Ada Apa dengan Amaya?

1168 Kata
“Jangan bicara kurang ajar!” kata Amaya dengan nada marah. Wanita baya penjaga kantin itu berdiri tercengang selama sedetik. Kemudian raut wajahnya menjadi kesal. “Kamu itu yang kurang ajar! Bersikap sama orang tua kok nggak sopan!” balasnya dengan mata mendelik. Syifa menatap keduanya bergantian, kemudian berdiri untuk melerai. “Kau yang duluan menghina orang! Harus dikasih pelajaran!” gumam Amaya. “Sudah, sudah, May. Jangan gitu,” ucapnya kepada Amaya. Syifa memegangi lengan Amaya, mencegahnya untuk berbuat lebih jauh lagi. “Kami minta maaf, Bu,” ucap Syifa kepada ibu kantin. Wanita itu menyipitkan matanya tidak senang, kemudian membungkuk mengambil uang yang terjatuh ke lantai. Barulah dia pergi tanpa sepatah katapun. Wanita itu nampak marah dan terhina oleh sikap Amaya tadi. Sementara Syifa mengajak Amaya untuk duduk, menenangkan diri. Syifa merasa cemas jika Amaya mengalami perubahan emosi seperti tadi. Bisa-bisa dia berbuat apa saja. Amaya rupanya tidak takut kepada siapapun juga. Gadis itu mampu membela diri dan melawan siapapun yang menurutnya tidak baik. “Sudah ya, kita makan aja dulu. Keburu bel masuk kelas berdering,” hibur Syifa pada Amaya yang nampak belum puas. “Ketidakadilan merajalela di dunia ini,” gumam Amaya dengan lirih. Syifa mengangguk, memahami kegeraman Amaya. Akan tetapi, apa boleh buat? Dia sendiri tidak akan mampu melawan semua ketidakadilan. Syifa mengaduk baksonya dengan saus dan sambal, sementara pikirannya melayang memikirkan hal itu. Amaya menyantap bakso miliknya sendiri, dengan kepala agak tertunduk. Wajahnya tertutup rambut seperti biasa. Syifa menatap sosok teman yang duduk di hadapannya itu. Baru kali ini dia betul-betul memperhatikan sosok Amaya. Dia nampak aneh dan tidak biasa, dengan penampilan yang cenderung membuat orang bergidik ngeri. Karena itulah dia jarang didekati. Dia juga lebih senang sendirian. Tapi di balik sikapnya yang aneh itu, Amaya sebenarnya memiliki kepedulian terhadap temannya. Dia bahkan berani melawan orang yang meledek Syifa di depannya. Benar-benar gadis yang baik, pikir Syifa. Dia cukup beruntung memiliki teman seperti dia. “Makan. Bel mau berdering!” kata Amaya tiba-tiba. Syifa baru tersadar bahwa dirinya tengah melamun. Cepat-cepat dia menghabiskan makanannya. Begitu selesai, keduanya beranjak pergi ke kelas mereka dengan perut yang kenyang terisi. Syifa bersyukur, bisa mencicipi makanan di kantin yang jarang sekali dia lakukan. “Tania kemarin masih belum sadarkan diri, nanti kita coba jenguk dia kembali,” ucap seseorang. Suara itu adalah suara Rere, yang khas dengan nada bicaranya. Dia sedang berbincang dengan teman-temannya. Rupanya mereka membuat janji untuk menjenguk Tania lagi, dari apa yang ditangkap oleh Syifa. Syifa menoleh ke arah kerumunan gadis itu, ingin tahu pembicaraan lebih lanjut. “Apa lo lihat-lihat?” seru Rere dengan ketusnya ke arah Syifa. Syifa menggeleng, sembari mendesah pasrah. Dia memilih untuk duduk diam di bangkunya dengan Amaya. Kalau diladeni, Rere bisa saja membuat urusan yang pelik dengan Syifa. Dan dia tak ingin hal itu sampai terjadi. Syifa terpaksa menahan rasa ingin tahunya mengenai kondisi Tania, sebab dia tak mungkin bertanya langsung pada Rere maupun Clara. Mereka pasti akan bersikap judes kepadanya. Lagipula, itu bukan urusannya. “Kenapa?” tanya Amaya tanpa menoleh. Dia masih sibuk menggambar di bukunya. Syifa menjawab dengan nada suara pelan. “Aku hanya ingin tahu saja kondisi Tania. Kemarin dia tertimpa pohon dengan parah. Apa dia baik-baik saja ya?” “Untuk apa kamu peduli?” sahut Amaya dengan cuek. “Karena dia teman sekelas kita, harusnya kita peduli padanya, May. Apa kamu nggak ingin tahu juga?” Amaya menggelengkan kepalanya. Syifa menghela napas kasar. “Coba saja kita bisa pergi menjenguk dia, aku pasti bisa tenang.” Amaya diam saja tak menanggapi. Rupanya dia kembali sibuk dengan dunianya sendiri. Sepulang sekolah hari itu, Rere segera mengumpulkan semua temannya termasuk Clara. Mereka berdiri di depan sekolah menunggu mobil jemputan Rere tiba. Dia sudah menghubungi sopir pribadinya untuk segera datang. Ketika mobil limusin hitam itu tiba, semua anak itu segera masuk ke dalamnya. Dengan kompak, mereka pergi ke rumah sakit tempat Tania dirawat. Ini adalah kali kedua mereka datang menjenguk Tania. Para perawat serta pelayan pribadi Tania yang ada di sana mengenali Rere. Mereka saling menyapa selama beberapa saat, kemudian Rere dan teman-temannya masuk ke dalam kamar rawat Tania. Gadis itu terbaring lemah di atas tempat tidur pasien, dengan berbagai macam selang yang berseliweran melalui tubuhnya. Gadis itu nampak terlelap dengan kedua mata yang terpejam erat. Detak jantung di monitor EKG berbunyi berirama. Sebuah alat pernapasan terpasang rapi di bagian mulut Tania. Rere berdiri paling dekat dengan sahabatnya itu. Dia membelai lembut wajah Tania. “Dia bangun, Re,” bisik Clara bersemangat. Nampak Tania perlahan membuka kedua kelopak matanya. Gadis itu menatap mereka dengan pandangan lemah. Semua orang yang ada di sana tersenyum kecil, merasa senang dengan perkembangan baik itu. Perawat segera membantu melepaskan alat bantu pernapasan agar Tania dapst berkomunikasi sebentar dengan teman-temannya. “Tania, lo udah sadar?” bisik Rere bertanya. Dia mendekatkan tubuhnya untuk mendengar ucapan Tania. “Re ... Re,” gumam Tania dengan susah payah. Para pelayan memberitahu bahwa pernapasan Tania agak terganggu akibat tindihan batang pohon besar itu. Jadi, Tania akan mengalami kesulitan berbicara karena terbatasnya napas. “Iya, Tan. Ini gue, Rere. Ada Clara juga di sini, sama temen-temen yang lain.” Tania nampak tidak membalas. Dia hanya memutar kepalanya sedikit demi sedikit untuk menatap mereka semua. “Gimana kondisi lo sekarang Tan? Apa udah baikan?” tanya Clara dengan pelan. Tania memberikan respon dengan sebuah anggukan kecil. Semua orang merasa lega karenanya. “Gue kangen banget sama elo, Tan. Dua hari tanpa lo di sekolah rasanya kayak dua tahun!” kata Rere dengan nada dramatisnya. “Iya, Tan. Lo cepet sembuh ya, kita semua kangen sama elo,” timpal Clara. Tania mengangguk lagi. Dia menatap kedua sahabatnya itu dengan tatapan sedih. “A-ma-ya!” ucap Tania dengan tergagap. “Apa?” tanya Rere sembari mendekatkan telinganya ke mulut Rere untuk dapat mendengar dengan lebih jelas. “A-Ma-Ya!” kata Tania dengan lebih jelas. Kali ini, semua orang pun mendengar ucapan Tania. Kening Rere berkerut dalam, merasa heran dengan perkataan Tania. “Amaya? Lo barusan mengatakan nama Amaya kan?” tanya Rere memastikan. Tania kembali mengangguk. “Kok? Kenapa lo tiba-tiba nyebut Amaya?” Tania membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi napasnya mulai habis. Dia nampak kepayahan dan tak sanggup bernapas. Mendadak, d**a Tania kembang kempis seperti orang asma. Para pelayan dan perawat yang menunggui lekas mendekat, memberikan penanganan pertama. Mereka memasang kembali alat bantu pernapasan dan meminta semua orang untuk mundur. “Tania sekarang sedang lemah. Dia tak bisa berbicara lebih. Sepertinya itu sudah menguras tenaganya. Jadi, saya minta kalian untuk pulang saja. Kalian bisa kembali lagi besok.” Ucapan perawat itu membuat Rere dan teman-temannya kecewa. Tetapi mereka tidak membantah. Mereka paham bahwa Tania butuh istirahat. “Lo denger kan, tadi Tania ngucapin nama Amaya?” tanya Rere di perjalanan pulang. Clara yang ditanyai mengangguk. Ekspresinya nampak kaku. “Iya, gue juga denger.” “Jadi, kenapa Tania sebut nama cewek aneh itu?” gumam Rere sendiri dengan heran. Clara diam tak menjawab. Dia sendiri merasa bingung. Tapi yang jelas, ada sesuatu yang berhubungan dengan Amaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN