How Do You Know My Name?

1351 Kata
Rangga terhenti ketika melihat buku tebal background biru, dengan tulisan judul berwarna putih berketebalan medium. Ia mengambil buku tersebut dan memeriksa sekaligus memperhatikannya. Selang sekian detik, Rangga mengulas senyum tipis. 'Ketemu juga,' gumamnya dalam hati. "Maryanne M. Mowen and Hansen." Ia membaca nama pengarangnya. Rangga puas akhirnya bisa menjumpai buku yang ia inginkan di toko ini. Dari kemarin pekerjaannya berubah menjadi seorang detektif pencari. Berbicara tentang mencari, ia tiba-tiba teringat dan penasaran dengan seorang perempuan yang baru saja ia ketahui informasinya lewat daftar karyawan di buku besar yang terletak di kantor produksi. Nabila Kirania. Pegawai sanitasi berusia dua puluh tujuh tahun, beserta alamat yang tertera di buku daftar tersebut. Hanya itu yang ia dapat. Rangga tidak bisa menemukan informasi lain, selain jawaban dari pertanyaan yang ia ajukan kemarin itu. Jawaban perempuan itu sangat kritis, dan masuk akal. Hanya bisa dimengerti oleh kalangan orang atas seperti dirinya. Ada yang janggal dari perempuan itu. Pikirnya. "Can I help you?" Pikiran Rangga teralihkan sesaat ketika ia mendengar suara perempuan yang tidak jauh darinya. Rasanya, ia pernah mendengar suara itu sebelumnya. Suara itu sangat dikenalnya akhir-akhir ini. Suaranya berasal dari sebelah rak buku dibalik tempat ia berdiri sekarang, dekat dengan pintu masuk toko buku tersebut. "Yes, please." Kali ini ia mendengar suara laki-laki muda. Suaranya lantang dan jelas. Rangga berjalan ke sudut rak buku yang panjang itu dan mengintip apakah benar suara perempuan itu adalah suara yang memang ia kenal. Tak membutuhkan waktu lama, Rangga sudah berada di ujung rak buku, dan bisa melihat siapa yang sedang bercakap. Tentu dengan mengintip. Ada seorang laki-laki bukan warga negara Indonesia sedang menanyakan sesuatu. Di depannya ada perempuan, berbicara padanya. Rangga tidak bisa melihat rupa perempuan itu karena perempuan itu berdiri membelakangi Rangga dan berhadapan dengan laki-laki bule yang sedikit berjarak di depannya. Dilihatnya postur tubuh perempuan itu, rasanya Rangga juga pernah melihat kenampakan postur tubuh itu sebelumnya. Mereka saling mengobrol. Dari kejauhan Rangga tidak begitu jelas dengan apa yang mereka bicarakan. Namun dari sikap keduanya, sepertinya mereka paham satu sama lain. Rangga masih memperhatikan mereka. Karena dirundung rasa keingin tahuan yang tinggi, Rangga berusaha mendekati mereka tanpa perlu disadari oleh mereka. “What’s your name?” tanya laki-laki asing itu pada perempuan yang membuat Rangga penasaran. Kali ini, Rangga kembali bisa mendengar dengan jelas kalimat tanya pria bule tersebut. Jika dugaan Rangga benar, maka Rangga akan segera menegur perempuan itu. Rangga kembali memasang telinganya rapat-rapat. “Nabila. You can call me Nabila," jawab perempuan itu yang membuat jantung Rangga terhenti dalam hitungan sekian detik. Dugaannya seratus persen benar. Rangga tidak salah dengar. Dengan lantang perempuan itu menyebutkan namanya di depan pria asing itu. Perempuan yang berbicara dengannya di kantor produksi beberapa hari yang lalu. Rangga masih seolah membuntuti mereka hingga ia mendapati laki-laki non-Indonesia itu menjauh dari perempuan itu. Nabila. Untuk memuaskan rasa penasarannya, ia mendekat ke tempat perempuan itu berada. Memang sulit dipercaya tapi itu semua ada di hadapannya. Ketika dirasa laki-laki asing itu sudah pergi dan menghilang dari pandangan mata Nabila, Rangga memunculkan dirinya dari balik rak buku dan berjalan perlahan memposisikan dirinya di balik Nabila. Tentu saja, tidak disadari oleh Nabila. Saat Nabila berbalik, Rangga sudah ada di hadapannya. Nabila nampak terkejut melihat Rangga yang tiba-tiba muncul di depannya itu. Baru pertama kali Rangga melihat wajah Nabila yang tidak tertutup masker produksi itu. Wajah yang cantik. Apalagi, uraian rambut hitam panjangnya membuatnya semakin menarik. Terlintas begitu saja di pikiran Rangga. Sedangkan Nabila, tidak bisa menyembunyikan rasa tercekatnya. Mereka saling bertatap mata sedikit lama. *** Selepas pulang kerja, Nabila mampir ke toko buku di dalam sebuah swalayan. Ia baru saja gajian hari ini. Ia ingin membeli sebuah buku. Nabila mengitari buku di tempat buku-buku yang diinginkannya dan setengah berjongkok untuk mencari bukunya. "Excusme, where's the toilet?" Tiba-tiba Nabila mendengar seseorang bertanya dalam bahasa asing. Suara itu berasal di dekatnya, dan bertanya pada seorang pegawai toko disana. Nampaknya pegawai toko itu tidak bisa memahami maksud laki-laki berbahasa Inggris tersebut. Nabila yang merasa kasihan, akhirnya mendekati mereka. "Apa aku bisa membantumu?" Nabila pada laki-laki ber-kewarganegaraan asing itu. Lelaki bule tersebut, membalikkan badannya dan melihat perempuan Indonesia, yang bisa berbahasa sama dengannya. "Ya, tolonglah. Saya bertanya dimana toilet," jawab bule itu. Nabila memberitahukan tempatnya dengan penjelasannya. Memberikan arahan dimana toiletnya dengan jawaban Inggris pula. Orang asing itu tertegun pada bahasa Inggris Nabila yang lancar. "Siapa namamu?” tanya pria asing tersebut. “Nabila. Kamu dapat memanggilku Nabila," jawab Nabila singkat. “Bahasa inggrismu sangat lancar," puji sang pria asing. "Terima kasih. Kalau anda sendiri?" Nabila gantian bertanya. "Chris. Christoper Sadler," jawab pria bule itu. Kemudian mereka terlibat percakapan yang sedikit panjang dan mengasyikkan sampai akhirnya Chris memutuskan untuk meninggalkan Nabila. Chris berterima kasih sekali lagi. Nabila senang bisa membantu. Nabila membalikkan badan ingin kembali memilih buku yang ia beli. Saat ia berbalik, Nabila sedikit terkejut karena, ada laki-laki memakai kemeja rapi sedang melihatnya. Berdiri tegap di depannya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Nabila mengenali laki-laki itu, tapi apa laki-laki itu mengenalinya? Nabila tidak yakin ketika ia ingin menyapanya dengan sopan. Namun nampaknya laki-laki itu sedang memperhatikannya karena ia berdiri tepat di depan Nabila dengan tatapan mata lurus ke arah Nabila. Terjadi saling tatap sekian detik sampai akhirnya dengan kikuk Nabila berkata, "Pak Rangga?" sapa Nabila ragu. Ia berusaha sopan di depan seorang manajer. "Jadi, kamu bisa bahasa Inggris?" tanya Rangga tiba-tiba tanpa basa basi. Nabila terdiam masih belum bisa menjawab. "Aku dengar sendiri saat kamu berbicara dengan orang asing tadi," lanjut Rangga. Nabila semakin sulit berkata-kata. Ia melebarkan matanya. "Sedikit pak. Percakapan yang diajarkan saat masih sekolah dulu," jelas Nabila terlihat canggung. Bohong. Tentu saja Nabila berbohong. Jelas-jelas, jika tadi Nabila sedang berbicara sangat lancar. Bahkan, Nabila juga memakai aksen Inggris dengan amat baik. Menggunakan istilah-istilah yang jarang orang awam ketahui. Rangga ingin tahu lebih banyak soal perempuan ini. "Besok pagi tidak usah ke sanitasi produksi," tukas Rangga kembali. Mata Nabila semakin lebar karena terkejut. Ia benar-benar tidak paham apa maksud Rangga. Apakah Rangga akan memecatnya? "Sa...saya..." "Besok pagi pergilah ke kantorku," potong Rangga menanggapi kegugupan Nabila. Rangga berbicara dengan nada dingin. Nabila menegakkan pandangannya, lalu memiringkan kepalanya tanda bingung. Kedua alisnya mengkerut. "Kamu bisa bersih-bersih kantor kan?" tanya Rangga yang seolah menjawab pertanyaan Nabila di wajahnya. Tunggu. Artinya dia tidak perlu lagi bekerja sebagai tukang bersih-bersih limbah udang yang baunya sangat menusuk itu? Ia tersadar akan pikirannya. “Bisa pak," jawab Nabila sembari menganggukkan kepalanya. Walaupun ia tidak memiliki pengalaman sebagai cleaning service sebelumnya, paling tidak ia tidak lagi bersentuhan langsung dengan limbah-limbah udang. “Besok, tugasmu adalah membersihkan kantorku," kata Rangga lagi tetap dengan nada dingin. Mendengarnya, dengan cepat Nabila mengganti ekspresi bingungnya dengan senang. "Terima kasih banyak pak," ucap Nabila sambil menundukkan kepalanya. Dengan ekspresi yang sangat senang. "Saya pastikan kalau besok, saya akan datang tepat waktu," ujar Nabila dengan santun. Rangga sedikit sekali mengangguk sambil tersenyum. Ada sesuatu yang menggelitik saat melihat tingkah Nabila baru saja. "Ya sudah. Besok, datanglah ke kantor dan tunggu aku di sana," kata Rangga sekali lagi. "Baik, pak. Terima kasih," kata Nabila masih dengan ekspresi terharu. Rangga yang melihat Nabila dengan masih tertunduk tersebut, mengulas senyum tipisnya, dan kemudian ia membalikkan badannya. Rangga berbalik, Nabila segera mengangkat kepalanya dan melihat Rangga dari arah belakang. Ia merasa senang dan bersyukur. Selang sekian detik, sebelum Rangga pergi menjauhi Nabila, Rangga berbalik arah lagi pada Nabila. "Oh iya, Nabila?" panggil Rangga yang kembali menghadap ke arah Nabila. Nabila yang tadinya juga ingin pergi itu, terhenti. Ia terjingkat saat Rangga memanggilnya kembali. Nabila mendadak merasa bingung. "Jika besok Tyas bertanya, bilang saja, kalau aku yang menyuruhmu untuk menemuiku," tutur Rangga yang masih sulit dicerna Nabila. Nabila masih terlihat linglung. Ia tidak merespon kalimat Rangga, dan justru sedikit menganga dengan apa yang diperintahkan Rangga padanya. Rangga bisa menyadari akan hal itu. Nabila melihatnya dengan tatapan heran. "Kenapa?" tanya Rangga yang merasa aneh sendiri melihat sorot mata penuh pertanyaan dari Nabila. "Maaf, dari mana pak Rangga tahu nama saya?" tanya Nabila dengan mengkerutkan salah satu alisnya. Seolah serasa tertembak sesuatu tepat di dadanya. Rangga tercekat, dan suaranya tertahan di kerongkongannya. Sedangkan, Nabila melihatnya masih dengan tatapan penuh tanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN