Nasib Baik dan Buruk

1113 Kata
“Untung tadi kamu menolong anak saya, kalau tidak ,...” ucap Pak Burhan menggeleng sedih. Pria itu nampak sangat cemas memikirkan nasib putrinya jika sosok Angga tidak muncul dan menolongnya. Angga tersenyum, “Saya kebetulan saja lewat dan menyaksikan kejadian tadi. Kalau saya sedikit terlambat, pasti Syifa sudah celaka.” “Untung sekali kamu datang, Nak. Untung sekali,” ucap Pak Burhan lagi. Wajah Syifa merona merah, merasa malu karena kejadian tadi. Bagaimana bisa dia bahkan tidak menyadari kehadiran Angga di sana? Padahal dia tahu bahwa seseorang mengangkat tubuhnya. Syifa merasa dirinya begitu beruntung. Tidak hanya dia telah selamat dari kecelakaan itu, tetapi dia juga mendapatkan kesempatan langka untuk bertemu dan berbincang dengan Angga. Bahkan, dia digendong oleh cowok itu. Betapa anehnya takdir yang dia miliki. Sedetik yang lalu dia nyaris celaka dan detik berikutnya dia justru diberikan kebahagiaan. Apakah ini yang dinamakan adil? “Tindakan Syifa tadi juga sangat hebat lho, Pak. Dia bisa sesigap itu melindungi Anda dari bahaya. Anda beruntung memiliki putri seberani dan sepintar dia,” puji Angga. Syifa dapat merasakan sengatan arus listrik mengalir di tubuhnya. Sensasi rasa hangat yang menyenangkan mengalir ke wajahnya. “Itu kebetulan saja,” sahutnya ringan. Syifa berusaha keras untuk tidak menampakkan rasa gugupnya di depan Angga. Meski tatapannya jelas tak bisa terarah pada cowok itu. Dia menunduk menatap roda di kursi roda ayahnya. “Kalian tidak apa-apa?” tanya seseorang dari kerumunan itu. “Sepertinya rem mobil itu blong. Makanya sampai tidak bisa menghentikan laju mobil meski menyadari ada pejalan kaki di trotoar.” “Kami baik-baik saja, Pak. Untung saja ....” Pak Burhan dan orang asing itu berbicara selama beberapa saat. Orang-orang telah membawa sopir mobil yang terluka itu ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan perawatan. Sementara mereka mulai membubarkan diri dari sana. “Tumben kamu ada di sekitar sini,” ucap Syifa kepada Angga saat ayahnya sedang tidak memperhatikan. Angga nampak menatapnya dengan heran. “Memangnya aneh ya kalau aku ada di sini?” balas cowok itu. Jawaban itu membuat wajah Syifa semakin merah karena malu. “Eh, enggak gitu. Maksudku, ini kan bukan tempat yang biasa kamu kunjungi,” kilah Syifa cepat. “Lho, emangnya kamu tahu tempat-tempat yang sering aku kunjungi?” Lagi-lagi balasan Angga membuat Syifa mati kutu. Dia tak berkutik dengan ucapannya. Cowol itu telah berhasil membuatnya salah tingkah. “Eh, nggak juga,” gumam Syifa lirih. Namun Angga malah menampakkan senyuman jahilnya. “Bercanda. Jangan tersinggung. Aku kebetulan aja lagi jalan-jalan di sekitar sini.” “Emangnya rumah kamu di mana?” tanya Syifa dengan jantung berdegup kencang. Secuil informasi tentang Angga saja sudah dapat membuatnya merasa senang. “Nggak jauh dari sini,” jawab cowok itu. “Kamu mau mamp—“ “Woi, Angga! Sini buruan!” panggil seseorang dari kejauhan. Angga nampak bingung dan mencari-cari di antara kerumunan sejenak. Kemudian dia tersenyum dan melambaikan tangan pada gerombolan cowok yang berada tak jauh dari mereka berdiri. Rasa kecewa nampak jelas di wajah Syifa. Padahal gadis itu nyaris saja mengajak mampir Angga ke rumahnya. Tetapi, sepertinya tidak bisa. “Sorry, Syifa. Gue harus pergi sekarang. Senang ketemu sama lo. Dadahhhh!” pamitnya seraya bergegas pergi. Syifa tersenyum malu dan melambai kecil padanya. Punggung Angga semakin me jauh, membuatnya tak dapat mengalihkan pandangan. Dia dan gerombolannya beranjak pergi dalam kelompok enam orang, entah akan pergi ke mana. Seketika debar jantung Syifa kembali melambat hingga normal. Keberadaan Angga memang dapat mempengaruhi kesehatan jantungnya. Kalau saja cowok itu tahu .... “Kamu melihat apa, Syifa?” tanya Pak Burhan seraya melongok ke arah pandang putrinya. Syifa tersentak kaget. Dia balas menatap sang ayah dan menggeleng kuat-kuat. “Mana anak muda yang tadi?” tanya lelaki itu celingukan. “Dia sudah pergi, Yah.” “Oh, gitu. Padahal Ayah belum sempat mengucapkan terima kasih. Kamu kenal sama dia?” Syifa mengangguk bersemangat. “Dia teman satu sekolah sama Syifa.” “Wah, kebetulan yang pas sekali!” seru ayahnya senang. “Kalau kamu bertemu dia lagi, jangan lupa sampaikan ucapan terima kasih kepadanya, karena telah menolong kamu.” “Iya, Yah,” sahut Syifa. Dia juga lupa mengucapkannya tadi sebelum Angga pergi. Ini gara-gara senyuman Angga yang terus menghipnotis kesadaran Syifa, membuat gadis itu tak bisa berkonsentrasi penuh. “Kita pulang sekarang, Ayah?” ajak Syifa seraya bersiap mendorong kursi roda ayahnya. Pak Burhan memgangguk mengiyakan. Keduanya berjalan kembali menyurusi trotoar menuju ke rumah mereka. Di belakang sana, mobil yang ringsek akibat kecelakaan itu telah diurus oleh petugas polisi setempat. Syifa bersyukur dirinya telah selamat dari kejadian itu. Dia telah diselematkan beberapa kali dalam beberapa hari terakhir. Jika dipikir-pikir, dia terus-menerus mengalami kejadian-kejadian yang tak mengenakkan. Beberapa waktu yang lalu, dia nyaris menjadi korban p********n di tempat lelaki asing yang jahat itu akhirnya ditemukan meninggal. Lalu hari ini dia selamat dari sebuah kecelakaan mobil. Mengapa nasib buruk terus mengikutinya? Pikiran Syifa tak bisa berhenti mencemaskan hal itu. Keselamatan dirinya terancam. Dia tak mampu membayangkan jika seandainya dia benar-benar celaka. Entah apa yang akan dilakukan oleh ayahnya yang malang. “Aku harus lebih berhati-hati lagi,” batin Syifa dengan penuh tekad. Jelas dia tak ingin kejadian-kejadian buruk itu terjadi menimpa dirinya. Meskipun semua itu merupakan takdir, nakun setidaknya dia bisa berusaha untuk berhati-hati menghindari hal-hal tersebut. Jika dia tetap celaka, maka itu berarti kejadian tersebut sudah ditakdirkan untuk terjadi. “Ngomong-ngomong, pelaku pembunuhan kasus yang kemarin itu belum ditemukan ya, Fa?” ucap ayahnya memulai. Pikiran Syifa pun tersela oleh perubahan topik ini. “Pelaku kasus yang mana?” “Kasus pembunuhan di jalan sspi itu ....” “Oh, itu.” “Polisi sudah menyelidiki TKP dan memeriksa saksi berulang kali. Tapi memang waktu kejadian tak ada saksi yang benar-benar menyaksikan kejadian itu langsung, jadi Ayah rasa mereka hanya berputar-putar saja mencari petunjuk yang tak ada.” Syifa diam saja mendengarkan. Benarknya sibuk berputar mencerna informasi ini. “Kasus ini rumit sekali, kata orang-orang. Tak ditemukan senjata pembunuh maupun tanda-tanda lain di sekitar TKP. Itu aneh sekali. Padahal korban mati dalam keadaan memgenaskan begitu. Kasihan juga kalau dibayangkan.” “Kasihan?” sahut Syifa seketika. Dia tak terima jika lelaki jahat itu harus menerima rasa kasihan dari sang ayah. Seandainya saja Pak Burhan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka dia pasti juga akan marah seperti dirinya. Lelaki itu jahat, dia telah berusaha merenggut kehormatan Syifa saat itu. Jadi, wajar saja kalau dia mendapatkan karma buruk kemudian! “Keluarganya pasti merasa sedih melihat jasad orang itu. Ayah tak bisa bayangkan jika ayah berada di posisi keluarganya.” “Tapi Ayah nggak tahu, apa yang sudah dia lakukan!” protes Syifa menyela. “Dia memang pantas mendapatkannya!” tambahnya dengan geregetan, membuat Pak Burhan menatap wajah putrinya dengan heran.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN