5. Oh, Naina

1449 Kata
Entah sebuah rezeki atau memang sudah takdir, Lay bertemu dengan seseorang yang pernah ia lihat menjemput Naina saat di depan mini market di mana pertemuan pertama Lay dan Naina terjadi. Di warung makan padang itu, perempuan yang bisa dibilang sepantar umur dengan Naina itu walau jelas Naina lebih cantik, sedang memesan nasi bungkus sembari bercakap penuh kegembiraan di wajahnya. Lay mempercepat langkahnya memasuki warung makan itu, lalu berdiri di samping perempuan yang Lay yakini berteman dengan Naina. Ia menunggu sampai benar-benar tidak ada percakapan yang terjadi antara si perempuan itu dengan pelayan warung itu. “Hai, Tante,” sapa Lay sembari memberi hormat dengan gerakan menunduk. Perempuan yang tidak lain adalah Zevanya, sahabat baik Naina itu mengernyitkan kening lantaran bingung saat Lay memanggilnya tante dan memberi hormat. Ada-ada saja! Zevanya tidak terima dipanggil setua itu. “Lo siapa? Siapa yang lo panggil tante?” Usianya masih muda untuk ukuran perempuan dewasa. Lagian emang wajahnya udah tua? Emang dia menikah dengan om si anak lelaki depannya itu? Lay menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Cengengesan tidak jelas. “Maaf, Tan ... eh, maksudnya Mbak,” tukas Lay. Zevanya yang merasa Lay mengejek malah menyentil dahi mulus itu. “Lo pikir gue nikah sama om lo apa? Gue belum nikah! Jadi, berhenti memanggil gue tante lagi. Kalau sampai kita bertemu sekali lagi dan lo manggil gue tante, gue tebas leher lo!” Zevanya mengancam dengan sangat kejam. Lay menganga mendengar ancam perempuan di depannya itu. Ia heran, kenapa ada perempuan-perempuan yang terlihat cantik tapi mematikan? Sama halnya dengan Kanaya yang cantik, tapi sangat ganas layaknya singa betina. Oke, lupakan soal Kanaya dan kembali fokus pada Zevanya. “Mbak, tunggu!” Lay mengejar Zevanya yang keluar dari warung makan. Bahkan ia lupa tujuan utamanya ke sana setelah melihat Zevanya. Baginya, mencari tahu keberadaan Naina adalah segalanya melebihi dari apa pun. Bahkan rasa lapar saja bisa ia lupakan demi Naina. Lay itu sudah gila dan mungkin terjebak pada karma. “Mbak itu temannya Naina, kan?” tanya Lay langsung tanpa basa-basi setelah berhasil menyusul Zevanya ke parkiran. Zevanya mengerutkan kening. Ia menelisik Lay dari atas hingga bawah kaki lalu ke atas kepala lagi. Ia bingung lantaran Lay menyebut nama Naina. Setahu dia Naina tidak pernah mempunyai teman atau keponakan seperti Lay. “Lo siapa?” tanya Zevanya dengan penuh kecurigaan. “Apa lo itu rentenir?” tambah Zevanya lagi. Lay menggeleng. Ada-ada saja. Bagaimana mungkin seorang cowok setampan dirinya menjadi seorang rentenir? Apa wajahnya menyeramkan? Apa ia sudah terlalu tua sehingga sangat cocok jadi rentenir? Ha! Dia itu masih 19 tahun dan itu masih sangat muda. “Woi, jawab! Lo siapa? Bagaimana bisa lo kenal Naina? Setahu gue Naina tidak punya keponakan? Jadi lo siapa?” Pertanyaan beruntun keluar dari mulut Zevanya. Lay menelan ludahnya sembari tersenyum. Berarti kesempatan untuk bertemu dengan Naina sudah di depan mata. Perempuan di depannya itu benar-benar mengenal Naina. Ya, Lay yakin. Terlihat jelas dari pertanyaan yang terus menyerang Lay. Dengan gentel Lay memperkenalkan diri. “Nama lengkap gue itu Lay Herdiandra. Mbak bisa panggil gue Lay dan kebetulan umur gue itu sembilan belas tahun. Masih muda dan uwu pastinya.” Lay mempraktikkan gerakan cute dengan menempelkan jarinya di pipi. Zevanya menggelengkan kepala. Merasa sangat aneh akan tingkah Lay. Ia kemudian membuka pintu mobilnya dan siap untuk masuk ke dalam. Dia tidak ingin berlama-lama di situ karena bisa saja ia akan emosi melihat cowok muda di depannya itu. Walau sebenarnya, Zevanya mengakui kalau Lay itu sangat tampan. Terpesona? Tentu saja. Namun, ia tetap emosi melihat tingkah yang ditampilkan oleh Lay. “Mbak jangan pergi dulu sebelum jawab pertanyaan gue, dong.” Lay menahan tangan Zevanya dengan kuat. “Gue butuh informasi tentang Naina. Gue harus mendapatkan apa pun tentangnya setidaknya nomor ponsel atau alamat rumah.” Lay memasang mimik memelas. Zevanya mendengkus kasar. “Lo mau apa? Lo mau meneror Naina? Apa lo itu diutus sama hater?” Lay menggeleng. Haters? Masa iya perempuan secantik dan sebaik Naina memiliki haters? Ya, Naina sangat baik walau kelihatan judes sekaligus. “Woi! Malah senyam-senyum gak jelas lo.” Zevanya menyentil kening Lay. Untuk kedua kalinya Lay menerima kekerasan dari Zevanya. Lay mengusap keningnya dan kemudian mendengkus pelan. “Gue itu bukan pembenci Naina kali. Gue itu malah sebaliknya. Gue jatuh cinta sama Naina. Serius pake banget!” Lay menjelaskan dengan binar bahagia. Beda halnya dengan Zevanya yang terkejut mendengar itu. Lay menyukai Naina! Naina si usia 30 tahun. Astaga! Tidak masalah sebenarnya, tapi usia keduanya sangat terpaut jauh dan lagian Lay itu terlihat seperti anak tengil. Naina tidak akan doyan pada yang lebih muda darinya dan tengil pastinya. “Lupakan saja. Lo bukan tipe Naina!” Zevanya masuk ke dalam mobilnya dan kemudian meninggalkan area parkiran rumah makan padang dan tentu juga Lay. Lay hanya bisa menghela napas pelan. Ia gagal lagi mendapatkan informasi tentang Naina. Padahal kesempatan sudah di depan mata, tapi ia tidak berhasil membujuk orang yang diandalkannya jadi penyalur informasi. “Aish! Gue bodoh!” Menendang kerikil karena terlalu kesal. Takdir yang tidak berpihak padanya, padahal ia sudah berharap lebih untuk itu. Dan pada akhirnya ia hanya mendapatkan hasil yang tidak membuat hatinya senang sama sekali. Lay gagal untuk kesekian kalinya! *** “Nah.” Zevanya menyodorkan plastik berisi dua bungkus nasi ke depan wajah Naina. Ekspresi yang ditampilkan sama sekali tidak bersahabat. Seolah ada banyak hal yang mengitari pikiran Zevanya. Naina tersenyum dengan senang. “Terima kasih, Zee. Elo yang terbaik dalam hal ini.” Naina mencubit kedua pipi Zevanya setelah itu membuka bungkusan nasi. “Makanya lo nyari pendamping, deh, Nai. Biar lo gak nyusahin gue mulu.” Zevanya menerima bungkusan nasi dari Naina yang sudah dibuka. “Lo tahu sendiri alasan di balik gue memilih sendiri hingga detik ini, kan?” Naina ke dapur untuk mengambil piring dan gelas serta air mineral dari lemari pendingin. Zevanya menoleh ke arah dapur. “Ya, gue tahu betul itu. Tapi apa salahnya lo mencoba membuka hati lagi? Itu kejadiannya sudah lama dan lo masih saja trauma akan itu. Nai, gue itu khawatir sama lo,” Zevanya menatap dan mengikuti langkah kaki Naina. Naina duduk kembali ke tempatnya. Mengambil nasi bungkus dari tangan Zevanya dan meletakkan di atas piring lalu kembali memberikan ke Zevanya. “Lo bosan jadi teman gue? Lo bosan gue suruh ketika lo lagi di luar? Lo bosan nemanin gue belanja?” Naina mengambil nasi bungkus satu lagi dari plastik, meletakkan di atas piring dan membukanya. Zevanya menggeleng. “Bukan itu alasan gue nyuruh lo mencari pendamping, Nai. Lo tahu sendiri umur kita sudah tidak muda lagi walau gue sebenarnya menolak tua. Tiga puluh tahun itu umur yang wajar memikirkan masa depan.” Naina menghela napas pelan. “Gue sangat memikirkan masa depan, Zee. Inilah masa depan gue. Karier yang cemerlang, punya rumah sendiri dan juga mobil. Uang gue cukup untuk ke depannya. Bahkan jika suatu saat gue kenapa-napa, tabungan itu cukup untuk mengobati gue ke mana aja dan menyewa pengasuh.” Naina sudah terlanjur trauma dan sakit hati pada yang namanya cinta. Ia memilih menyendirikan hidupnya dari kesedihan karena orang yang terkasih berkhianat tanpa alasan yang jelas lagi. Kini giliran Zevanya yang menghela napas. “Jadi itu masa depan yang lo rancang?” Naina mengangguk. “Untuk sekarang, ya ... begitu. Gue belum bisa membuka hati, Zee. Jangan paksa gue.” Zevanya mengangguk. Ia tahu betapa sakit hati sahabatnya ini ketika takdir mempermainkan segalanya. Dikhianati tanpa diberi alasan yang pasti lalu pada akhirnya takdir memilih mengubur kisah itu tanpa iba. “Sudah. Lupakan yang kita bahas. Gue lapar.” Zevanya mengalihkan topik pembicaraan. Berhubung juga, perutnya sangat lapar. Apalagi sekarang aroma nasi berlauk daging rendang itu tercium di indra penciumannya. Naina mengangguk. Memilih menuangkan air dingin ke gelas dan meletakkan di depan Zevanya sebelum sahabatnya itu tersedak rendang karena terlalu rakus. “Oh, iya. Gue mau nanya sama lo. Tapi lo janji jangan uring-uringan apalagi marah.” Zevanya meneguk air mineral sebelum melanjutkan kalimatnya. “Ini penting dan selain itu ini merusak pemikiran gue sepanjang jalan ke sini.” Naina mengangguk. “Gue janji. Jadi katakan apa?” “Gue tadi ketemu dengan anak cowok berusia sembilan belas tahun dan mengaku menyukai lo,” kata Zevanya. Naina mengerutkan keningnya. “Menyukai gue? Anak sembilan belas tahun?” Naina tertawa sampai ia tersedak sama makanannya sendiri. Buru-buru Zevanya memberinya minum. “Gue penasaran, Nai. Namanya Lay. Iya, Lay. Gue ingat banget namanya. Dia meminta gue memberi informasi tentang lo,” tutur Zevanya mengingat percakapannya dengan Lay saat membeli nasi bungkus tadi. “Lalu?” “Ya, gue itu bukan orang bodoh. Mana mungkin gue ngasi informasi tentang lo ke dia. Bagi gue itu kayak suruhan orang, mungkin.” Zevanya menebak-nebak. Naina tersenyum. “Lo yang terbaik.” Kembali menyantap makanannya meskipun Naina mulai memikirkan siapa yang bernama Lay. Jika benar cowok itu disuruh, lalu siapa yang menyuruh mencari informasi tentang dia? Naina harus tahu dan harus mencari tahu apa pun itu. Ia harus bergerak cepat. Dia tidak ingin dilibatkan dalam hal yang tidak-tidak. Bisa saja ada yang iri dan ingin menyingkirkannya. Ah, pemikiran bodoh! Naina menggeleng. Dia harus berpikir positif.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN