Pantaskah Aku Dicintai?

Pantaskah Aku Dicintai?

book_age18+
6
IKUTI
1K
BACA
goodgirl
independent
confident
drama
bxg
non-hunman lead
small town
first love
self discover
like
intro-logo
Uraian

Kisah perjuangan Larasati si gadis polos yang ingin membantu perekonomian keluarga di perantauan. Dari sanalah kehidupan cintanya bermula. Dia tenggelam oleh rayuan cinta pertama yang begitu memabukkan. Hubungan yang terjalin selama 2 tahun akhirnya kandas karena kehamilannya yang tidak diinginkan oleh Dennis. Dia berjuang keras untuk menarik simpati Dennis agar pria itu segera menikahi dirinya. Namun, pacarnya itu tidak peduli dan memutuskan hubungan mereka begitu saja. Keluarganya tidak tahu akan kehamilan Laras, apakah yang akan terjadi selanjutnya dengan kehidupan Laras dan janin yang di kandungnya? Apakah dia akan mencari jalan keluar untuk si jabang bayi? Apakah ada pria yang bisa menerima kekurangan Laras karena hal yang terjadi di masalalunya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Penyesalan Larasati
Kamu percaya dengan cinta pertama yang seperti diucapkan orang-orang? Cinta pertama yang begitu indah, cinta pertama yang begitu berharga dan cinta pertama yang sulit untuk dilupakan. Aku sudah melalui proses percintaan pertamaku, namun sayangnya tidak seindah apa kata orang. Kini di sinilah aku, kamar berukuran kecil 2x2 meter ini menjadi salah satu saksi bisu perjalanan kisah cinta pertamaku. Aku tengah menunggu ponselku berdering. Sudah beberapa kali aku menghubungi kekasih hati yang sudah dua tahunan ini menemani hari-hariku. Aku tidak sanggup menghadapi masalah ini sendirian. Aku tidak ingin dunia tahu bahwa Larasati yang dulu berbeda dengan Larasati yang sekarang. Aku melihat perut yang masih rata dan mengelusnya sejenak. Aku dengan cepat menggelengkan kepala. Aku harus memberitahu dia dahulu agar bisa menentukan langkah selanjutnya. Dering ponsel yang aku tunggu akhirnya berbunyi. Aku segera menjawab panggilan tersebut. Perasaanku cemas bercampur takut. ["Mas bagaimana ini mas? aku tengah berbadan dua,"] ["Apa yang kamu katakan Laras? kamu berani menipuku? kita memang berhubungan tapi bukannya aku selalu bermain aman?] ["Aku tidak berbohong mas, waktu itu kita melakukannya tanpa alat kontrasepsi"] ["Kamu tenang saja dulu, bisa jadi alat kehamilan yang kamu pakai tidak efektif dan hasilnya belum tentu akurat"] Suara seorang pria di seberang sana terdengar bergetar. Aku hampir menangis, tidak ada seorangpun yang tahu kabar ini kecuali pria itu. Aku memutuskan untuk menutupinya dari siapapun. ["Tapi mas, aku takut kalau pergi ke dokter kandungan dan diperiksa oleh dokter. Kita kan belum menikah, pasti mereka meminta surat nikah mas,"] Aku kebingungan. ["Besok aku hubungi kamu lagi, sekarang ini kamu istirahat saja dulu. Aku akan menemukan jalan keluar untuk kita agar masalah ini lekas selesai,"] Belum sempat aku menyahut perkataannya, Dia sudah mematikan panggilannya. Aku yang masih ingin berkeluh-kesah menghubunginya kembali, namun nomor teleponnya tidak dapat aku hubungi. Dengan cepat dia sudah menonaktifkan ponselnya. Aku merenung, mengepal ponselku erat dan melemparkannya ke atas kasur. Aku meremas kedua tangan, aku menyesal karena selama ini terlalu mabuk kepayang dan terbuai oleh yang namanya cinta. Mataku sembab karena seharian ini aku mengurung diri di kamar dan menangis meratapi nasib. Mataku nanar, kepalaku menengadah menatap langit-langit kamar. Pikiranku melayang pada kejadian tiga tahun silam. Waktu itu pertama kali aku harus hidup berjauhan dengan keluarga. Aku memutuskan untuk merantau ke kota Batam dan bekerja di sana. Setelah mendapatkan surat panggilan dari PT Moulding aku memekik kegirangan dan menghampiri ibu yang tengah memasak di dapur. "Kamu kenapa Ti?" Ibu bingung dengan kegembiraanku. Di kampung ini semua orang memanggil aku dengan sebutan Ati. Termasuk keluarga sendiri. "Buk, Ati keterima bekerja di Batam. Ada surat panggilan dari PT yang datang," aku memeluk erat ibu dari belakang. Ibuku mematikan kompor dan menatapku dengan kebingungan. Wajahnya berubah mendengar penjelasanku. "Kamu benar-benar mau bekerja di kota itu? apakah kamu siap bekerja? kamu masih terlalu muda untuk merantau nak," wajahnya terlihat cemas, ada raut keraguan terpancar. "Insya Allah Ati siap buk, kalau tidak merantau siapa yang akan melunasi hutang bapak? penghasilan bapak hanya cukup untuk biaya kita sehari-hari. Kapan hutang itu akan lunas kalau begini terus buk?" aku berusaha meyakinkan ibu. "Tapi usia kamu masih belasan nak, ibu khawatir dengan kehidupanmu di kota besar itu," wajah beliau masih saja cemas. "Ada asrama yang menampung Ati sebagai pekerja buk, dan banyak juga gadis yang berusia seperti Ati yang merantau. Mereka baik-baik saja bahkan mampu menaklukkan kerasnya kehidupan di kota," ucapku meyakinkan ibu. Ibu menghela napasnya, dia menatapku lama. Mungkin beliau menyesal karena tidak bisa menyekolahkan aku sampai sarjana. Apa boleh buat ketika takdir merenggut jalan satu-satunya rejeki keluarga kami. Kapal kecil untuk penyewaan angkutan barang dari kampungku ke beberapa kampung lain harus tenggelam di tengah lautan saat perjalanan. Uang yang di dapat dari sewa kapal tersebut bapak sisihkan untuk membayar pinjaman pada Bank. Sisanya untuk membeli kebutuhan hidup kami sekeluarga. Pada saat itu kehidupan kami cukup makmur. Sayangnya kehidupan kami tidak berjalan mulus. Bapak kebingungan setelah kapal tenggelam, beliau harus membayar cicilannya sebelum jatuh tempo. Beliau kini bekerja sebagai buruh serabutan di pasar. Walaupun penghasilan beliau cukup untuk kami sekeluarga namun hutang harus dibayar lunas. Kini aku sebagai anak sulung harus berusaha menolong orang tuaku dari kesulitan. "Kalau begitu keputusan kamu, ibu akan mengijinkan kamu pergi. Tapi, kamu harus memberitahu pada bapakmu nak. Keputusan bapak yang utama. Ibu akan setuju kalau bapakmu juga setuju," jelas ibuku. Aku mengangguk mengiyakan tanpa berbicara sepatah katapun. Aku kembali ke kamar dan meletakkan amplop coklat tersebut. senja telah datang, suara motor bapak terdengar sampai di kamarku. Aku berlari ke depan dan menyambut kedatangan beliau. "Kamu kenapa Ti? kenapa sampai berlarian segala? dikejar Putra ya?" Bapak mengernyit heran. "Ati punya kabar baik pak," aku tersenyum lebar. "Bapak, Mbak Ati mau pergi ke kota," Putra yang baru saja datang langsung memberitahu Bapak. Aku tidak heran dengan ucapannya karena tadi dia menguping pembicaraanku dengan ibu di dapur. "Benarkah? ngapain ke kota nak?" Bapak tampak berpikir keras. Aku menjelaskan pada beliau yang sudah duduk di kursi plastik yang berada di teras rumah kami yang sederhana. Ada rasa bersalah yang terpancar jelas dari raut wajah beliau. Aku meyakinkan beliau supaya diijinkan untuk merantau ke kota. Bapak mengembuskan napas dengan lambat, beliau seakan menimbang-nimbang untuk mengijinkan aku pergi atau tidak. Aku menatap beliau dengan raut memelas. "Kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, bapak ijinkan asalkan kamu bisa menjaga diri di sana!" Perkataan bapak membuat aku gembira. Kupeluk tubuhnya dan mencium punggung tangannya berkali-kali seraya mengucapkan kata terimakasih. Tiga hari kemudian, aku berangkat ke tempat yang telah di sediakan oleh PT untuk berkumpul sebelum hari penerbangan. Aku berpamitan pada keluarga dan tanpa terasa air mata menetes. "Doakan Laras agar bisa membantu bapak dan ibu," Kupeluk orang tuaku bergantian. "Doa bapak dan ibu selalu mengiringi langkahmu nak," beliau mengurai pelukan dan mencium keningku berkali-kali. Aku memeluk Putra dan berpesan padanya agar selalu membantu ibu dan bapak. Mereka melepaskan kepergianku dengan rasa ikhlas dan penuh harapan agar kehidupan kami bisa berubah. Tahun pertama aku rutin mengirimkan gajiku pada ibu. Setiap bulan aku selalu mengirimkan uang sebesar satu juta rupiah. Sisanya aku belikan kebutuhan sehari-hari dan ditabung secukupnya. Tapi sayangnya setelah tiga tahun di perantauan apa yang aku lakukan? aku terhanyut oleh cinta pertama. Cinta yang membuatku melupakan tujuan awal merantau. Tangisku pecah kembali, rasa penyesalan menyeruak memenuhi d**a ini. Sesak rasanya ketika aku harus berbohong pada orang-orang sekitar bahwa aku baik-baik saja. Orang tuaku tidak mengetahui kalau anak gadis satu-satunya ini sudah tidak gadis lagi dan telah berpacaran dengan seorang pria serta melakukan hubungan yang bergelimang dosa berulang kali selama satu tahun ini. Terkadang aku menyesal kenapa dulu aku bersikeras untuk merantau. Seandainya kuturuti keinginan bapak dan ibu, mungkin aku tidak akan hamil diluar nikah seperti sekarang. Aku terlalu capek pikiran, mata mulai redup dan panas efek menangis seharian. Aku terlelap dalam malam yang seakan-akan tidak mau tahu apa yang tengah terjadi padaku.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sweetest Pain || Indonesia

read
76.4K
bc

Karma : Kupermalukan Di Akad Nikahnya

read
203.1K
bc

Stuck With You

read
73.9K
bc

Suami untuk Dokter Mama

read
20.9K
bc

Happier Then Ever

read
42.8K
bc

(Mantan) Suami

read
131.2K
bc

Growing Pains || Indonesia

read
35.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook