Syifa mengerjap-ngerjap heran, menatap ke sekelilingnya. Dia berada di kebun belakang sekolah. Tempat itu sepi dan tak berpenghuni. Wajar saja, sebab memang tempat sempit itu tak digunakan, sehingga tak pernah terawat.
Untuk sampai di sana, Syifa harus memiringkan tubuhnya agar muat melewati tembok belakang sekolah. Kini dia berdiri di sana dengan keheranan.
“Apa yang kulakukan di sini?” gumamnya sendiri.
Suara desisan itu tak terdengar lagi. Tapi dia yakin sekali bahwa sedetik sebelumnya dia benar-benar mendengar suara aneh itu. Meski dia tak tahu dari mana asalnya.
Syifa memperhatikan sekelilingnya, yang hanya berupa kebun kosong terbengkalai. Dia tak menemukan apa-apa di sana. Juga sumber suara itu.
Melihat tempat yang aneh itu, dia bergidik ngeri. Syifa berniat berbalik dan kembali ke kelasnya ketika suara mendesis itu kembali terdengar.
“Sssshhhssshh.”
Syifa membeku di tempat. Gadis itu merinding seketika. Dia menoleh ke arah belakangnya, mencari-cari dari mana sumber suara itu.
Dalam kebimbangan, dia berpikir-pikir, haruskah dia mencari sumber suara itu ataukah dia harus kembali saja dan menahan rasa ingin tahunya?
“Ssssshhhhsssshh.”
Suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas dan lantang dari sebelumnya. Meski jantungnya berdegup begitu kencang, tetapi rasa penasaran Syifa sudah terlanjut menjadi. Dia toh sudah sampai di sini, pikirnya. Jadi sekalian saja dia mencari dari mana asal sumber suara itu.
Mengendap-endap seperti seorang pencuri, gadis itu berjalan mengikuti desisan aneh tersebut. Semakin lama, suaranya terdengar semakin keras. Syifa yakin bahwa apapun sumbernya, pasti berasal tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Semoga saja itu bukan ular,” batin Syifa berharap.
Ada sebuah belokan di sana, yang menyembunyikan bagian lain dari kebun terbengkalai itu.
Syifa mengintip sedikit demi sedikit. Dia ingin melihat apa yang ada di balik dinding itu.
Dan di sanalah dia duduk, sendirian tanpa teman. Sosok seorang manusia dengan rambut hitam panjang dengan seragam yang sama seperti yang dipakai oleh Syifa.
Sosok itu duduk berjongkok membelakangi Syifa, mendesiskan sesuatu yang terdengar seperti rapalan mantra. Syifa dapat salah mengenali orang, sebab banyak perempuan di sekolah ini memiliki rambut hitam panjang yang nyaris serupa.
Tetapi, dia tak mungkin salah mengenali suara itu. Suara yang cukup akrab dan familiar di telinganya. Itu adalah suara Amaya. Tak mungkin dia salah mengenali suara itu, sebab dia begitu familiar dengannya.
Apa yang dilakukan gadis itu di sini? Duduk berjongkok seorang diri dan mendesis-desis aneh seperti itu?
Rasa curiga Syifa bertarung dengan rasa penasarannya. Dan pada akhirnya rasa ingin tahunya-lah yang menang. Dia menegakkan tubuh, berjalan mengendap mendekati sosok Amaya. Meski ada perasaan takut dan cemas, tetapi dia tetap mendekat dengan keras kepala.
“Amaya?” Dia memanggil.
Suara mendesis itu berhenti. Sosok Amaya nampam tersentak kaget. Dia menoleh perlahan-lahan menatap Syifa. Lantas gadis itu bangkit berdiri dan menghadapi Syifa dengan berani.
“Syifa?” balasnya heran.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” selidik Syifa dengan rasa ingin tahu.
“Tidak ada,” jawab Amaya dengan nada tak senang.
“Untuk apa kamu datang ke tempat aneh ini sendirian dan berjongkok di sana?” Syifa terus bertanya.
Amaya nampak menatapnya dengan tajam di balik tirai rambutnya yang panjang menjuntai. Sorot mata gadis itu menatap Syifa dengan rasa marah yang tak dapat disembunyikan.
Syifa menyadari, bahwa kedatangannya telah mengganggu dan mungkin menyela sesuatu yang sedang dilakukan oleh Amaya.
“Apa yang kamu lakukan, May? Kenapa diam saja? Jawab aku!” tuntut Syifa.
Amaya bergeming. Dia tak menjawab satupun pertanyaan Syifa.
“Amaya?!”
“Aku tidak melakukan apa-apa.”
Jawaban itu jelas tak cukup memuaskan rasa penasaran Syifa. Dia terus mendesak ingin mengetahui jawaban yang sesungguhnya.
“Jangan bohong, May. Aku tahu bahwa kamu tak mungkin secara kebetulan berada di sini. Pasti ada tujuan dan ada sesuatu yang kamu lakukan di sini bukan?”
“Itu sama sekali tak ada hubungannya denganmu, Syifa,” sergah Amaya ketus.
“Kalau begitu, kenapa tidak jawab saja dengan jujur. Apa yang kamu lakukan di sini?” balas Syifa tak mau kalah.
“Karena aku tak ingin,” jawab Amaya tak peduli.
“Aku akan melaporkan ke guru bahwa kamu melakukan sesuatu yang ilegal, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku!” ancam Syifa.
Tetapi semakin Syifa bersikeras, maka Amaya nampak semakin tangguh. Dia seolah membangun benteng pertahanan yang tak dapat ditembus oleh Syifa sekalipun. Gadis itu sama sekali tak mau memberikan sedikitpun celah bagi Syifa untuk sekedar mengintip apa yang ada di balik tembok itu.
“Terserah, silahkan saja,” tantang Amaya.
“Apakah jangan-jangan kamu memang melakukan sesuatu terhadap Rere dan geng? Apa kamu memantrai mereka, May?” tanya Syifa curiga.
Amaya menatapnya dengan sorot mata terluka, seolah temannya baru saja menghunjamkan tombak pengkhianatan ke punggungnya.
“Itu bukan urusan kamu,” tukas Amaya dengan tegas.
“Jelas ini juga urusanku. Aku tak mau Rere terus-menerus menuduhku macam-macam. Padahal aku sama sekali tidak terlibat. Jadi, katakan padaku May, apa benar yang aku tebak? Kamu memang memantrai Clara, Rere dan kelompoknya?”
Amaya kini berdiri dengan kedua tangan yang mengepal erat di sisi tubuhnya. Rupanya gadis itu marah dengan ucapan Syifa yang memojokkan dirinya.
“Begitu ya, kamu suka mempertahankan dirimu sendiri. Membuat dirimu merasa nyaman dan aman. Tentu saja, Syifa. Kau memang suka dengan mereka. Kau senang menjadi peliharaan mereka. Bahkan kalau perlu, kau akan rela menjilat sepatu Rere demi mempertahankan dirimu. Begitu kan?”
Kali ini gantian Syifa yang naik darah. Gadis itu emosi mendengar ucapan Amaya yang menyebut dirinya sebagai seorang penjilat. Padahal ia sama sekali tidak seperti itu. Bagaimana bisa Amaya berkata sembarangan tanpa tahu yang sebenarnya terjadi?
“Jaga mulutmu, Amaya! Kau tidak tahu apa yang kau ucapkan!” balas Syifa.
“Kenapa? Kau tersinggung karena ingin membela Rere?”
“Aku tak pernah membela Rere. Aku juga tidak menjilat mereka. Aku sama sekali tidak seperti itu. Kau benar-benar keterlaluan!”
“Lalu apa? Kenapa kau selalu berpihak di sisi mereka?!”
“Karena aku tak punya pilihan! Apa kau tahu itu? Bukankah sudah pernah kukatakan padamu soal beasiswa itu?”
“Kau bisa hidup tanpa beasiswa itu, Syifa.”
Pandangan Amaya terasa meremehkan bagi Syifa. Apa itu yang dia pikirkan? Bahwa beasiswanya hanyalah sesuatu yang remeh dan tak berarti?
“Kau bisa bicara begitu karena kau bukan aku,” ucap Syifa dengan nada suara rendah penuh tekanan. “Coba saja kalau kau terlahir dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Kau pasti tidak akan berani mengatakan hal semacam ini.”
Amaya bergeming. Dia tak membalas lagi.
“Asal kau tahu saja, Amaya, bahwa aku membela dirimu. Kau tahu sendiri bagaimana aku membela dirimu. Tapi kau, yang dari awal menolak menjadi temanku. Kau yang selalu menganggap dirimu lebih dari aku. Kaulah yang meremehkan aku hanya karena aku tak sebanding denganmu. Begitu kan? Aku mungkin menjilat Rere demi bertahan hidup, tapi aku tak seperti kau!”
Usai menyemburkan semua perasaannya itu, Syifa berbalik dan beranjak pergi dari sana. Dia meninggalkan Amaya seorang diri keheranan menatapnya.