23-?Beautiful Eyes?

2329 Kata
_***_ Roda kehidupan memang berputar, tetapi jangan jadikan alasan itu untuk terus berpasrah pada keadaan _***_ Pagi telah tiba, kicauan burung telah terdengar bersahutan. Hari ini adalah hari senin, hari awal untuk kesibukan yang semakin padat. Orang-orang tentu akan bermalas-malasan untuk bangun dari ranjang emuknya. Mereka selalu mengeluh akan kurangnya hari libur untuk mereka. Padahal jika dipikir-pikir hanya lima hari saja mereka bekerja dan dua hari bisa mereka gunakan untuk beristirahat atau quality time dengan keluarga. Mereka yang masih meringkuk dan bergulat dengan selimutnya merasa bahwa tidur beberapa menit lagi tak masalah, padahal sebenarnya tiap detik yang mereka buang sia-sia itu amat berharga untuk menyelesaikan tanggungan diluar sana yang telah menantinya. Dahulu aku pun sama dengan orang-orang yang bermalas-malasan di hari senin, namun pembelajaran berharga aku dapat. Musibah yang menimpaku beberapa waktu yang lalu mengingatkanku bahwa tak selamanya kita bersenang-senang. Kita wajib bersyukur bisa menjalani aktivitas normal hari ini, karena bisa saja kenikmatan hari ini tak bisa kita dapat dikemudian hari. Roda kehidupan memang berputar, tetapi jangan jadikan alasan itu untuk terus berpasrah pada keadaan. Kita harus pandai bersyukur agar selalu merasakan nikmat manis pahitnya kehidupan. "Listaaaa udah bang—" Ckelek "Lista udah siap, Mi." Raut terkejut dari mimik wajah Umi tercetak jelas, sedangkan diriku hanya menyengir tak bersalah. "Lista keren kan, Mi, hehehe .... " "Tumben banget anak Umi udah siap berangkat sekolah. Ini masih jam enam loh," ujar Umi yang masih tak percaya bahwa anaknya bisa serajin ini. "Iya, Mi, Lista kangen sekolah. Jadi Lista semangat banget buat sekolah," balasku mengulas senyum gembira. "Ini baru anak Umi yang pinter." "Ya udah ayo sarapan dulu," ajak Umi kepadaku yang tengah memakai kaus kaki berwarna putih. Aku sejenak terheran. "Udah mateng kah, Mi?" tanyaku. "Eh iya ya ampun masakan umi belum mateng. Terus gimana? Kamu mau nunggu?" Aku sedikit terkekeh melihat Umi yang panik. "Nanti Lista sarapan di sekolah aja, Mi, mumpung masih pagi gini, Lista mau jalan kaki ke sekolah," ucapku menatap Umiku yang berwajah terbilang awet muda. "Yah, ya udah kalau gitu yang penring jangan sampe lupa sarapan yah. Umi tambah uang saku kamu hari ini," kata Umi yang membuatku semakin sumringah mendengar uang sakuku akan ditambah. "Yeayy, makasih banyak, Umiku sayang," girangku dengan menciumi pipi umi. Umi hanya bisa pasrah sembari menggerutu melihat tingkah senangku ketika mendapat uang tambahan. "Kamu ini, gunain dengan bener loh yah uangnya," ujar Umi kembali memberikan selembar uang berwarna hijau. "Siap laksanakan, Captain." Aku mengangkat tangan kananku dan menempatkannya di pelipisku bergaya hormat. "Kamu ini ada ada aja, Sayang. Ini." Umi menjulurkan uang itu memberikannya kepadaku. Dengan semangat aku menerima uang itu dan mencium kembali pipi Umi. "Udah SMA masih aja seneng cium-cium Umi," celetuk Umi. Aku hanya menyengir kemudian menjawab, "nggak apa-apa dong, Mi, kan Lista sayang Umi." "Iya-iya anakku sayang." *** Setelah aku berpamitan dengan Umi dan Abi, aku bergegas keluar dari rumah untung berangkat sekolah. Di halaman rumah, aku dapati Kak Ken yang sedang mengurusi motornya. "Serius amat, ngapain, Kak? Si pitung berulah?" tanyaku mengagetkan Kak Ken yang entah sedang mengerjakan apa. "Allahuakbar, ngagetin aja deh, Dek. Udah berulang kali kakak bilang, si pitung udah ganti nama jadi si ganteng, Dek," keluh Kak Ken yang sepertinya mulai kesal dengan tingkahku. Aku terkekeh geli melihatnya. "Sama aja sih menurut Lista." "Beda!! Eh tapi tumben rajin banget jam segini udah berangkat sekolah. Ada apa gerangan?" tanya Kak Ken yang baru sadar melihatku akan berangkat sekolah jam segini. "Lista biasanya juga rajin kok. Lista lagi semangat aja berangkat sekolah," jawabku cemberut mendengar ejekan Kak Ken. "Rajin apanya dah. Biasanya berangkat 1 menit sebelum bel juga." "Mana adaaaa .... Ih Kak Ken mah!" rajukku. Kak Ken tertawa lebar melihatku kesal. Kebiasaan seorang Kakak laki-laki itu seperti ini, senang sekalu mengganggu adiknya. "Hahaha udah ah, gih berangkat. Nanti sampe sana semenit sebelum bel beneran lagi." "Iiihh nanti pulang sekolah jemput Lista loh kak," pintaku dengan masih merajuk. "Iya-iya. Ya udah jangan cemberut dong. Nanti kakak beliin eskrim coklat atau strawberry deh." Aku yang semula cemberut seketika ceria kembali. Mataku bahkan sekarang mungkin berbinar. Suap dari Kak Kem memang selalu manjur. Dia sangat tau apa yang menjadi keinginanku. Aku sangat menyukai eskrim coklat dan strawberry. Eskrim adalah moodbooster-ku. "Dua-duanya loh yah," pintaku. "Kamu ini dikasih hati malah minta jantung," jawab Kak Ken yang bergeleng-geleng melihat tingkahku. "Hehehe, ayo lah Kak Ken yang baik hati, suka menabung dan paling ganteng," mohonku dengan pupply eyes-ku. "Aiii iya-iya. Ya udah sana cepet berangkat." Aku berteriak riang. "Yeey Kak Ken terbaik. Ya udah Lista berangkat. Assalamu'alaikum." *** Sekitar 15 menit aku berjalan untuk sampai ke sekolah. Sekolah nampak masih sepi bahkan gerbang pun baru terbuka sedikit. Aku berhenti sejenak menilik arloji yang melingkar pada pergelangan tanganku. Jarum panjang menunjuk angka 15 dan jarum pendek menunjuk angka 6. "Pantesan baru jam segini sih." Kemudian aku bergegas mendekati gerbang itu dan mendorongnya agar terbuka luas. "Selamat pagi, Pak Adi." Seorang satpam yang sedang membuang sesuatu ke temoat sampah sontak menoleh ke arahku. "Loh Mbak Lista. Udah lama banget gak kelihatan," ujar satpam itu yang terheran melihatku kembali. For your information, aku kenal dengan satpam di sekolah ini namanya Pak Adi. Sewaktu sekolah aku selalu pulang terakhir sendiri sehingga tak heran jika Pak Adi apal dengan diriku. "Hehe iya, Pak, kemarin saya meliburkan diri. Dan sekarang udah kembali lagi," jelasku dengan terkekeh. "Pak Adi, apa kabar?" "Owalah, alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Lista sendiri gimana?" "Alhamdulillah baik juga, Pak. Ini saya semangat banget ke sekolah hehe." Saat aku tengah berbincang dengan Pak Adi, sebuah sepeda melaju dari belakangku memasuki sekolah. Aku sepertinya tak asing dengan orang yang baru saja masuk itu. "Ya udah, Pak, saya masuk dulu ya, Pak." "Iya, Mbak silahkan." Aku pun melangkah memasuki area sekolah. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi ini dan juga menikmati pemandangan di depanku ini yang sangat aku rindukan. Sudah berbulan-bulan rasanya aku tidak memasuki sekolah ini, tentu aku sangat rindu. Tak banyak yang berubah, hanya tanaman dan bunga hias yang terlihat semakin rapi. "Eh iya, tadi Radif kan? Tumben banget gak nyapa." "Apa dia lupa kali ya sama gue?" Aku terus merasa heran dan bertanya-tanya sendiri. Kemungkinan mataku tadi tidak salah menangkap sosok Radif yang baru saja berangkat sekolah kan ya. Karena aku tak ingin berpusing-pusing, aku pun melangkah kembali menuju kelas tercinta. *** Saat aku telah sampai di depan kelas, suasana sangat sepi. Hanya ada beberapa siswa saja yang berangkat. Aku memasuki kelas dan ternyata hanya ada seorang siswa saja yang sudah berangkat. "Dif." Saat aku menyebut namanya, dia yang tadinya tengah mencari sesuatu di tasnya kini berhenti bergerak. Ia tak berbalik menatapku hanya berdiam saja seperti patung. Aku mengernyitkan dahiku bingung. Dengan cekatan aku menghampiri mejanya yang kebetulan depan belakang dengan mejaku. "Haii, Dif," sapaku kepadanya. Ia membalikkan badannya. Tak menyiratkan ekspresi apapun, ia sibuk mengotak-atik ponsel yang baru saja ia keluarkan dari tas. "Lo kenapa, Dif? Gak kangen sama gue kah?" tanyaku kepadanya lagi yang tak bereaksi. Bukannya menjawab, ia malah berdiri dan melengos pergi tak mengidahkan diriku yang berdiri di sebelahnya. Aku hanya bisa menatap kepergian Radif dengan ekspresi bingung. Baru beberapa bulan aku tak bertemu dengannya, apakah ia sudah melupakanku? Tapi masa iya sih? Atau sikapnya memang sekarang seperti itu? "Assalamu'alaikum, Lista. YA ALLAH. ALHAMDULILLAH KAMU UDAH BERANGKAT SEKOLAH!" Lamunku seketika terpecah begitu suara dari pintu masuk kelas. Ternyata itu adalah Wedya. Gadis itu tampak sumringah melihatku yang sudah hadir di kelas kembali. "Wa'alaikumussalam, Wen. Huaaa iya kan gue udah bilang kemarin kalau sekarang mulai berangkat sekolah," balasku menanggapi kegirangan Wendya dengan antusias. "Iya, aku seneng banget tau, Lis. Udah beberapa bulan gak ada kamu, sepi hari-hariku. Huhuhu," ujar Wendya sok melankonis. "Idih lebai lo, Wen. Hahaha." Kami pun tergelak bersama sembari menyalurkan kerinduan masing-masing yang sudah lama tak bertemu di sekolah. Wendya adalah sosok sahabat sejati, aku akui. Dia sedari aku terkena musibah selalu setia mendukungku dan tak jarang menemaniku. Aku beruntung bisa kenal dekat dengannya. Otakku seketika memutar kembalu kejadian beberapa menit yang lalu. "Eh iya, Wen, itu yang barusan keluar kelas si Radif kan?" tanyaku to the point sudahgatal untuk bertanya. "Ah, iya dia Radif, Lis. Tapi sepertinya sekarang ini ia bukan sosok yang kita kenal." Pertanyaan yang sedari berputar di kepalaku seketika semakin jelas jawabannya. Aku tak salah merasakan ada yang berbeda dari Radif yang baru saja aku temui itu. "Iya bener sih, Wen. Tadi waktu gue sapa dia aneh banget. Radif yang biasanya suka jail sama gue, seketika dingin. Gue sampai gak habis pikir. Bisa-bisanya dia ngabaiin gue. Bahkan gue sampai mikir kalau dia lupa sama gue tau," jelasku mencurahkan isi hatiku tentang Radif baru ini. "Hemm, aku juga gak habis pikir sih, Lis. Entah cuma perasaan aku aja atau gimana. Dia bersikap dingin dan pemarah semenjak kamu gak masuk sekolah. Aku sempet mikir sih apa mungkin karena pertengkaran dan terbongkarnya identitas dia sebagai anak kepala sekolah, tapi kayanya bukan cuma itu deh," jawab Wendya menjelaskan sebagian kejadian yang aku lewatkan. Mendengar pertengkaran Radif seketika mengingatkan kejadian beberapa waktu lalu, di mana Radif pun sempat bertengkar dengan ayahnya di UKS. "Ja-jadi semua udah tau kalau Radif itu anaknya Pak Al?" Wendya menatapku dengan saksama. "Kamu udah tau?" Aku yang masih terkejut dengan kejadian yang aku lewatkan pun tak menggubris pertanyaan Wendya. Hatiku memintaku untuk berlari mencari keberadaan Radif. "HEY LISTA MAU KEMANA?" *** Radif's POV Pagi ini seperti biasa aku mengendarai sepedaku untuk sampai di sekolah. Suasana pagi ini agak mendung sehingga aku mengenakan jaket yang lumayan tebal karena cuaca dingin. Sudah hampir satu bulan ini aku menaiki sepeda untuk sampai ke sekolah. Semenjak kejadian yang membuatku cukup terpuruk, aku menemukan healing yang lumayan manjur untukku, yaitu menghirup udara pagi dengan memandang pepohonan hijau dengan cara berangkat sekoah dengan sepeda. Saat aku telah sampai di depan gerbang sekolah, gerbang itu sudah terbuka lebar. Tumben sekali, biasanya jika aku berangkat jam segini gerbang baru dibuka setengah. Tak perlu ambil pusing, aku kemudian memasuki gerbang itu. Namun aku sedikit terkejut ketika ekor mataku menangkap sesosok siswi yang tengah berbincang dengan satpam. Dahiku berkedut dan seketika entah mengapa jantungku berdegup kencang. Rasa itu kembali, seiring sosok itu kembali di sisiku. *** Selama perjalanan dari parkiran menuju kelas, aku tak henti-hentinya memikirkan kejadian tadi. Entah mengapa hatiku mendadak menghangat. Selama sebulan terakhir semua mendadak kosong, entah kepergian sosok partner pengurus kelasku membawa dampak besar bagiku. Aku tak tau apa penyebabnya dan setelah kejadian itu pun sebuah kenyataan pahit harus aku hadapi. Aku sudah memasuki kelasku yang masih kosong. Aku bergegas menuju bangkuku dan duduk di sana. "Huh .... " Aku terdiam sejenak memandang meja kayu berwarna putih itu. "Kenapa ya? Yakali gue suka sama dia?" gumamku yang kemudian membuatku bergidik sendiri. Daripada memikirkan yang tidak-tidak, aku pun memutuskan untuk bermain ponsel saja. Saat aku sedang mencari ponselku di tas, aku terkejut mendengar suara yang sudah lama tak aku dengar. Dan kalian tau, sangat aneh rasanya darahku berdesir. Bulu kudukku meremang. "Haii, Dif." Aktivitasku sejenak terhenti akibat keterkejutanku. Demi apapun ada apa denganku? Kenapa aku mendadak tak bisa menjawab salam darinya. Aku bahkan tidak bisa terfokus dengan apa yang dia bicarakan. Karena aku merasa jantungku kian berdegup kencang, aku pun memutuskan untuk kabur tak mengidahkan pertanyaannya. Aku tak peduli ia akan menganggapku bagaimana, yang penting aku terbebas dari situasi aneh itu. Langkah kakiku menuntun diriku untuk menuju rooftop. Tempat keseharianku yang sebagian besar aku habiskan waktu sekolah di sini. Biasanya aku hanya merenung dan tidur. Tak ada aktivitas lain dan aku cenderung menghindari keramaian. "Huh, kenapa sih?" tanyaku kepada diriku sendiri. Aku merasa bodoh bertingkah demikian di hadapan Bintang. Padahal aku sudah lama tak bertemu dengannya. Lidahku malah mendadak keluh tak menjawab satu katapun dari ucapannya. Jelas berbeda jauh dengan beberapa bulan yang lalu, Bintang dan aku terkenal seperti tom and jerry di sekolah. Keadaan terasa canggung setelah Bintang menghilang cukup lama. Jujur saja saat beberapa hari Bintang tidak masuk ke sekolah, ada rasa hampa yang aku rasakan. Sepertinya ketidakberadaan Bintanglah yang membuat ruang hampa itu. Ada sejuta pertanyaan yang ingin aku tanyakan kala itu. Padahal sebelum dia menghilang yang menurut Wendya akibat terlibat kecelakaan, ada permasalahan yang terjadi di antara kita. Aku tahu saat itu aku melakukan kesalahan yang membuatnya kecewa. Bodohnya aku waktu itu memperlakukan Bintang dengan kasar. Hampir dua minggu Bintang absen dan aku masih saja mengkhawatirkam keadaan Bintang, aku ingin mengiriminya pesan atau sekedar mengunjungi rumahnya, namun sayangnya rasa gengsi yang aku miliki membuatku dengan cupunya melewatkan itu. Di satu sisi aku merasa bersalah akan kejadian di mana aku membentaknya dengan keras. Aku juga takut jika ia terlibat kecelakaan itu buntut dari permasalahan yang terjadi antara kami waktu itu. Sungguh aku takut. Saat itu aku melihat Wendya, teman yang dekat dengan Bintang terlihat panik saat mendapatkan sebuah telepon. Aku tak sengaja mendengar ia menyebut nama Bintang di sana. Saat itu aku ingin langsung menghampirinya, namun aku mengurungkan diri karena ada rasa tak berhak yang aku rasakan. Aku merasa tak pantas mengetahui keadaannya setelah memberikan perlakuan tak menyenangkan kepadanya. Beberapa hari pikiranku di penuhi oleh rasa bersalahku kepada Bintang. Setelah aku mencoba menyingkirkam egoku, aku pun memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Bintang. Pada hari selanjutnya aku telah bertekad untuk bertanya kepada Wendya mengenai Bintang. Aku semangat pada hari itu untuk menanyakan berbagai pertanyaan yang membuatku tak bisa tidur nyenyak berminggu-minggu. Namun niatku hancur seketika, ketika sebuah kejadian yang aku tak ingin aku lalui, terjadi. Kejadian yang selama ini aku takutkan, harus aku hadapi saat aku berada di kondisi tak baik. Dan kejadian itulah yang membuatku kini menjadi sosok Radif yang berbeda. Radif yang cenderung dingin dan tak mau berurusan dengan siapapun. Berubah 180° tentu. Oleh karena itu aku lebih senang menyendiri di rooftop ini. Andai waktu itu ada Bintang, mungkin aku tak akan seperti ini. Bintang maafkan aku yang dengan bodoh melakukan ini. Maaf jika kecelakaan yang terjadi kepadamu akibat dari pertengkaran kita hari ini. Aku lagi-lagi menghela napas berat. "Padahal ada banyak pertanyaan yang perlu gue tanyain ke Bintang. Bodoh banget lo, Dif!!" Aku hanya bisa memejamkan mata mencoba menetralkan pikiranku yang terus berkecambuk. "Lo boleh tanya sekarang, Dif." TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN