“Ayah!” jerit gadis itu dengan panik.
Dia lekas mendekati tubuh sang ayah dan mengguncang-guncangnya hebat.
“Ayah, bangun!” ucapnya dengan nada suara cemas.
Tubuh itu tak juga merespon. Kelopak matanya terpejam dan tubuhnya lemas tak berdaya. Hanya deru napasnya saja yang memberi tanda bahwa lelaki itu masih hidup.
Syifa mulai menangis khawatir. Dalam kebingungannya, dia bangkit berdiri dan menjerit meminta tolong kepada para tetangganya untuk datang.
Beberapa orang yang melihat dan mendengar suaranya lantas mendatangi, dengan seruan pertanyaan yang sama.
“Ada apa?”
“Tolong Ayah saya,” pinta Syifa dengan suara isakan yang menyedihkan.
Para tetangga menolongnya. Mereka lekas membawa Pak Burhan ke puskesmas terdekat dengan sepeda motor. Salah seorang pria duduk di belakang motor untuk menjaga tubuh Pak Burhan. Sementara itu Syifa mengikuti dengan sepeda motor yang lain.
Sesampainya di puskesmas, perawat dan dokter yang ada dengan sigap membantu mereka. Untung saja waktu itu kondisi di puskesmas sedang tidak ramai pasien, jadi Pak Burhan bisa diprioritaskan oleh mereka.
“Bagaimana ini?” gumam Syifa yang duduk di sebelah tetangganya.
Air matanya sudah bercucuran seperti anak kecil. Dia tidak peduli. Yang terpenting baginya saat ini adalah kesembuhan ayahnya saja.
Bagaimana bisa sang ayah yang selama ini tidak menunjukkan adanya tanda-tanda sakit bisa tiba-tiba jatuh seperti itu? Syifa merasa bersalah karenanya.
Sebagai anak, dia kurang peka dan kurang memperhatikan kondisi orang tua. Dia begitu cemas jika seandainya kondisi ayahnya cukup genting. Maka bagaimana dia bisa bertahan? Sedangkan sang ayah adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa.
“Sabar, Nak. Ayahmu pasti baik-baik saja. Dokter sedang merawatnya,” hibur tetangga sembari menepuk pundak Syifa pelan.
Tetapi gadis itu masih resah. Perasaannya belum tenang sepenuhnya. Sebelum dokter keluar dan mengucapkan bahwa ayahnya baik-baik saja, maka kecemasannya masih akan menggantung.
“Ayahmu pasti akan sembuh,” ucap si tetangga lagi.
Syifa masih terisak, berusaha menahan hatinya yang kacau.
Ketika dokter keluar dari pintu ruang rawat, Syifa beranjak bangkit mendekati pria berjas putih itu.
“Bagaimana ayah saya, Dok? Apa ayah saya baik-baik saja? Apa yang terjadi padanya?” desak gadis tujuh belas tahun itu.
Dokter tersenyum menenangkan. “Beliau sudah siuman. Sakitnya tidak parah kok. Tidak separah yang saya duga.”
Ucapan dokter yang kurang jelas itu masih belum ditangkap sepenuhnya oleh Syifa.
“Apa maksudnya, Dok? Ayah saya sakit apa?”
“Gejala awal TBC. Tapi saya rasa kondisinya masih di awal. Beliau jatuh hanya karena keletihan saja. Tapi harap diperhatikan kesehatan beliau mulai dari saat ini. Jangan sampai beliau kelelahan lagi. Kita tak ingin kondisinya semakin parah,” terang dokter muda itu.
Syifa hanya melongo menatap lelaki itu tanpa bisa merespon dengan benar.
“Baiklah, saya sudah resepkan obat yang harus ditebus. Kalau kamu mau menemui ayah kamu, silakan. Beliau sudah sadar sekarang,” lanjut dokter lagi.
Syifa tak perlu menunggu aba-aba kedua. Dia bergegas masuk ke dalam kamar rawat itu diikuti beberapa tetangganya.
Pak Burhan terbaring di salah satu ranjang pasien dengan tatapan terarah ke langit-langit kamar. Begitu mendengar pintu terbuka dan suara langkah kaki, pria itu memandang para tamunya.
“Syifa ...,” sapanya lemah.
“Ayah jahat!” sembur Syifa begitu dia tiba di sisi ranjang.
Pak Burhan menatap putrinya tak mengerti. “Ada apa, Nak? Kamu menangis?”
“Ini gara-gara Ayah!” gerutu Syifa lagi masih kesal. “Kenapa Ayah nggak bilang kalau Ayah punya penyakit TBC?!”
Pak Burhan mengerjapkan matanya, sesaat tak mengerti akan tuduhan itu.
“Oh, jadi Ayah punya TBC?” ucapnya dengan tenang.
“Ayah bikin Syifa khawatir setengah mati!” ucap gadis itu seraya mengusap wajahnya yang penuh air mata.
“Astaga, maafkan ayah ya Nak. Ayah sendiri juga baru tahu kalau ayah punya TBC,” kata Pak Burhan penuh penyesalan.
“Syukur kalau Pak Burhan baik-baik saja. Kami kira Bapak –“
Ucapan tetangga tersela oleh tatapan Pak Burhan yang menyiratkan keheranannya.
“Anda pikir saya kenapa-napa gitu? Waduh, saya jadi nggak enak nih, sudah bikin semua orang kuatir. Terutama Syifa.”
“Lain kali Ayah nggak boleh sampai kelelahan lagi, jata dokter. Ayah juga harus jaga kesehatan,” ucap Syifa dengan tegas.
Kini air mata sudah benar-benar kering di wajahnya. Dia nampak lebih tegar dan lebih baik.
“Iya, ayah janji. Kan sekarang sudah ada diagnosis dokter. Ayah nggak akan berani melanggar pantangan. Ayah takut sakit.”
Syifa masih cemberut, menatap sang ayah dengan tajam.
“Ayah pasti akan baik-baik saja kok. Setelah ini tidak akan pernah seperti ini lagi. Kan Ayah masih punya kamu, yang harus diurus. Mana mungkin ayah tega meninggalkan kamu seorang diri?”
Ucapan Pak Burhan dimaksudkan untuk menghibur anaknya. Tetapi, rupanya bukan itu yang ditangkap oleh Syifa. Kedua mata gadis itu sontak melebar tak percaya.
“Ayah bicara apa sih! Kenapa membahas hal-hal seperti itu!” protesnya keras.
Tetangga yang memperhatikan pembicaraan ini hanya bisa mengesah panjang. Mereka maklum bahwa kasih sayang antara ayah dan anak itu begitu tulus dan erat. Sudah sewajarnya, mengingat bahwa tak ada wanita di dalam kehidupan mereka yang mampu menengahi keduanya.
“Jika nanti saya tiada, Bu, tolong Anda urusi anak saya yang satu ini ya. Meskipun dia memang agak sedikit keras kepala—“
Ucapan Pak Burhan membuat Syifa mendaratkan sebuah cubitan kecil ke lengan ayahnya. Sang ayah terkekeh pelan, berhasil menggoda putri semata wayangnya.
Tetapi sebenarnya, jauh di dalam hati, pria itu bertanya-tanya sendiri seberapa parah sakitnya. Kemungkinan meninggalkan Syifa seorang diri bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka apa mau dikata.
Para tetangga mengobrol basa-basi sedikit dengan Pak Burhan dan juga Syifa sebelum akhirnya memutuskan untuk membawa mereka pulang. Lelaki itu dibonceng lagi seperti waktu berangkat tadi hingga sampai di rumah dengan selamat.
Usai menebus obat dengan meminjam uang tetangganya, Syifa pun mengikuti pulang. Dia lega mengetahui kondisi ayahnya yang baik-baik saja. Tapi diam-diam dia berjanji dalam hati bahwa dirinya akan mulai memperhatikan kondisi kesehatan sang ayah dari sekarang. Dia tak akan membiarkan ayahnya kelelahan apalagi sampai jatuh sakit.
Berkat bantuan para tetangga yang baik hati, keduanya bisa pulang tanpa mengeluarkan sepeserpun. Bahkan tetangganya menolak untuk menerima uang tebusan obat yang dipinjam tadi. Syifa terus memaksa, namun orang itu malah berlari pergi.
“Biarlah,” katanya. “Itu tidak seberapa.”
Syifa berdiri di ambang pintu rumahnya dengan hati yang hangat. Ada kelegaan dan rasa syukur yang luar biasa ketika dia menyadari bahwa dia masih dikelilingi oleh orang-orang yang baik.