how finally they met again

1484 Kata
Suara koral yang terjejak kasar mengiringi langkah Diaz memasuki sebuah bangunan yang dari luar tampak begitu artistik. Lonceng-lonceng kecil berdeting saat pintu bergerak terbuka. Tetapi Diaz tidak memiliki banyak waktu untuk sekedar menghiraukan detail lain dari desain interior galeri perhiasan tersebut. Bahkan sapaan selamat datang untuk seorang tamu sepertinya tidak ia gubris seandainya itu bukan suara yang terdengar tak asing baginya. "Di?!" ....... "Di, gue duduk sini ya. Kosongkan?" "Bener Diaz kan nama lo? Gue Melinda" "Lo kok tahu nama gue?" "Tahulah lo kan yang disuruh maju ke depan tadi pagi. Diaz Saputra, bintang iklan sirup. Baruna" "Akting lo keren banget sampe bikin orang ga bisa lupa kalau lo yang jadi pemeran Baruna" Mereka sama-sama mengenakan seragam olahraga SMA mereka hari itu. Seragam olahraga berwarna abu-abu. "Nama lo siapa tadi?" "Melinda" "J artinya apa?" "Jenar. Melinda Sasmita Jenar" Diaz menanyakan inisial huruf yang menjadi liontin di gelang Melinda. Hingga akhirnya dia tahu bahwa Mahesa Jenar, Ayah Melinda adalah pengusaha besar bisnis perhiasan. ....... "Di?!" Panggilan itu menyentak Diaz dari kelebatan ingatan tentang kali pertama pertemuan mereka. Panggilan itu juga yang membuat Diaz yakin bahwa ia tidak salah mengenali. "Di?! Benar Diaz kan? Apa kabar?" Sapaan yang ceria lalu jarak yang terkikis karena Diaz yang mematung langsung dihampiri. Selepas melewati pintu masuk, ia merasa benar-benar mendapatkan sambutan. Perempuan itu berdiri di depannya dengan senyuman yang pernah begitu familiar di hari-hari Diaz. "Mel..." Akhirnya Diaz kembali menyebut nama tersebut. Nama yang pernah begitu akrab hingga sekarang menjadi terlalu asing baginya. "Aaah masih ingat ternyata. Kabar kamu baik kan. Ayo masuk! Silakan dilihat-lihat dulu koleksi kami!" Seolah kebekuan tiap kali bertemu dengan Melinda adalah kebiasaan yang Diaz lakukan. Lagi-lagi dirinya blank dan hanya dapat terus mengamati sosok kejutan yang berjalan di depannya. "Mel,,, apa kabar? Kamu beda" Diaz benar-benar melupakan tujuannya dan dimana saat ini ia berada. "Alhamdulillah baik, hahaha iya ya. Aku bisa maklum seandainya kamu tadi ga langsung ngenalin aku" Mel, Melinda yang Diaz kenal dulu memiliki rambut panjang hitam legam. Kini mahkota itu tertutup kerudung panjang berwarna cream. Pakaian Melinda sangat tertutup hingga kulit kuning langsat ciri khas perempuan itu minim yang tampak. Pembawaannya masih ceria seperti dulu tetapi kini yang bisa Diaz tangkap bahwa Melinda terlihat jauh lebih anggun dan lembut. "Ini kamu lagi mau cari sesuatu? Mungkin ada yang bisa aku bantu?" Diaz menghembuskan napasnya yang terasa sempat tertahan. Kembali mendengar tawa renyah Melinda juga senyumannya setelah sekian lama ternyata tidaklah mudah. Diaz mencoba merilekskan diri. "Aku disuruh ambil pesenan atas nama Dian Hapsari" Ada jeda yang dapat Diaz tangkap dari gestur tubuh Melinda. Sebelum akhirnya, perempuan itu menunjukkan raut terkejut dan berbinar. "Saputra&Hapsari?!" Untuk pernyataan dengan intonasi pertanyaan tersebut, Diaz mengangguk. "Astaga jadi Mbak Dian itu....Wah nggak nyangka dunia sempit banget yaa...." "...oke tunggu ya, silakan duduk" Dengan keceriaan yang belum hilang Melinda berjalan ke sebalik sebuah meja bar yang digunakan untuk meracik beberapa minuman. Diaz tahu karena terdapat beberapa cup gelas dan alat pembuat kopi di sana. Jadi interior Bea&Co ini terlihat seperti galeri perhiasaan yang menyatu dengan sebuah caffe. Di depan Diaz duduk terdapat meja lain yang memiliki beberapa peralatan yang terlihat asing baginya. Tetapi jika dihubungkan maka terdapat sebuah showroom juga yang memperlihatkan proses pembuatan perhiasan. Kilau-kilau batu cantik juga beberapa logam mulia yang tampak perlu dipoles, ada di sana. "Silakan. Ini teh racikan aku sendiri" Perempuan itu beralih ke workspace yang membuatnya berhadapan dengan Diaz. Setiap pergerakan Melinda tidak lepas dari pengawasan mata Diaz. Sebut saja ia bernostalgia atau masih dilanda keterkejutan akan pertemuan yang kini ia sebut sebagai sebuah takdir. "Kamu buru-buru ada acara ya?" tanya Melinda sehabis menatap layar monitor. "Iya eh engga" gagap Diaz memastikan pilihan tindakannya yang membuat Melinda terkekeh. "Welcome to Bea&Co. Aku biasanya bikin appointment sama clientku waktu pengambilan barang supaya mereka bisa lihat final touch yang aku lakukan ke pesanan mereka. Biasanya kami ngobrol-ngobrol sambil minum teh atau kopi. Aku bisa dapat banyak masukan dari konsumenku..." Masih seperti Melinda yang Diaz kenal. Dia begitu cakap berbicara juga multitasking. Sembari menerangkan beberapa hal tadi, perempuan itu bersiap melakukan final touch untuk perhiasan yang akan diambil Diaz. ...Tapiii aku baru aja dapat pesan dari Mbak Dian kalau dia minta skip aja sesi ini karena yang ambil ada acara." "Nggak. Hapsari gatau kalau acaraku batal." Diaz memotong kalimat Melinda untuk segera menuntaskan. "Well" respon Melinda sambil mengenakan kacamata "Kamu bisa tunggu aku selesaiin ini sambil kamu minum teh berarti." Diaz mengangguk singkat dan benar-benar menunggu atau lebih tepatnya ia sedang menahan dirinya di sana. Upaya yang ia lakukan untuk berlama-lama di tempat itu bersama pemiliknya. Jari-jari lentik itu tengah mengasah cincin pernikahan Dian dengan alat khusus. Logam mulia juga berliannya tampak semakin berkilau. Ekspresi serius Melinda adalah fokus utama yang memaku Diaz. Bulu matanya yang lentik bergerak sesekali, hidungnya yang bangir, garis rahangnya, dan bibir... "Kamu masih acting Di?" Diaz menggelengkan kepala mencoba fokus setelah tanpa ijin membingkai visual di hadapannya. Gambar wajah yang coba Diaz cocokkan dengan figur serupa dari pemiliknya tujuh tahun silam. "Eh.. masih ya? kamu kan serius banget di dunia seni peran." Melinda mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Diaz lalu tersenyum. Tidak ada banyak yang berubah selain lebih dari yang dapat Diaz ingat. Cantik. Melinda memiliki aura yang cantik jadi dengan rambut panjang terurai atau kerudung panjang menjuntai, ia selalu cantik. "Kamu memutuskan lanjutin bisnis Om Mahesa?" "Ummmm iya tapi nggak juga" Melinda menunjukkan cengirannya sebelum melanjutkan "Bea&Co memang ada karena bantuan Papa, aku kan dari dulu suka banget bikin pernak-pernik gini. Tapi buat lanjutin usaha Papa kayaknya aku belum mampu ya makanya fokus dulu ngembangin ini" Final touch yang dilakukan Melinda untuk sepasang cincin pernikahan yang ia garap sembari mengobrol dengan Diaz telah selesai ia kerjakan. Cincin itu ia letakkan di wadah khusus yang desainnya juga telah dipesan oleh Dian Hapsari sang mempelai wanita. "Silakan dicek dulu. Mbak Dian suka lucu tauuk kalau nyeritain calon suaminya yang sibuknya minta ampun" Melinda terkekeh karena kini ia menjadi tidak heran karena ternyata yang sering dibicarakan Dian adalah seorang Diaz yang Melinda tahu memang sudah menjadi orang sibuk sejak dulu. Sedangkan yang diajak bicara, pikirannya tengah berkelana kemana-mana juga dipenuhi setumpuk pertanyaan. Tangan Diaz bergerak-gerak mengusap setiap sisi kotak beludru berwarna putih dengan aksen silver yang sesuai dengan tema pernikahan Dian. Kini ia lihat Melinda mengambil paper bag dengan tulisan Bea&Co di depannya lalu perempuan itu terlihat menulis sesuatu. "Kamu kemana aja selama ini?... uhm maksud aku, kamu seolah menghilang. Bahkan teman-teman kamu sempat nanyain kamu ke aku" "Oh ya??" Melinda sempat terkejut sebelum matanya berpindah ke segala arah menghindar "Aku emang sempat lost contact sama mereka" lebih tepatnya dengan siapa saja. "Itu udah sesuai dengan pesanan kan" Ia mengalihkan topik obrolan kembali pada kotak cincin yang akan ia packing. Melinda kembali memastikan dan Diaz merasa diingatkan bahwa dia tidak bisa berlama-lama. Kebohongannya terkait acara yang batal tidak bisa memberi Diaz waktu tambahan untuk bertahan lebih lama. Getar ponsel dalam saku jasnya pertanda dirinya sudah mulai dicari orang-orang. Padahal masih ada banyak hal yang belum ia tuntaskan, sama halnya dengan teh menenangkan buatan Melinda yang belum tandas. Tujuh tahun bukan waktu yang sebentar hingga bisa dirampungkan dalam pertemuan beberapa menit. Bukankah memang di antara mereka perlu ada yang dibahas? Hari ini adalah awal pertemuan mereka kembali, begitu setidaknya pikir Diaz. Jadi dia berharap bahwa akan ada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Mungkin yang bisa mereka rencanakan setelahnya. "Aku boleh minta nom..." "ASSALAMUALAIKUM BUNDAAAA" "Waalaikumsalam" Kepala-kepala menoleh ke sumber suara dimana seorang anak perempuan berlari masuk dari pintu samping. Anak perempuan berambut pendek dengan poni menutupi dahi itu menarik perhatian Diaz dan Melinda. Tas ransel berwarna pink yang anak itu kenakan bergerak-gerak seirama dengan derap kakinya. Gadis cilik itu tersenyum lebar, senyum yang -- familiar. Lagi-lagi familiar bagi Diaz. Jika senyuman yang serupa tadi menghadirkan gelombang kejut dengan degup kegembiraan maka untuk yang satu ini terasa mencekat Diaz tepat di tenggorokannya. Ada gumpalan tak kasat mata yang membuatnya kesulitan bersuara atau bahkan bernapas lega. Karena, senyum yang tampak familiar itu tersungging manis pada potret wajah yang tak bisa Diaz sangkal adalah versi mini dari seseorang di sini. "eh ayah?" Mata. Kecuali mata itu. Dua bola mata yang bertatapan langsung dengan milik Diaz itu adalah satu bagian asing yang tidak Diaz temui pada orang yang ia ketahui. Diaz sedang tertampar kenyataan dan tersadarkan bahwa ia terlalu gegabah merasakan euphoria. "Sayang" Suara lembut Melinda yang memecah aksi saling tatap dalam kebingungan itu membuat Diaz menelan ludah dengan kasar karena terasa susah. Ia mulai memperhatikan interaksi antara Melind-- atau kini bisa Diaz sebut adalah interaksi antara seorang bunda dan anaknya. "Salim dulu sama om. Kenalin ini temen bunda namanya Om Diaz" "Hehehe Bea kira tadi ayah datang soalnya bajunya sama kayak punya ayah. Kita jadi ketemu ayah kan bund?" Anak itu melewati Diaz yang mematung lalu memeluk kaki Melinda menyembunyikan wajah malu-malu. Melinda mengangguk, merespon pertanyaan anak kecil itu. "Ayo salim dulu sama om-nya..." "...Di, kenalin anak aku namanya Beatrice" DUARRRRR Diaz tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN