“Syifa, kamu baik-baik saja?” tanya Reza menjajari langkahnya.
Syifa yang baru saja tiba di sskolah langsung menekuk wajahnya. Gadis itu tak ingin diganggu pagi-pagi begini. Apa sih yang Reza inginkan darinya sepagi ini?
“Hmm,” sahutnya cuek.
“Aku dengar dari tetanggamu kalau kemarin kamu pergi ke puskesmas.”
“Kok tahu? Kamu nanya apa ke tetanggaku?” selidik Syifa dengan sorot mata tajam.
“Aku tadi pagi pergi jemput kamu di dekat gang. Karena tidak tahu rumahmu yang mana, jadi aku berhenti saja di situ. Lalu aku bertemu tetanggamu dan mengobrol sedikit,” jelasnya.
Syifa memalingkan wajahnya sembari berjalan di koridor dengan wajah datar.
“Ngapain kamu nanya-nanya segala ke tetanggaku?”
“Yah ... Kan aku kuatir, Fa. Sikap kamu kok sekarang jadi aneh ke aku,” ucap Reza dengan nada menuntut penjelasan.
“Nggak ada yang perlu dikuatirkan, Za,” jelas Syifa tegas.
“Terus, siapa yang kamu jenguk ke puskesmas kemarin? Bukan kamu kan yang sakit?” selidik cowok itu terus mengejar.
“Bukan,” jawab Syifa pendek. Dia merasa tak ada gunanya dia menjelaskan bahwa ayahnya-lah yang jatuh sakit kemarin. Reza diam saja meski pertanyaannya belum terjawab.
“Gimana dengan kado ulang tahun dariku? Apa kamu suka?” tanya Reza tak mengindahkan nada bicara Syifa yang jutek. Tiba-tiba saja dia mengganti topik pembicaraan begitu cepat.
Ah, hadiah itu!
Syifa sama sekali lupa dengan kotak kecil manis itu. Dia tak pernah sempat mengalihkan perhatiannya dari sang ayah sejak kemarin. Dia bahkan tak pernah ingat kalau dirinya masih menyimpan kotak itu di dalam tasnya.
“Oh, ya, itu ... Aku suka,” ujar Syifa berdusta.
Kedua mata Reza membelalak senang. “Beneran? Kamu pakai nggak sekarang?”
Syifa mengernyitkan keningnya. Dia tidak tahu apa isi hadiah itu. Jadi, dia tak bisa menebak benda apa yang seharusnya dia pakai itu.
“Eh, itu ....”
“Kamu sudah membukanya kan? Atau jangan-jangan kamu belum membukanya?”
Pertanyaan itu tepat sekali. Syifa akhirnya memutuskan untuk berterus terang saja. Tak ada gunanya berbohong.
“Eh, sebenarnya masih belum. Aku sedang sibuk akhir-akhir ini,” kilah Syifa cepat. “Tapi aku suka.”
“Oh ya? Apanya yang kamu suka kalau begitu? Kan hadiahnya belum kamu buka,” ucap Reza dengan kecewa.
Syifa menghembuskan napas pasrah. “Aku suka dengan kotaknya. Lucu.”
“Ah, aku sebenarnya memilih hadiah itu khusus untuk kamu karena benda itu cantik,” terang Reza tanpa diminta.
Syifa mengangguk pelan, menelan penjelasan itu tanpa protes. Dia toh sedang tak ingin berdebat dengan cowok itu. Biarlah dia berpikir bahwa Syifa memang senang dengan hadiah pemberian darinya.
“Aku mau ke kelas dulu, belum kerjain PR,” kata Syifa berbelok ke kelasnya sendiri.
Sebenarnya dia sudah mengerjakan PR, hanya saja dia membutuhkan suatu alasan yang masuk akal agar dapat menghindari Reza sekarang.
“Oke. Jangan lupa buka hadiahnya nanti!” balas Reza sebelum Syifa menghilang du balik pintu.
“Apa sih isi hadiahnya memang? Apa seistimewa itu?” gumam gadis itu sendiri.
Dia berjalan ke tempat duduk di tempatnya sendiri.
Di sudut ruangan, dilihatnya Amaya sudah duduk di tempatnya. Dia tak dapat melihat dengan jelas ekspresi wajah gadis itu, tetapi Syifa merasakan tatapannya tajam di bawah tirai rambut hitamnya yang menjuntai.
Syifa menahan dorongan diri untuk berbalik dan keluar dari kelas itu. Biar bagaimanapun juga, dia tak mungkin bersikap seperti itu terhadap Amaya. Menghindar darinya saja sudah cukup membuat keduanya saling canggung. Apalagi jika Syifa bertambah menjauh darinya. Entah apa yang akan dipikirkan oleh Amaya.
Beberapa anak cewek yang hendak masuk ke dalam kelas, mendadak terhenti ketika melihat sosok Amaya. Obrolan mereka yang tadinya berlangsung cukup seru, tiba-tiba saja terpotong. Mereka nampak melirik Amaya dengan tatapan tak senang, lantas segera berputar meninggalkan kelas.
Kemudian gerombolan anak lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka langsung balik badan begitu melihat Amaya. Seolah mereka baru saja melihat hantu atau apa.
Syifa memutar badannya menghadap ke Amaya. Dia menatap gadis itu dengan rasa iba. Teganya mereka semua bersikap seperti itu kepadanya. Amaya pasti merasa kesepian, pikir Syifa.
“Mereka memang b******k kok,” ucap Amaya secara tiba-tiba.
Syifa tersentak kaget, memandangnya dengan heran.
“Rere, Tania, Clara ... Semua orang itu. Semuanya b******k! Itulah sebabnya mereka mendapatkan ganjaran karma!”
Ucapan itu membuat Syifa melongo. Di membuka mulut ingin mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Dia tak tahu harus berkata apa.
Syifa hanya mengangguk singkat, meski sebenarnya dia ingin sekali mendebat ucapan itu. Dia ingin sekali tahu mengapa Amaya berkata demikian. Seakan-akan membenarkan tuduhan Tania bahwa dirinya adalah penyebab kejadian-kejadian buruk yang telah menimpa pada Rere dan gengnya. Tapi Syifa sudah muak. Dia tak ingin membahas hal ini lagi. Maka biarlah saja.
“Orang yang mati di gang itu juga b******k. Makanya dia mati.”
Kali ini, Syifa menatapnya dengan kaget sekali. Dia masih bisa membantah tuduhan Tania tentang Amaya yang memang tak masuk akal. Tapi ini, apa yang baru saja dia dengar itu? Apa telinganya ada kesalahan?
“Apa kamu bilang?!” seru Syifa kepada Amaya.
“Pria itu jahat. Dia menguntit gadis-gadis muda dan memangsa mereka. Pria itu pantas untuk mati mengenaskan!” ucap Amaya lagi dengan nada tenang.
Syifa bangkit berdiri, menatap lekat gadis misterius itu. Apa yang sedang dia maksudkan? Apa dia membicarakan tentang kejadian mengerikan waktu itu? Tapi, bagaimana dia bisa tahu?
“Apa yang kamu bicarakan ini, Amaya? Jelaskan padaku!” tuntut Syifa dengan kedua tangan terkepal erat.
Dia merasakan betapa kacau gemuruh di dadanya. Kejadian mengerikan itu, jika memang ada hubungannya dengan Amaya, maka itu aneh sekali. Ada banyak pertanyaan yang ingin sekali dikorek oleh Syifa.
Namun, bukannya memberikan penjelasan yang lengkap, Amaya justru menunduk diam. Dia tak nampak ingin menjelaskan lebih lanjut lagi.
Bel masuk kelas berdering nyaring. Anak-anak pemghuni kelas itu lekas berbondong-bondong masuk. Syifa terpaksa harus menahan hasrat ingin tahunya karena tak mungkin memaksa Amaya menjawab sekarang juga.
Maka dia duduk di tempatnya setelah menatap Amaya untuk terakhir kali. Dia betul-betul penasaran dengan apa yang sudah diucapkan oleh Amaya. Apakah betul kejadian yang dia maksud adalah kejadian yang sama dengan yang telah dialami oleh Syifa waktu itu?
Pria jahat yang mati mengenaskan dan kabarnya pembunuhnya masih berkeliaran bebas. Kejadian yang aneh dan mengerikan, mengantui Syifa dan para tetangganya hingga hari ini. Betulkah kejadian itu?
Benak Syifa terus-menerus memikirkan hal ini. Dia tak bisa menyingkirkan pemikirannya tentang Amaya. Semakin lama, dia semakin ingin tahu apa yang sebenarnya dimaksud oleh Amaya. Bagaimana dia bisa tahu, juga mengapa dia berkata demikian.
Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik wajah datar gadis misterius itu?