Dua

1216 Kata
Seorang perempuan tua berdiri di gerbang sekolah sembari membawa payung di tangan kirinya. Perempuan itu berulang kali menengok ke dalam sekolah sedangkan satpam sekolah seolah siaga di depan gerbang, takut kalau-kalau perempuan tua itu tiba-tiba saja lari ke dalam sekolah. Matanya awas mencari-cari seseorang. Matanya tajam sekali menelisik setiap siswa dan siswi yang keluar dari sekolah. Beberapa temanku bahkan berjalan menjauh dari perempuan tua itu. Seolah mereka takut. Jujur saja, penampilannya memang sedikit menyeramkan, selain karena matanya yang hitam legam juga karena rambut putihnya yang ia biarkan terurai panjang begitu saja. Pakaian yang ia kenakan model kebaya kuno berwarna hitam, lengkap dengan kain dari batik yang hanya dililit-lilitkan begitu saja di perutnya hingga membentuk rok. Perempuan tua itu membawa dua payung, ia seperti tengah menunggu seseorang karena satu payungnya masih belum terbuka. "Yuk, Al!" kata Kiran. Alya menoleh dan mendapati Kiran sedang tersenyum garing ke arahnya. "Dia siapa?" tanya Alya seraya wajahnya sedikit terangkat ke arah perempuan tua itu. Kiran mengikuti arah pandang Alya. "Gak tahu. Setiap dua hari sekali emang ke sini. Katanya jemput anaknya pulang sekolah." "Anaknya sekolah di sini?" "Nggak tahu." "Kok gak tahu?" "Ya habis gue gak pernah lihat anaknya nyamperin dia." "Apa anaknya malu?" "Nggak. Temen-temen bilang sih emang agak gak waras gitu. Beliau tuh dari masih muda sampai udah tua begitu masih aja kesini tiap dua hari sekali." "Dari masih muda?" tanya Alya heran. "Iya. Dari masih muda." sahut Dian. Cowok itu sudah berdiri di sisi Alya yang lain. Alya bingung maksud dari kedua sahabat kecilnya itu. Dian memicingkan matanya, ia mengamati perempuan tua itu yang membawa payung sebelum memandang langit yang terlihat cerah. "Buruan yuk, keburu hujan!" seru Dian. Alya dan Kiran yang mendengarnya memandang bingung ke arah Dian. "Ayo!" serunya lagi seraya berlari kecil meninggalkan Alya dan Kiran yang tertegun kemudian mengikuti Dian yang sudah terlebih dahulu pergi. Tepat ketika Alya melewati perempuan tua itu, mata mereka bertemu, detik berikutnya di hadapan Alya, perempuan tua itu membuka payungnya dan menggunakannya sembari masih menatap tajam ke arah Alya. Tatapan yang tak hanya tajam, tapi juga mengerikan. Memadangnya saja Alya merasakan sensasi berbeda. Perempuan itu menatapnya seperti sebuah ancaman dan musuh yang besar. Alya yang tak pernah kenal takut sejak kecil balas menatap perempuan mengerikan itu. Alya bahkan sempat berhenti dan mereka saling pandang. Alya yang tak suka dan tak takut pada tatapan mengerikan perempuan itu, dan perempuan itu yang ingin sekali menyerang gadis itu namun ia tahan sekuat tenaganya. Dian menarik tangan Alya menjauh ketika merasakan hawa dingin yang Alya dan perempuan tua itu ciptakan. Saat mereka baru satu langkah menjauh dari perempuan tua itu, langit yang tiba-tiba saja cerah berubah menjadi gelap dan hujan deras datang tiba-tiba. Membuat beberapa siswa berhamburan mencari tempat berteduh, termasuk Alya, Kiran dan Dian. "Kok lo tahu kalau bakalan hujan? Padahal tadi masih panas-panasnya." tanya Kiran pada Dian. "Gue lihat perempuan tua itu bawa payung." jawab Dian santai. Kiran, Alya dan beberapa siswa yang ada di halte bus tersebut menoleh heran ke arah Dian. Mereka menatap Dian bertanya-tanya. Dian yang mendapatkan tatapan horror dari teman-temannya meringis kecil. "Gue hapal gaes, kan kita udah hampir dua tahun sekolah. Nah setiap tuh perempuan tua bawa payung, tandanya mau hujan." "Wahh, lo jeli juga ya buat neliti yang kayak gituan." kata Kiran berdecak kagum yang membuat Dian bergaya norak di hadapan teman-temannya "Tapi emang aneh loh. Gue pernah lihat beliau sampai jam 5 sore pas gue masih ada ekskul di PA." kata Soraya, perempuan yang sekelas dengan Dian saat kelas X. "Maksud lo?" tanya Kiran penasaran. Semua siswa dan siswi di halte itu menunggu jawaban Raya, termasuk Alya. "Jadi pas gue gak sengaja latihan climbing gitu, dari atas gue lihat nenek itu berdiri, tapi gak di depan gerbang kita kayak sekarang ini, agak jauh, di sana." tunjuk Raya pada sebuah gang sempit yang terletak di pertigaan depan. "Gue kehilangan fokus ya karena tiba-tiba tuh nenek ngelihat gue. Coba kalian bayangin aja, dia natap gue tajem banget, padahal dari jarak gue, gue harus pake ekstra mata gue buat mastiin nenek tua itu yang biasa nongol di depan gerbang sekolah kita." kata Raya antusias. "Kira-kira ngapain ya di sana?" celetuk Ardi sang ketua kelas. Arya memandang kembali kembali ke arah perempuan tua itu, sementara seluruh temannya berpikir keras dan terdiam. Hanya suara rintikan air hujan yang menemani mereka. Detik kemudian, ketika Alya masih menatap punggung perempuan itu dengan seksama, kejadian tak terduga tertangkap oleh kedua matanya. Perempuan tua itu membuka payung satunya ketika Alya menatap sosok lain yang baru saja keluar dari sekolahnya dengan berlari-lari kecil. Sosok lain yang membuat bibirnya kelu dan jantungnya berpacu memburu. Iya, ia masih ingat sosok perempuan itu. Perempuan yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. Perempuan yang membuatnya mengikuti langkah kakinya sampai ke lapangan basket dan bertemu dengan mayat-mayat berserakan. Perempuan tua berjalan beriringan dengan perempuan berseragam itu, bahkan ia memayunginya, sikapnya seolah ibu yang memayungi anak gadisnya agar tubuh anak gadisnya tak basah oleh hujan. "Syukurlah nenek itu sudah pergi. Kasihan kalau menggigil kedinginan..." kata Raya menatap iba. Alya masih menikmati pemandangan aneh itu. Ia ingat tadi saat istirahat ia menjelajahi setiap kelas untuk menemukan siswi aneh itu. Tapi ia tak menemukan keberadannya. Bagaimana bisa sekarang ia tiba-tiba muncul dari dalam sekolah? "Nenek tua itu kayak mayungi seseorang, ya?" celetuk Ardi yang membuat Alya menoleh ke arahnya heran. Ditatap Alya yang bingung, Ardi jadi salah tingkah. "Maksud lo?" tanya Alya. "Hmm, emang lo siswi baru sih Al, jadi pemandangan aneh kayak gitu mungkin jarang di Bandung." kata Ardi gak jelas. Alya semakin menatapnya bingung. "Maksud gue ya nenek itu gila aja gitu." kata Ardi sambil mendesah kesal. "Ya dia buka payung satu lagi dan posisinya kayak gitu, buat mayungin siapa coba? Setan?" lanjut Ardi yang disambut gelak tawa teman-teman lainnya, tapi tidak dengan Alya. Ucapan Ardi memperkuat kesimpulan Alya bahwa sosok yang dilihatnya kini memang setan, makhluk tak kasat mata. Makhluk yang tak semua manusia bisa melihatnya. Tapi kenapa Alya? Ke napa Alya yang hanya mampu melihat sosok aneh itu seorang diri? "Lo gak lihat apa-apa?" tanya Alya sedikit berbisik di telinga Dian. Dian menoleh dengan alis berkerut. Ditatapnya baik-baik wajah Alya yang sudah pucat dan menatapnya takut. Jika sudah begini, Dian tahu apa yang sedang dilihat oleh Alya. "Lo lihat di mana? Di mana?" tanya Dian. Bibir Alya hanya mampu bergetar saja, membuat Dian semakin cemas dan celingukan menoleh ke sana ke mari, mencari sosok halus yang biasanya juga ia temui. Tapi kenapa untuk saat ini ia tak melihat apa-apa? Dan hanya Alya saja yang melihatnya? Dengan tubuh yang gemetaran, tangan Alya terangkat dan menunjuk nenek tua yang berjalan di hadapannya, namun ke arah yang berbeda. Dian mengikuti telunjuk Alya, ia tak melihat apa-apa. Alya yang tak berani memandang perempuan itu menatap Dian tak percaya. Ekspresi Dian tercetak jelas di wajahnya bahwa ia tak melihat sosok makhluk lain. "Itu! Perempuan itu!" kata Alya kesal dengan sedikit berteriak. Ia hampir saja menangis karena frustasi. Merasa kesal karena Dian juga tak menemukan sosok lain lewat ekspresi yang ditunjukkannya kepada Alya, Alya menoleh kembali ke sosok perempuan itu. Dan saat dia menoleh, "Argggg!!!!" Alya menjerit histeris karena gadis tak kasat mata itu menoleh menyeramkan ke arahnya. Lehernya berputar 180 derajat ke arahnya dengan mata yang hampir keluar. Tubuh Alya meremang. Ia tak menyangka baru seminggu ia pindah sekolah kejadian mengerikan seperti ini menemaninya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN