“Syifa, Syifa! Tunggu!” teriak Reza di koridor sekolah siang itu.
Cowok itu berlarian mengejar langkah Syifa yang semakin cepat.
Sengaja gadis itu tak mau menoleh apalagi memelankan laju langkahnya. Dia justru semakin berjalan cepat, menghindari Reza.
“Syifa, berhenti!” ucap Reza seraya memegang lengan gadis itu dan memaksanya untuk berhenti.
Syifa menoleh menatapnya dengan kesal. “Ada apa sih, Za?”
“Kamu kenapa sih? Aku panggil-panggil dari tadi bukannya berhenti malah semakin berlari?” tanya Reza dengan napas terengah.
“Aku mau buru-buru pulang,” jawab Syifa tak jelas.
“Kenapa? Apa yang terjadi?” selidik Reza ingin tahu.
Dia menatap wajah Syifa dan mengernyitkan hidung. Dia dapat mencium aroma amis dari tubuh gadis itu. Barulah saat itu dia memperhatikan penampilan Syifa yang tidak seperti biasanya.
Syifa mengenakan seragam yang berbeda dari seragamnya. Ukuran serta warnanya jelas berbeda. Gadis itu juga mengenakan rok abu-abu yang lusuh, seperti bukan mililnya.
“Ini seragam siapa, Fa? Kok kamu pakai seragam ini?”
“Seragam di gudang,” jawab Syifa sembari memalingkan muka.
Dia tak mau menatap wajah Reza yang pasti akan bertanya-tanya lebih jauh. Mengapa dia memakai seragam bekas yang ada di gudang dan bukan seragamnya sendiri?
Benar saja. Reza mempertanyakan hal itu. Syifa berjalan kembali, ingin menghindari topik ini sebisa mungkin.
“Syifa, kamu kenapa? Hari ini terlihat aneh dan nggak biasa. Padahal hari ini kan ...,” ucap Reza terhenti.
Cowok itu seakan sedang menimbang untuk menanyakan pertanyaan yang dipendamnya.
“Apa kamu nggak menemukan surat dari aku?” tanya Reza dengan nada ragu-ragu.
Syifa meliriknya dengan tatapan kesal sekali. Gara-gara surat itu, dia harus mengalami semua ini!
“Tidak,” ucap Syifa berdusta.
Dia berdiri bersedekap membelakangi Reza.
“Masa sih? Kamu beneran nggak menemukannya di dalam tas kamu?” sahut Reza dengan ekspresi wajah tak percaya.
Padahal dia sudah meletakkannya dengan hati-hsti di dalam tas Syifa tadi pagi, sewaktu gadis itu tak memperhatikan. Bagaimana bisa benda itu menghilang begitu saja? Atau jangan-jangan terjatuh tanpa diketahui oleh Syifa?
“Dengar Za, sebaiknya jangan pernah kirim-kirim surat seperti itu lagi. Apalagi dengan cara seperti itu. Mengerti?” ucap Syifa dengan tegas.
“Jadi, kamu menemukannya? Sudah kamu baca kan? Tapi kok kamu tidak datang?” timpal Reza dengan keheranan.
“Aku tidak suka, Za.”
Ucapan itu membuat harapan di hati Reza yang semula mengembang kini mengempis seperti balon yang bocor.
“K-kamu nggak suka?”
“Ya, aku nggak suka. Kamu membuatku harus melalui hari ini dengan seperti ini. Ini gara-gara surat kamu!” sembur Syifa dengan mata yang mulai berkaca-kaca sedih.
Reza berdiri di sana melongo, tak mengerti apa maksud perkataan Syifa.
Gadis itu menghela napas, berusaha mengontrol diri.
“Aku pulang duluan!” ucap Syifa seraya bergegas pergi meninggalkan Reza.
“Syifa ....”
Tetapi Syifa sudah pergi, langkahnya menjauh keluar dari gerbang sekolah. Sementara Reza masih berdiri terpaku. Saat itulah Amaya melewatinya, dengan tatapan yang sama sekali tak menganggap cowok itu ada.
“May? Amaya?” panggil Reza.
Amaya berhenti. Dia tidak menoleh, melainkan menunggu Reza mendekatinya.
“Kamu tahu apa yang terjadi dengan Syifa? Kenapa dia hari ini bersikap berbeda?”
Amaya diam beberapa detik, tak langsung menjawab.
“Dia dibully.”
Hanya itu yang dikatakan oleh Amaya. Gadis itu lantas pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Reza semakin kebingungan, tak memahami maksud ucapan Amaya dan Syifa. Apa yang sebenarnya terjadi, dia bertanya-tanya.
***
“Syifa, kamu sudah pulang?” sapa sang ayah yang masih menghadap mesin jahitnya.
“Iya, Ayah,” sahut gadis itu lesu.
Dia buru-buru beranjak ke kamar.
“Loh, itu pakaian seragam kamu kok begitu?” tanya ayahnya sebelum Syifa sempat menghilang ke kamar.
Dengan terpaksa dia berhenti dan memutar badan menghadap sang ayah. Pria itu menurunkan kacamata dan menatap Syifa dengan kedua matanya yang letih.
“Itu bukan pakaian seragam kamu kan?” Dia bertanya.
Syifa mengangguk, sembari meringis.
“Ke mana seragam kamu? Kenapa pakai seragam itu? Dan punya siapa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik, seperti seorang polisi yang sedang melakukan interogasi saja.
“Ayah tahu nggak, hari ini hari apa?” Syifa balil bertanya dengan nada riang yang dibuat-buat.
“Ini hari Rabu?” tebak ayahnya dengan kening berkerut.
“Iya, tapi hari istimewa apa ini?” Syifa mencoba memberikan sedikit petunjuk.
Pria itu nampak berpikir keras. Keriput di wajahnya menandakan proses berpikir yang panjang.
“Maaf, Ayah nggak tahu, Nak.”
“Ini hari ulang tahun Syifa, Yah!” ucapnya dengan nada riang.
Sang ayah menatapnya dengan terkejut.
“Oh ya? Ayah lupa.”
“Iya, makanya hari ini temen-temen sekelas Syifa ngasih kejutan buat ngerayain ulang tahun Syifa. Jadi, mereka nyiram Syifa dengan tepung dan telur!” jelas gadis itu dengan senyuman yang menyembunyikan luka hatinya.
“Wah, begitu ya? Tapi, memangnya nggak apa-apa seperti itu?”
“Nggak apa-apa kok, Yah. Malah kami seru-seruan bareng di sekolah tadi,” kilah Syifa dengan lancar.
Kebohongan itu sudah keluar dari mulutnya selama dua tahun belakangan ini. Dia sudah terlatih dan bahkan sudah mahir mengucapkan beragam dusta sejak dirinya menjadi korban bullying.
Baginya, tak ada yang lebih menyakitkan selain mengatakan kejujuran pada sang ayah. Sebab dia tahu, betapa keras pria itu bekerja. Sepanjang hari bahkan sepanjang malam bila diperlukan. Dia akan terus menjahit sampai lupa waktu demi mendapatkan sedikit uang untuk mereka gunakan bertahan hidup.
Syifa tahu ini berat, tapi demi ayahnya, dia akan menutupi lukanya sendiri dan berusaha menampakkan kebahagiaan saja. Biarkan lelaki itu berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Tak perlu membuatnya semakin sudah dan cemas. Sudah terlalu banyak hal yang perlu dipikirkan, hingga membuat lelaki itu gelisah.
“Jadi, teman-teman kamu semuanya mengucapkan selamat ulang tahun ke kamu?” tanya sang ayah dengan wajah berbinar senang.
Syifa mengangguk sembari tersenyum.
“Mereka semua baik dan perhatian.”
“Wah, maaf ya Nak, padahal hari ini hari istimewa kamu. Tapi ayah justru tidak mengingatnya. Seharusnya ayah-lah yang pertama kali mengucapkan selamat.”
“Nggak apa-apa, Yah. Syifa sudah cukup senang kok.”
“Nggak bisa begitu,” balas sang ayah berdecak. “Kita juga harus merayakannya.”
“Tapi, Yah ...,” protes Syifa.
“Nggak perlu kuatir. Kita akan pergi makan di luar sekarang. Ayo, kamu segera bersiap-siap. Ayah akan membawa kamu makan apapun yang kamu inginkan hari ini.”
“Ayah, itu nggak perlu. Syifa mau makan masakan Ayah saja,” tolaknya dengan halus.
“Ssstt, sudah nggak perlu protes. Ayo, cepetan siap-siap!”
“Tapi, Yah ... uangnya—“
“Nggak perlu meributkan soal uang. Ayah punya rejeki. Alhamdulillah, bisa untuk makan-makan di luar.”
Melihat ekspresi wajah pria itu, Syifa menjadi tak tega untuk menghancurkan kesenangannya. Syifa mengangguk dengan setengah hati, sebab dia tak tahu bagaimana kondisi keuangan sang ayah yang sesungguhnya. Pria itu mungkin saja berdusta demi menyenangkan putri semata wayangnya di hari ulang tahun yang istimewa ini.
Maka Syifa pun menurut, mendorong kursi roda sang ayah menyusuri jalanan menuju ke pasar, tempat ramai yang cukup menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama sang ayah.