Ice Cream!

1141 Kata
            Acara foto-foto Dean dan Lulu sudah hampir selesai, konyol. Kami yang sebagai teman-teman mereka sudah mulai di panggil untuk berfoto bersama, aku adalah orang pertama yang Dean sebut ketika sang fotografer mengijinkan Dean untuk berfoto bersama teman-temannya. Jadi, mau tidak mau aku yang harus maju pertama kali. Aku naik ke atas panggung, dan bisa memasang tampang biasa saja padahal dalam hati aku sudah terluka parah. Aku memasang senyum manis ku di depan kamera, berpura-pura bahagia atas pertunangan Dean dan Lulu. Lebih parahnya lagi, di saat berfoto, mereka berdua menempatkan ku tepat di tengah-tengah mereka, aku ingin sekali menolak, tetapi mereka terlalu bersemangat untuk memaksaku berada di antara mereka. Sorry… ini bukan kode kan?             “Oke… tahan ya mbak, mas! Satu… duaaa… ti-”             “Mas, bentar dulu.” Ucap Gellar sembari meletakan cup ice cream ke-duanya di atas meja samping fotografer, ia kemudian naik ke atas panggung, berdiri di sebelah Dean dan memasang tampang tak berdosa.             “Katanya kalau foto bertiga itu pamali. Yang di tengah mati duluan, emang lo tega yan, Aliya mati dalam keadaan jomblo?” Ucap Gellar yang sukses memecah tawa Dean, orang-orang di ruangan itu tertawa, menertawakan celotehan Gellar, aku kesal sekaligus bersyukur, kesal karena di jadikan objek lelucon Gellar dan bersyukur karena telah di bebaskan dari foto bertiga yang mungkin hasilnya Cuma bakal ku gunting, nyisahin foto aku sama Dean.             “Thanks.” Ucap ku kepada Gellar di saat kami berdua berjalan menjahui panggung, membiarkan orang lain berfoto bersama dua anak manusia yang sedang berbahagia itu. Gellar menatapku dengan tatapan aneh, seakan-akan tatapannya bertanya kepadaku.             “Buat apa?” Tanya nya. Aku diam sejenak kemudian mengangkat bahu lalu kembari berjalan lurus ke depan, aku tahu bahwa Gellar masih mengekori ku bahkan hingga kami sama-sama duduk di sebuah kursi, di teras rumah Lulu. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi sembari melipat kedua tangan di d**a. Gellar ini tipikal laki-laki yang gampang banget akrab sama orang ya?             “Ngantuk nih, lo gak mau balik gitu?” Ucap Dean yang sebenarnya malah terdengar seperti pertanyaan di kepala ku. Aku mengangguk kemudian bergegas berdiri untuk mencari Mbak Dewi, aku yakin, sekarang Mbak Dewi lagi riweuh sama Shiren yang lagi rewel-rewelnya. Kasihan sih, resiko seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karir yang di weekend nya pun masih harus berada di luar rumah.             “Mau kemana?” Tanya Gellar.             “Nyari Mbak Dewi, kan lo mau balik lar.” Oke, itu terdengar sok akrab. Memanggil Gellar hanya dengan tiga huruf terakhir dari namanya adalah sebuah ke sok akraban. Padahal baru ketemu hari ini, kenapa malah jadi kayak teman kecil yang baru ketemu?             “Dia udah balik, tadi pas lo di panggung sama Dean sama Lulu. Sorry katanya, dia buru-buru soalnya suaminya udah sampai bandara.” Ucap Gellar, aku kemudian mengangguk pertanda mengerti. Ya aku sih tidak heran, Mbak Dewi adalah istri dari seorang pilot, suaminya sibuk, dia juga sibuk, wajar jika mereka harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin di hari libur seperti ini.             “Ayo balik.” Ucap Gellar lagi. Aku mematung di tempatku lalu kemudian Gellar menarikku menuju parkiran mobil, di depan sebuah mobil Honda Civic berwarna putih keluaran terbaru.             “Yuk balik.” Ucapnya lagi, aku memasang tampang bingungku di saat Gellar tiba-tiba masuk ke dalam mobil tersebut. Tunggu sebentar, bukannya tadi dia bilang bahwa ia kehilangan kunci mobilnya? Terus, siapa pemilik mobil yang baru saja ia naiki ini?             “Mobil siapa nih?” Tanya ku setelah masuk ke dalam mobil yang sama. Gellar mulai menginjak pedal gas nya, lalu meninggalkan pekarangan rumah Lulu pelan-pelan.             “My Car. Ternyata kuncinya sama ayah. Yaudah, Ayah balik sama Mbak aja.” Jawab Gellar, akupun mengangguk. Sebenarnya aku bisa sih pulang sendiri bahkan tanpa minta di antar ataupun ikut dengan Gellar, namun sepertinya aku tidak kepikiran sampai kesana tadi. Kami berdua diam saja di atas mobil, tidak ada percakapan yang terjadi, aku sibuk memperhatikan jalanan di depanku dan begitu juga dengan Gellar.             “Aneh gak sih kalau langsung balik? Mau cobain ice cream McD yang baru gak?” Tanya Gellar. Aku menengok ke arahnya, kemudian aku lantas mengangguk begitu saja. Ice cream adalah obat paling ampuh untuk mengobati rasa sakit hati, tidak rugi juga kalau aku tidak langsung pulang, toh tidak ada ruginya juga.             “Boleh, males juga sih balik sekarang.” Jawabku. Gellar pun mengangguk, lalu kami berdua ke McD bersama hanya untuk menikmati se cup ice cream. Dari yang aku lihat, Gellar ini adalah tipikal manusia yang bisa cepat akrab dengan siapa saja, buktinya, aku saja yang baru ketemu sama dia sekali ini sekarang malah berakhir dengan makan ice cream sama-sama. Di McD kami hanya pesan ice cream via drive thru, tidak mau makan di dalam, alasannya sederhana. Karena make up ku terlalu menor untuk duduk manis di McD. Alhasil kami hanya makan di atas mobil sembari menikmati ice cream dan kentang yang kami pesan.             “Tapi gua salut sih sama lo berdua, sahabatan udah lama tapi sama sekali gak ada yang suka sukaan. Ternyata perempuan sama laki-laki bisa temenan, tanpa perasaan lebih. Gua tuh dulu punya sahabat cewek, udah jalan tiga tahun, terus one day gitu pas apaya? Promnight kalau gak salah. Dia malah confess dan bilang suka sama gua. Setelah itu, udah, bubar, padahal dia baik banget. sekarang kalau ketemu malah canggung.” Ucap Gellar, ia membuka percakapan di antara kami. Aku menarik napas panjang, andai saja Gellar tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini mungkin ia tidak akan berani mengatakan hal itu di depanku.             “Lo percaya?” Tanyaku.             “Percaya apa?” Gellar balik tanya.             “Percaya kalau cowok sama cewek bisa temenan.” Jawabku sembari mencomot sebuah kentang di hadapan kami. Gellar menatapku dengan tatapan bingung, sementara aku cuek saja, berusaha biasa saja di depan Gellar.             “Ya iya, lo sama Dean contohnya.” Jawab Gellar. Aku mengangguk kemudian setelahnya keadaan kembali hening. Aku tidak tahu harus berbicara apa lagi.             “Atau jangan-jangan, ada yang one sided love ya?” Tanya Gellar. Aku kemudian tertawa dan menyimpan cup ice cream kosong di kantong sampah di mobil Dean.             “Gak lah. Asal ngomong aja lo. Gak ada, jangan ngaco.” Jawab ku, Dean mengangkat kedua alisnya sembari mengangguk.             “Bagus deh. Tapi kok bisa ya? Emang lo berdua gak ada rasa saling tertarik gitu? Lo cakep, Dean juga. Makan berdua, nongkrong, bahkan sampai kerja pun bareng. Kalau ngeliat Dean sama cewek lain, atau Dean ngeliat lo sama cowok lain gak ada yang ngerasa aneh?” Tanya Gellar penasaran.             “Ya lagian gua mana ada pernah sama cowok lain. My man’s life circle just an about Papa, Dean and repeat. Udah gitu doang. Kalau Dean sama cewek lain mah, yaudah. Emang kenapa? Biasa aja.” Jawab ku dengan kebohongan tentang aku dan Dean. Tidak mungkin juga jika aku harus jujur kepada Gellar tentang perasaanku kepada Dean bisa-bisa ia akan memberitahu Dean tentang itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN