas lewat, Lis," pekik Wendya memperingatkan mereka jika waktu memang sudah berjalan begitu cepat. "Cepet banget dah. Aduh gue maaih harus mempir ke supermarket juga lagi," balas Lista dengan panik. "Mending kamu pulang sekarang aja, Lis. Takutnya kamu malah gak tenang nanti dijalan." "Aemm berarti ini nanti lo yang lanjutin?" tanya Lista lagi sebelum mengiyakan untuknya pulang. "Iya, Lis, sesuai rencana kita," ucap Wendya dengan tenang. Calista nampak terdiam begitu lama menatap laptop dan kertas yang ia tulis secara bergantian. Nampaknya ia bimbang untuk meninggalkan temannya sendiri. "Ih tenang aja, Lis, kamu tau sendiri aku kayak gimana. Beres pokoknya nanti," kata Wendya membanggakan dirinya dengan gurauan. "Yeee iya deh iya percaya gue mah. Ya udah gue siap-siap dulu. Nanti lo jangan lama-lama di sini lo dimarahin umi ntar." "Iya-iya Lista. Udah gih siap-siap dulu." Akhirnya Calista pun membereskan barang-barangnya sebelum pulang dari perpustakaan tersebut. *** Calista's POV Usai pulang dari perpustakaan, aku tidaklah langsung menuju rumah, aku harus mampir ke supermarket dulu untuk membeli bahan kue seperti pesanan umi. Tanpa menunggu waktu, aku bergegas membuka catatan belanja dan segera mencari bahan-bahan tersebut. Aku yang memang sudah biasa diberikan tugas seperti ini pun menjadi cepat meneukan bahan-bahan itu. "Gula pasir sama gula halus," gumamku sembari mencari bahan itu di rak khusus gula yang memang bermacam-macam gula ada di sana. Aku mengambil sesuai catatan dan bergegas memcari bahan yang lainnya. Saat aku melintasi rak coklat, atensiku langsung tertarik. "Huhu coklat." Aku mendekati rak tersebut dan mengambil satu batang coklat tanpa ragu. Setelah semuanya bahan-bahan telah aku pastikan sudah aku ambil, aku segera menuju meja kasir untuk membayar. Hari ini weekend jadi harus bersabar menunggu antrean yang lumayan mengular. Aku memainkan ponselku untuk mengurangi rasa bosanku. Namun saat baru beberapa saat aku memainkan ponsel, keranjang belanjaanku terasa aneh. Aku baru menyadari ada seseorang yang memasukkan beberapa barang ke keranjangku. "Eh, maaf ini keranjang saya," ucapku panik bersaha memisahkan barang yang aku punya dengan barang yang baru saja dimasukkan seseorang tadi. "Nitip, Tang. Gue males ngantri" Mendengar suara itu membuatku sontak mendongak. Mataku membulat melihat pelaku yang memasukkan barang asing ke keranjang belanjaku. "Astaghfirullah, Radif! Lo ngapain sih?" tanyaku pelan sembati menatapnya tak habis pikir. Bagaimana mungkin aku selalu bertemu dengannya di manapun itu. "Lo nguntit gue ya?" tuduhku merasa Radif sebenarnya sedari tadi membuntutiku. "Yeee apaan kagak ya. Gue aja juga gak nyangka ketemu lo di sini." Aku mendengus kesal kemudian berjongkok dan mengambil barang-barang yang Radif masukkan ke keranjangku. "Lo bayar sendiri!" Radif kemudian dengan sigap menerima barang-barangnya kembali sebelum terjatuh ke lantai. "Pelit amat," gumamnya kemudian pergi mengantri kembali. Sepertinya ia juga malu melihat sekeliling orang memperhatikan mereka Aku hanya mendengus tak habis pikir dengan tingkah Radif itu. Untung saja antrean di depanku tinggal seorang saja. Jadi aku bisa cepat-cepat pergi dari sini. *** "Assalamu'alaikum. Lista pulang," seruku memasuki rumah yang pintunya telah terbuka. "Wa'alaikumussalam." Umi keluar menghampiriku. "Umi, udah Lista beliin semuanya. Alhamdulillah sih semuanya ada. Tapi Lista tadi beli coklat satu hehe," kataku dengan memberikan sekantong plastik belanjaan tadi. "Selalu coklat kamu mah. Ya udah mandi dulu habis itu sholat dzuhur ya," suruh Umi kemudian aku angguki. Aku terlebih dahulu meletakkan sepatuku ke rak kemudian menyusul Umi yang tadi sudah masuk duluan. Aku merebahkan badanku terlebih dahuku di sofa tempat Kak Ken yang tengah menonton televisi sembari mengemil. "Huaaa alhamdulillah. Panas banget di luar," ucapku sembari membuka khimarku. Berhubung di rumah tidak ada tamu, maka aku bisa dengan tenang melepas hijabku. "Tadi kamu ketemu Kevin, Dek?" tanya Kak Ken masih mengunyah cikinya. "Hooh kebetulan ketemu tadi. Kak Kevin kasih tau kakal kah." "Iya barusan chat katanya ketemu kamu di perpustakaan." "Oh gitu. Eh, Kak, mau tanya," ucapku segera diserobot oleh Kak Ken. "Bayar dulu!" Aku mendengus sebal. Tadi bertemu Radif di supermarket, sekarang harus berhadapan dengan Kak Ken yang juga sama menyebalkannya kalau sedang bercanda. Arghhh aku lelah!! Aku kemudian berdiri dengan menatap sebal ke arah Kak Ken. "Ihhh nyebeli Kak Ken mah," seruku dengan cemberut. Aku lantas mengambil khimar dan tasku kemudian pergi ke kamarku tak jadi bertanya. "Lah pundung masa. Sini-sini jadi tanya gak, hey!" seru Kak Ken kepadaku yang sudah menaiki tangga. "Gak! Males," ketusku memperlihatkan bahwa aku benar-benar kesal dengan tingkah kakaku satu-satunya itu. *** Usai menjalankan ibadah sholat, aku kemudian keluar kamar untuk mencari makanan. Saat aku sudah dekat dengan dapur, aku semakin mencium bau harum yang keluar dari sana. Aku baru ingat umi kan sedang membuat kue. "Umi!" seruku mengagetkannya. Namun bukannya terkejut, umi malah menatapku datar. Sepertinya umi sudah menyadari kehadiranku sejak awal. "Hih udah dibilangin gak baik ngagetin orang tua tu, sayang," ucap umi merasa gemas dengan tingkahku. "Hehe maaf, Umi." Aku kemudian mendekat dan melihat sendiri kue yang dibuat oleh umi. Ternyata umi sedang membuat kue nastar dan beberapa kukis yang nampak menggoda. "Huaaaa kukis coklat!! Umi ini khusus buat Lista semua kan?" seruku kegirangan. Perlu kalian tahu, aku sangat suka dengan yang namanya kukis. Rasa apapun itu aku akan sangat antusias memakannya. Rasanyabyang renyah dan manis seperti memanjakan indera perasaku itu. Tanganku sudah tak sabaran ingin menyomot, namun langsung ditepis oleh umi. "His jangan yang itu. Bagian kamu nanti belakangan," omel umi yang sontak membuatku cemberut. "Yah, Umi, Lista kan pengen nyicip. Boleh ya boleh ya satu aja," mohonku dengan wajah memelas. "Aih kamu ini ya. Ya udah ambil satu gih," repon umi yang mengasihaniku. "Yeay!!!" Aku meloncat kegirangan kemudian mengambil kukis yang tadi ingin aku ambil. Aku sudah tak sabar ingin mengicip rasa manis dan renyahnya kukis buatan umi. Namun saat aku akan memasukkan kukis ke mulut, umi kembali berseru, "ihhh makan sambil duduk, Sayang. Emangnya mau kalau makan bareng setan?" tegur Umi yang memintaku untuk makan sembari duduk. Oh iya apa kalian tahu, apabila kalian terlupa untuk membaca doa sebelum makan, setan pasti akan mengincar-incar untuk bergabung dengan kalian untuk memakan makanan kalian itu. Jika kalian memakan tanpa mengucap doa, tentu saja setan akan makan bersama kalian, namun apabila kalian teringat untuk berdoa walaupun tertinggal satu suap saja dengan mengucap "Bissmillahi fii awwalihhi wa fii akhirihi" maka setan akan memuntahkan kembali apa yang telah dia makan. Aku lantas menyengir dan duduk di kursi makan. Renyah dan manis seketika memenuhi mulutku begitu satu gigitan telah aku kunyah. "Emmmm enak banget!!! Kukis buatan umi memang tidak ada duanya!!!" Umi yang menyaksikan dan mendengarkan ocehanku hanya terkekeh geli. Pasti jika aku memakan kukis buatan umi akan melakukan hal itu. "Oh iya umi, tadi Lista ketemu Kak Kevin." "Kevin? Temennya kakakmu?" tanya Umi sembari membentuk nastar yang belum jadi. "Iya yang kemarin nolongin Lista." "Oh yang temen kakamu itu. Terus gimana?" tanya umi yang nampak antusias. "Gak gimana-gimana, Mi, cuma nanyain kabar aja sih tadi soalnya bingung," jawabku sembari sesekali mengigit kukisku. "Lah bingung kenapa, Sayang?" Aku memasukkan seluruh kukisku ke mulut. "Gak tau, Mi, rasanya Lista masih merasa bersalah gitu gara-gara kejadian kemarin." Umi mencuci tangannya yang kotor akhibat tepung. "Wajar sih sayang kalau kamu masih ngerasa gitu. Tapi kan yang penting semuanya udah clear kemarin." Aku meletakkan kepalaku dimeja makan. "Huh, Lista ngerasa belum clear aja, Mi. Rasanya masih ada yang mengganjal kalau belum meminta maaf sama berterimakasih sendiri tu." "Kalau gitu kamu coba bilang aja langsung, Sayang. Lagian mungkin Kevin juga ngerasain kecanggungan kamu tadi waktu ngobrol," kata umi lagi. Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar. "Ntahlah, Mi, Lista bingung gimana caranya." "Oh iya kemarin itu motornya Kak Kevin gimana, Mi? Lista denger rusak parah." "Umi juga kurang tau sih sayang. Yang ngurus kakakmu kan. Coba kamu tanya aja," jawab Umi yang kini sudah selesai membentuk kue. "Tadi Lista udah mau tanya. Tapi Kak Ken nyebelin banget, Mi," sahutku mencemberut kesal. "Kalian ini kalau deketan sukanya berantem. Kalau jauhan aja nanyain mulu." Aku kini malah kembali terlarut memikirkan cara untuk meminta maaf dan berterima kasih kepada Kak Kevin. Sejujurmya aku menyesal baru kepikiran masalah ini sekarang. Kenapa tidak sedari dulu aku meminta maaf dan berterima kasih. Sekarang menjadi canggung dan merasa bersalah bila bertemu dengan Kak Kevin. Padahal ia sudah baik sekali kepadaku. Huh kenapa telmi mulu sih. "Oh iya tadi umi nemu ini dikantong belanjaan. Ini kamu beli buat apa? Titipan Kak Ken kah?" Aku yang tadinya sedang terbengong dan fokus dengan pikiranku pun mendongak. Seketika saja mataku terbelalak melihat apa yang ada di tangan umi. "Lah!!! Kok ada itu?" seruku histeris sembari meminta barang tersebut. "Lah kok tanya umi? Kan kamu yang belanja, Sayangku. Makanya umi bingung ini kamu beoi pomade buat apa?" Aku hanya bisa terbengong menatap pomade yang kini telah aku pegang. Aku ingat-ingat lagi seepetinya aku tidak pernah berkunjung ke rak kosmetik pun. "OH IYA!!! Ini pasti punya Radif?!" pekikku semakin histeris. "Radif? Kok bisa? Bukannya kamu tadi pergi sama Wendya?" tanya Umi yang mulai curiga. "Gini, Mi, tadi si supermarket Lista ketemu Radif. Nah Radif dengan seenak jidatnya tadi sempet masukin barang-barangnya ke keranjang Lista dengan alasan males ngantri. Tapi terus Lista tolak dan kembaliin barangnya lagi. Eh sekarang baru sadar kalau ada barang yang ketinggalan dikeranjang Lista. Aduh gimana nih, Mi." Umi nampaknya mengerti apa yang aku ceritakan. "Ya udah kamu coba tanyain Radif aja dulu. Kalau emang bener ya kamu kasih besok berangkat sekolah," kata umi memberiku saran. "Ah iya bener juga sih, Mi. Ya udah Lista ke kamar dulu ngambil hp mau tanya Radif dulu," ucapku kemudian berlari menuju kamar mencari ponselku. "Hati-hati sayang nanti jatuh!" seru Umi melihatku berlarian menaiki tangga. "Iya, Mi!!" Aku harus bergegas menghubungi Radif. "Hish emang cari kerjaan aja tu orang," gerutuku sepanjang melangkahkan kaki menuju kamar. *** Author's POV Seorang pria tengah menenteng sebuah plastik belanjaan dengan riang. Ia memasuki sebuah apartemen yang cukup mewah. Sesampainya di dalan, ia meletakkan plastik belanjanya itu di bangku. Ia meninggalkannya sejenak untuk mengambil sesuatu. "Ah segernya!" serunya setelah menegak air dingin yang ada di botol. Kemudian ia mendekati tas belanjaannya dan membongkar-bongkar isi tas plastik itu. Barang yang ia beli tak begitu banyak. Hanya makanan instan dan beberapa produk kosmetik saja. Namun gerakan matanya seketika terlihat bingung. Ia mengacak kembali barang-barangnya seperti sedang mencari barang yang hilang. "Lah pomade-ku ke mana?" "Astaga! Jangan-jangan kebawa dibelanjaan Bintang?!" serunya. Ia terlihat merogoh saku jaketnya dan mengeluatkan benda tipis persegi panjang. Ia menyalakan ponselnya dan seketika mendapat panggilan dari seseorang. "Woy Radif!!! Pomade lo ada di gue?!" Baru juga telepon tersebut di angkat, ia harus mendapatkan teriakan dari sebrang sana. Bahkan ia harus menjauhkan ponselnya agak gendang telinganya aman. "Aishh pelan-pelan aja kali, gendang telinga gue pecah lo mai tanggung jawab?!" "Lagian lo sih iseng banget tadi. Pomade lo jadi kebawa sama gue kan! Untung aja umi gak nuduh macem-macem." "Hehehe santai, Tang. Maap lah tadi kan gue juga gak sadar barang gue ada yang ketinggalan di keranjang lo," jawab pria itu dengan cengengesan. "Hishhh besok gue kasih ke lo waktu sekolah," ujar seseorang ditelepon dengan nada geram akibat kesal dengan pria yang dari tadi malah cekikikan. "Emang bener lagi sensian ini anak. Ya udah gue tunggu di sekolah." "Ya udah gue tutup." Telepon pun di tutup oleh orang yang ada di seberang. Setelah telepon di tutup, bukannya kapok karena dimarahi oleh sang penelpon, pria itu malah cekikikan lagi. "Ngakak banget pomade gue kebawa Bintang. Hahaha," ucapnya dengan tertawa keras. Untung saja ia hanya sendirian dan rata-sata aapartemen itu kedap suara sehingga ia tak perlu khawatir jika tetangga merasa terganggu. "Jailin dikit ah," gumamnya kemudian kembali mengutek-utek ponselnya. Entah apa yang ia lakukan yang pasti hal menyebalkan yang tengah ia persiapkan. Tak beberapa lama kemudian ia letakkan kembali ponsel itu. "Kita lihat bagaimana respon cewek sensi itu." Ia menatap ponsel itu cukup lama, namun tak kunjung terjadi apa-apa di sana. Karena terlampau bosan, ia pun beranjak dan meninggalkan ponselnya begitu saja. Entah apa yang ia rencanakan. Tapi tak beberapa lama kemudian ponselnya berkedip beberapa kali menandakan ada pesan masuk dan tak lama kemudian nampak log panggilan di sana. Sayangnya karena sang empu tidak ada ditempat, panggilan itu pun terlewat. Tbc

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN