Lay Herdiandra, itu namanya. Cowok berseragam SMA itu tersenyum saat menangkap bayangan perempuan bersetelan kantoran sedang membantu seorang perempuan yang hamil tua. Cantik? Jelas saja sangat cantik sehingga membuat Lay jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia tidak begitu mendengar apa yang sebenarnya dibicarakan oleh kedua perempuan itu karena jarak yang sedikit berjauhan, tapi dari mimik wajah si cantik yang menarik hatinya itu jelas ada kesedihan dan kekesalan.
Lay tidak terlalu memedulikan apa yang sedang keduanya bahas, yang ia pedulikan adalah memandang wajah si cantik.
Dan setelah objek pemandangannya masuk ke dalam mini market, akhirnya Lay memutuskan untuk mengeringkan rambutnya saat itu juga. Lay tidak menyangka jika setelah keluar dari dalam mini market, perempuan cantik itu malah memilih berdiri di sampingnya. Jantung Lay berdetak tidak karuan dengan jarak sedekat itu, apalagi saat dipandangi begitu intens. Bodoh jika ia tidak gugup.
Dalam beberapa menit berdiri bersama, Lay sungguh semakin terpana. Ia bahkan memberanikan diri memberikan jaket kepada perempuan itu saat mata-mata tajam menatap tubuh perempuan-nya dengan tajam. Ia tidak rela! Baginya, itu adalah miliknya.
Ketus dan tajam. Lay bisa menerima karena Lay sendiri berbicara asal keluar saja dari mulut. Namun, hujan yang memberi berkah untuk manusia, sehingga pada akhirnya ia mendapatkan sambutan hangat. Hujan dan jaket adalah perantara untuk mengenal calon istri masa depannya. Ia bahkan tidak peduli jika perempuan itu lebih tua darinya.
Astaga! Lay!
Ah, iya lupa menanyakan nama, tapi bersyukur karena seseorang meneriaki nama perempuan itu.
“Naina!”
****
“Sadarlah wahai manusia konyol. Lo udah melamun lebih dari setengah jam. Lo kata ... gue ini patung?”
Lay menatap Orion yang berbicara dengan nada kesal ditambah lagi dengan tangannya yang ikut menoyor kepala.
“Gue itu sedang jatuh cinta. Jangan mengacaukan imajinasi gue.” Lay menyahut seolah tidak bersalah.
Ha? Padahal, dia yang mengundang Orion datang ke rumahnya di tengah derasnya hujan dan sekarang ia mengabaikan sahabatnya itu sendiri.
Orion menepuk jidatnya kuat. Seandainya Lay bukan sahabatnya, mungkin ia sudah memastikan untuk menendang b****g lelaki tampan itu.
“Lo jatuh cinta? Yang benar saja,” ejek Orion. Demi anak Bu Ratna penjaga kantin di kampusnya, ia tidak akan pernah percaya jika Lay jatuh cinta.
Lay? Ha! Sahabatnya itu tidak pernah mengerti arti cinta dan juga tidak mau tahu. Baginya pacaran itu adalah bersenang-senang selama dua hari dan setelah itu berakhir. Mana mungkin jatuh cinta!
“Gue jatuh cinta, dan ini nyata. Anjim banget, sumpah. Itu cewek cantiknya udah kayak bidadari. Adem banget wajahnya dan wah, gue pengen nyium.” Lay heboh sendiri layaknya orang gila. Belum lagi senyum bodohnya yang terpatri di bibirnya. Orion pusing memikirkan kegilaan sahabatnya itu.
“Gue penasaran, siapa yang berhasil membuat lo gila kayak gini.” Orion salut sama cewek yang berhasil membuat Lay uring-uringan seperti orang sakit jiwa.
Lay lagi-lagi tersenyum bodoh. “Naina.”
Kening Orion mengerut. “Naina?” Membeo dan terlihat bego seperti Lay.
Lay mengangguk. Lalu mengeluarkan ponselnya dan memberikan pada Orion. “Lihatlah.”
Ternyata Lay telah menyempatkan diri memotret Naina saat ada kesempatan. Lay memang terlalu pintar jika masalah perempuan cantik.
Orion memperhatikan foto itu baik-baik. Seperti tidak asing, tapi ia tidak bisa mengingat siapa.
“Dia terlihat lebih tua dari lo.” Orion berpendapat.
Lay mengangguk. “Wanita kantoran,” katanya. “Gue gak peduli sebenarnya. Mau dia tua, mau dia muda, tidak masalah. Gue jatuh cinta.”
Orion yakin kalau Lay salah makan hari ini. Sejak kapan seorang Lay yang hanya memikirkan game, basket dan cewek cantik yang muda bisa menjadi melankolis bin aneh.
“Bantu gue dekat sama dia, ya?” pinta Lay pada Orion.
Orion mengangguk. Ia tidak punya pilihan lain selain membantu Lay. Karena ia pernah berjanji dulunya akan selalu melakukan apa pun yang di minta Lay darinya.
“Lo udah kenalan lebih jauh?” tanya Orion.
Lay diam.
“Nomor teleponnya, alamat rumahnya atau dia bekerja di mana?” Orion berbicara lagi karena Lay hanya diam.
Lay menggeleng.
“terus, gimana lo bisa mendekatinya lagi?” Orion kesal.
Lay menghela napas. Kebodohannya itu. Karena terlalu menikmati memandang wajah Naina sampai ia lupa berkenalan lebih jauh.
“Maka dari itu lo bantu gue. Percuma gue punya sahabat kalau gak bisa dimanfaatkan.” Lay tertawa dan Orion menghela napas pasrah.
“Astaga. Nasib gue apes banget.” Orion membaringkan tubuhnya di sofa dan membiarkan Lay tertawa puas mengejek dirinya yang menderita karena Lay sendiri.
Lay yang jatuh cinta, Orion yang terkena imbasnya.
“Oh, iya. Kalau lo mau minum, seperti biasa, ambil sendiri.” Lay ikut membaringkan dirinya di sofa di mana ia duduk tadinya.
“Gue tamu, Monyet!” kesal Orion.
“Kalau lo tamu, gue bakalan ngelarang lo rebahan di sofa mahal rumah gue.” Lay kembali membalas dengan kata-kata sadisnya.
“Gue harap nyokap lo pulang detik ini dan menjewer telinga lo.” Orion benar-benar kesal sekarang ini.
“Orang tua gue ke Bandung. Kan gue udah bilang ke elo tadi malam.”
Astaga. Orion menyesal datang ke rumah Lay sore ini. Jika dipikir-pikir, demi bertemu Lay, ia bahkan rela tidak ikut serta dalam acara kampusnya. Lay manusia tergila yang ia kenal seumur hidupnya.
****
Hujan masih belum reda di luar sana. Lay yang berdiri di dekat jendela menatap keluar sembari merapatkan selimut ke tubuhnya. Cuaca malah hari benar-benar dingin dan membuatnya menggigil apalagi ia sempat basah kuyup saat pulang sekolah. Gilanya, Lay malah tidak memakai jaketnya dikarenakan jaket itu sempat terlampir di tubuh Naina. Ia tetap menerobos hujan dengan motor tanpa pelindung sama sekali.
“Dingin-dingin gini enak dipeluk sama Naina,” monolog Lay seraya tersenyum. Ia kemudian menepis pikiran negatifnya itu dengan cara menggelengkan kepala. Bisa-bisa ia berdosa besar jika mengingat Naina terus menerus.
Lihatlah, bagian bawahnya saja sudah mulai menegang hanya karena membayangkan wajah Naina yang begitu cantik.
“Sial! Gue gak mungkin main pake sabun lagi.” Lay mengacak rambutnya frustrasi.
Jangan tanyakan apa pun soal ‘main sabun’ yang otaknya sedikit m***m pasti paham.
Lay bergerak menuju tempat tidur. Memilih tidur dari pada membayangkan hal-hal yang tidak pantas dibayangkan. Ia normal dan itu wajar sebenarnya. Hanya saja, bukan waktu yang tepat untuk membayangkan tubuh Naina. Dia ingin mendekati Naina dengan penuh cinta, bukan dengan nafsu semata.
Baru saja Lay memejamkan mata, dering ponsel yang tergelatak sejak tadi di atas tempat tidur terdengar. Lay meraba sampingnya dan saat menemukan ponselnya langsung menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang meneleponnya.
“Halo,” sapanya ramah.
Cowok seperti Lay memang kadang kelewat baik atau. Tidak, tepatnya dia memang seperti itu pada siapa saja. Image anak baik melekat padanya walau sebenarnya dia lebih mengarah ke tengil.
“Lay, gue cinta sama lo!” Teriakan menggema di seberang telepon. Lay terperanjat kaget. Siapa cewek gila yang tiba-tiba mengatakan cinta ke dia di tengah cuaca hujan begini?
Lay mengintip layar ponselnya dan ia mengernyitkan kening saat nomor yang tertera tanpa nama. Dengan kata lain ia tidak menyimpan nomor ponsel tersebut. Lalu siapa?
“Lo siapa?” Dua kata yang mampu membuat cewek di ujung telepon. Mendengkus kesal.
Lay masa bodoh.
“Gue Amanda. Yang tadi pagi ketemu sama lo di lampu merah. Masa lo lupa?”
“Maaf. Gue amnesia kalau hujan gini.” Itu kebohongan terburuk yang diucapkan Lay.
“Parah, ya? Padahal tadi pagi lo yang ngasih nomor lo ke gue.” Nada khawatir terdengar di ujung telepon.
“Kalau hujan gini pasti parah. Udah dulu, ya. Kepala gue pusing.” Tidak menunggu jawaban dari penelepon, Lay segera mematikan sambungan telepon. Ia kemudian mendengkus kasar dan mengacak rambutnya.
“Astaga, kenapa gue gak ketemu Naina lebih pagi sebelum ketemu Amanda tadi?”
Lagi-lagi mengacak rambutnya hingga berantakan.