Syifa merasa pikirannya sudah melayang ke tempat tidurnya ketika mendadak sepasang tangan besar menyergapnya dari belakang.
Gadis itu tersentak sadar dan membeliak kaget. Sebelum sempat bereaksi, kedua tangan itu membekap mulutnya dengan kuat, mencegah satu teriakan lolos dari mulutnya.
“Diam, jangan bergerak!” ujar suara berat seorang pria.
Syifa merasa sekujur tubuhnya terperangkap, tak mampu melawan. Gadis itu berusaha untuk meronta, namun sia-sia saja. Teriakannya juga teredam hingga dia tak bisa mengeluarkan satu bunyi melainkan sebuah erangan tertahan.
“Sini, Jek! Kita dapat mangsa empuk nih!” ujar pria itu lagi ke suatu arah.
Dari sebuah sudut gelap yang tak terlihat, muncul sebuah sosok seorang pria berbadan kekar dan berpenampilan sangar. Syifa langsung merasa takut melihat pria itu, dengan seringai lebar di wajahnya yang penuh jenggot itu.
Ssmentara pria satunya yang memegangi tubuh Syifa mengeratkan cengkeraman, membuat napas Syifa makin sulit untuk mengambil udara. d**a gadis itu sesak, butuh oksigen tambahan. Dia terua meronta, mencoba melakukan perlawanan namun seluruh ototnya tidak mau diajak bekerja sama. Tubuhnya sedang lemas dan tak bertenaga. Ditambah dengan pikirannya yang sedang ruwet dan letih. Gadis itu merasakan rasa takut menggerogoti dirinya sampai ke ujung kaki.
“Wah, oke juga nih Bos! Lu bisa aja kalau nangkap mangsa!” ujar si pria temannya.
“Hahaha, kan gue udah bilang, di sini itu tempat yang paling pas untuk kita mencari mangsa. Memang jalan ini japan paling cepat ke desa,” sahut pria yang satu lagi.
Saat itulah Syifa baru sadar bahwa dia berada di jalanan sepi yang sudah dihindarinya selama beberapa minggu ini. Bola mata Syifa bergerak-gerak, mengamati sekitarnya yang terasa familier dan akrab. Dia telah melewati jalan itu selama bertahun-tahun dalam hidupnya. Pada malam hari memang jalan itu terkenal dengan reputasi buruknya akan berbagai macam perilaku kriminal. Tetapi, selama ini tak pernah ada kejadian mengerikan di siang hari. Sampai pada waktu itu, ketika dirinya mengalami p*********n yang nyaris sama.
Sialnya, hari ini pikirannya tak terfokus hingga dirinya bisa tak sadar jika kakinya melangkah melewati jalan yang sepi dan tak lagi dilalui itu. Sekarang dia harus kembali berhadapan dengan kejadian mengerikan yang sama. Apa yang harus diperbuatnya?
Lokasi itu terpencil dan sepi. Tak ada orang sama sekali yang lewat. Sejak kejadian pembunuhan itu, semua warga desa beralih ke jalan alternatif lain untuk bepergian. Mereka menghindari jalan ini karena tahu bahwa jalan itu cukup berbahaya bahkan pada siang hari.
Terbukti, dengan kehadiran Syifa hari ini. Gadis itu takut bukan main. Jika waktu itu dia masih bisa berontak menghadapi seorang pemuda dua puluh tahunan yang bertubuh kurus, kali ini dia tak akan bisa lolos semudah itu. Dua orang pria dewasa dengan badan kekar bukanlah tandingannya. Jangankan untuk kabur, untuk bergerak saja susahnya minta ampun.
“Ayo, kita eksekusi saja dia sekarang. Aku sudah tak sabar lagi!” ucap salah seorang penyanderanya. Seringai licik itu semakin melebar, seiring dengan rasa takut Syifa.
Jantung Syifa berdentam-dentam dalam d**a, ssmentara matanya terpejam memanjatkan doa. Dia sungguh berharap ada pertolongan yang datang entah dari mana.
“Ayo, bantu gue untuk nyeret tubuhnya ke sana.”
Syifa menggeram kembali di balik bekapan tangan. Dia berusaha untuk berontak dan menolak dibawa ke salah satu bekas rumah b****k di pinggir jalan. Kedua kakinya kaku di tempat, menolak untuk bergerak. Pria itu menjadi marah, melotot pada Syifa.
“Ah, sialan cewek ini! Mau berontak rupanya.”
“Udah, gendong aja dia! Kelamaan!” sahut temannya tak sabar.
Syifa menjerit ketika pria itu melepaskan bekapan di mulutnya dan meraih tubuhnya dalam sekali gerakan. Seluruh tubuh Syifa terangkat begitu saja dari atas tanah. Pria itu mengangkatnya dengan mudah seakan bobot tubuh Syifa dama sekali tak menyusahkan dirinya.
“Tolong!” jerit Syifa menendang-nendang.
Pria itu memukul betisnya dengan keras, meninggalkan rasa sakit dan panas di sana.
“Diam! Dasar bocah ingusan!”
“Toloooong!” teriak Syifa semakin keras.
Dia menangis sembari terus berusaha meminta pertolongan. Dia berharap ada seseorang yang mendengar dan datang untuk menolongnya.
Tapi usahanya tak menampakkan hasil. Gadis itu berhasil dimasukkan ke dalam bekas rumah tua itu. Tempat itu penuh debu dan kotor sekali. Tempat itu tak berpenghuni dan kerusakan ada di mana-mana. Ibarat tiang, dia sudah nyaris roboh, tinggal menunggu waktu saja. Sungguh mengerikan, diseret ke sana oleh dua orang pria asing yang berniat jahat. Dia terus dibawa ke dalam rumah itu, berputar-putar hingga akhirnya mereka masuk ke dalam salah sebuah ruangan kosong.
Pria yang menggendongnya lantas melemparkan tubuh Syifa ke atas lantai berdebu. Syifa memekik kesakitan, merasakan tubuhnya membentur lantai dengah keras.
Kedua pria itu saling pandang dengan puas. Mereka menyeringai lebar menatap Syifa dengan mata mereka yang jelalatan.
“Toloong! Jangan sentuh aku!” bentak Syifa dengan tegas.
Namun suaranya terdengar parau akibat isak tangis yang tak tertahankan. Dia menangis dan bergerak mundur perlahan-lahan, ketika tangan-tangan jahil mereka mulai merambat ke mana-mana.
Syifa tak dapat mengenyahkan pikiran buruk dari benaknya. Bagaimana jika tak ada yang datang menolong? Akankah dia kehilangan kehormatannya hari ini? Apa yang harus dia lakukan?
Memikirkan semua itu membuatnya mual. Belum lagi pikiran tentang sang ayah yang akan sedih melihat keadaan putrinya nanti. Akankah Syifa masih bisa pulang dengan selamat ataukah hidupnya akan berakhir juga di sini?
Membayangkan dirinya dibunuh dan ditinggalkan di tempat ini sungguh membuatnya merinding.
Syifa terus merangsek mundur hingga punggungnya membentur dinding, mentok. Dia menoleh dengan ketakutan, melihat di belakangnya tak ada apa-apa selain sebuah dinding besar kusam yang menghalangi. Tak ada jalan lain, selain di belakang punggung kedua pria itu. Sekelilingnya yang lain hanya berupa dinding tebal yang tak akan bisa dia lewati.
Syifa menangis makin keras. Dia mulai meraung-raung histeris.
Bagaimana ini?
“Ayolah, bocah manis, jangan takut. Kita nggak akan melukai kamu kok, kalau kamu mau bekerja sama. Kita nggak akan kasar-kasar. Ya nggak?” ucap satu pria ke rekannya.
Mereka berdua nampak seperti dua ekor singa yang kelaparan dan menatap mangsa empuk di hadapan. Syifa merasa tak berdaya, tubuhnya gemetaran. Air matanya terus mengalir deras bagaikan anak sungai.
“Jangan takut, Sayang. Abang akan main halus. Kamu jangan kabur ya.”
Ucapan itu justeru membuat Syifa makin histeris berteriak. Tepat saat itulah terdengar suara ribut di luar. Tetapi kedua pria itu terlalu sibuk sendiri hingga tak mendengarnya. Sementara Syifa menampik tangan mereka yang meraba-raba kulit mulusnya. Gadis itu menjerit lagi dengan lantang, sebab salah satu pria itu sudah menarik seragamnya hingga terbuka.
“Arghhh, tidaakkk!”